Perempuan Desa Itu Bernama Wartini Jadi Instruktur Nasional Tentang Mocaf
Monday, 9th November, 2020 | 839 Views

ADALAH PEREMPUAN DESA bernama Wartini yang hanya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama atau SMP, tetapi kini profesinya sudah menjadi instruktur. Bisa juga disebut dosen terbang karena keahliannya. Tampil cerdas dan bersahaja serta sederhana. Pun ramah kepada siapa saja kendati ada yang tidak suka. Bahkan ada yang iri karena sukses gilang-gemilang yang diraihnya bekerja mulai dari NOL BESAR hingga berkemampuan membuat tepung mocaf pengganti tepung terigu.

        Wartini yang kini berusia 50 tahun itu tinggal bersama keluarga di pelosok Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejauh sekitar 50 kilometer dari Kota Yogyakarta bisalah tiba di Desa Kemiri, Kecamatan Tanjung Sari yang pemekaran Kecamatan Tepus. Di pelosok itu bersama teman-temannya Wartini mendirikan Kelompok Wanita Tani Ngudi Sari pada 3 Maret 2014 yang lalu.

   Judul di atas tentu tidak berlebihan. Para perempuan desa berkumpul atas dasar sepenanggungan, sepengharapan, sehati dan sepikiran menderapkan langkah untuk mengubah kondisi sosial keluarga masing-masing. Mereka bersepakat mendirikan semacam guyub dan dinamai Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Sari dan tempat di rumah Wartini di Desa Kemiri itu. Wartinya sekaligus menjadi ketuanya. Mereka ingin maju sebagaimana perempuan lain di DIY atau di provinsi lain. Bahkan di dunia internasional. Betulkah itu. Bisakah mereka?

     Sebagaimana masyarakat Gunung Kidul yang membuat panganan thiwul, gaplek dan gotot sebagai panganan penting setiap hari, keluarga Wartini dan anggota KWT Ngudi Sari juga mengkonsumsi panganan di atas. Memang hasil bumi utama Gunung Kidul di sektor pertanian adalah ubikayu (Manihot utilissima) atau lazim disebut singkong karena kondisi alam yang berkapur dan terjal. Wartini dan orang tuanya mengolah ubikayu menjadi thiwul, gatot dan gaplek. Juga dibuat berupa panganan lain, yaitu kerupuk.

      Akan hal itu secara tradisional ubikayu juga dibuat krecek atau menggleng, yaitu ubikayu yang direbus lalu dirajang atau diiris tipis dan dijemur hingga kering betul. Kalau akan dimakan harus digoreng. Bisa juga dititip di warung sekitar dengan harga 20.000 rupiah per kilogram (kg).

Impian Untuk Maju

     Sebagai perempuan yang ingin maju dan berjuang mengubah kondisi sosial ekonomi keluarga Wartini membuka diri untuk bergaul. Ternyata ada peluang untuk mengubah keadaan walau melalui telo yang sering digunjingkan orang sebagai bahan baku makanan ala ndeso yang tidak bernilai. Tanpa malu Wartini maju mengikuti pelatihan demi pelatihan. Ia tidak pernah bosan untuk meraih prestasi besar. Ia berniat memajukan kaum perempuan di desanya dari keterpurukan ekonomi dan sosialnya. Komoditi telo dari Gunung Kidul harus mendunia. Perempuan ndeso harus mendunia. Dan impian itu jadi kenyataan. Ia tetap rendah hati. Suatu hal yang patut diteladani atau ditiru.

      Kelompok Wanita Tani Ngudi Sari dengan kerja keras dan perjuangan tak kenal segan dan tak mau putus asa akhirnya mampu membuat mocaf atau modified cassava flour, yaitu tepung ubikayu yang dimodifikasi dengan perlakuan khusus. Tepung mocaf itu bisa penggantikan tepung terigu yang impornya puluhan triliun rupiah setiap tahun. Dengan pengolahan ubikayu itu menjadi mocaf pengganti terigu, Wartini dan perempuan yang guyub dengan telah berperan menghemat sebagian ‘kecil’ devisa negara RI agar tidak ‘terbang’ ke mancanegara.

     Wartini telah diminta pemerintah menjadi instruktur sebagai nara sumber sukses membuat mocaf di berbagai kesempatan di berbagai provinsi. Gamangkah perempuan desa itu? Mengalami bingung atau nervous-kah perempuan bersuamikan Paidi (50) itu. Ternyata tidak. Ya, tidak nervous. Ia percaya diri di hadapan puluhan dan ratusan petani dan calon pengusaha yang ingin ‘belajar’ kepadanya membuat mocaf yang baik.

      Kenapa rupanya? Ternyata membuat mocaf harus cermat dan teliti. Bahan baku barus dikenali secara khusus bahwa mutunya baik dan cocok untuk diolah. Kemudian hal yang tak bisa dipungkiri adalah kebersihan diri atau pekerja, sanitasi lingkungan kerja dan higienis peralatan. Dan itu telah dilakukan oleh Wartini.

Akan Berjuang Terus

      Ia tidak meraihnya dengan mudah, tetapi melalui perjuangan yang berat. Lama dan juga kerja keras. Ulet serta tekun. Itulah perempuan desa yang menjadi ‘dosen’ di berbagai tempat dan kesempatan. Kini ia menggumuli pola marketing. Ia bicara tegas dan lantang bahwa tantangan terberat kini adalah kebutuhan pada vacum pressed dan packaging machine agar peningkatan pendapatan mereka terasa lebih berarti. Ia akan berjuang terus selagi pikiran dan hati jernih. Ini pula layak dicontoh para perempuan di seantero negeri.

      Kebutuhan itu ia ucapkankah? Ya, kedengaran jelas. Ia berkata: market (pasar) kami ke depan sangat terkait dengan vacum pressed (penekan hampa udara)  dan packaging machine atau mesin pengepak atau pembungkus. Itu memang menjadi frasa tersendiri para dosen atau instruktur dalam berseminar atau bertutur. Wartini yang melahirkan seorang putri dan telah disekolahkan dengan meraih gelar diploma tiga. Ia akan mengajar anggota guyubnya berkiprah secara nasional dan internasional pada komoditi mocaf demi peningkatan taraf hidup. Ia berterima kasih kepada pemerintah yang memberi bantuan, sehingga ada perubahan bagi banyak orang melalui KWT Ngudi Sari. Wartini juga yang menyemangati banyak orang untuk maju dengan kerja keras untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Semoga. *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang