Prof Dr Marwoto: Tanpa Insentif Minat Petani Menanam Kedelai Akan Runtuh
Sunday, 2nd October, 2016 | 724 Views

Pengantar Redaksi:

MENDENGAR narasi dari pemimpin Negara Republik Indonesia dan pernyataan dari berbagai narasumber bergelar akademik DOKTOR bahwa TEMPE TAHU tak kalah proteinnya dengan daging dan menyaksikan sekitar ratusan juta RAKYAT INDONESIA memakan TAHU TEMPE itu, kami turut bergumul tentang petani kedelai SEKALIGUS PEMBUDIDAYA kedelai itu. Redaksi kami muhibbah ke beberapa kabupaten di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa untuk “lirik-lirikan dan nyambung roso” dengan petani. Suara petani “begitu pedih” di hati dan benak kami karena “derita petani” yang tertimpa kedelai impor. Untuk itu akhirnya kami berinisiatif “nyambung roso” ke Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) di Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim). Kami sengaja menemui beberapa profesor dan doktor yang “konon” pemulia (perekayasa benih). Kami ingin dengar dan lihat apakah mereka “mengantuk” saja di laboratorium atau di meja atau tetap  “memeras” otak sampai berdarah-darah demi petani kedelai dan budi daya kedelai serta demi pemakan tempe dan tahu atau main handphone saja. Wartawan Media Pertanian online www.sembadapangan.com Fitria Rorita dan Henry Supardi Simaremare khusus ke Malang menemui Prof Dr Subandi, Prof Dr Marwoto, Dr Didik Harnowo, Dr Muchlish Adie serta Erliana Ginting,MSc yang pemikiran mereka kami publikasi berseri. Berikut bincang dengan Dr Marwoto. Selamat menyimak.

 

Puluhan tahun kami makan tempe dan tahu, apakah Profesor Marwoto makan tempe tahu?

Kenapa? Ada apa? Ya, saya makan. Keluarga saya makan. Pegawai kami makan. Kenapa rupaya?

Pernah dengan tempe dan tahu akan diakui Negara lain? Karena apa?

Pernah, tetapi claim semacam urusan lain. Memang, kami masih terus makan tempe karena bergizi. Enak pula. Dan dikomsumsi banyak kalangan dari petani itu sendiri hingga pejabat pengusaha. Contoh, tahu bacem uenaak. Tempe bacem juga ueenaak tenan. Dilodeh juga enak sedap.

Petani kedelai berteriak, mengeluh dan kesulitan di berbagai daerah soal hasil penen kedelai mereka, apa permasalahan yang dihadapi?

Ya, kondisi saat ini memang sangat menyusahkan bagi petani kedelai kita. Ada masalah menyangkut harga terkait dengan faktor produksi di tingkat petani itu sendiri serta harga yang ditentukan pihak lain dan juga kedelai impor yang merajalela. Petani tidak mampu bersaing termasuk karena pat gulipat bisnis kedelai itu. Kami para peneliti juga turut prihatin. Kami suara kami terbatas karena kaedah kelembagaan.

Apa yang terjadi di Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi di Malang ini? Para peneliti mengantuk saja di laboratorium atau peras otak sampai berdarah-darah? Atau main handphone?

Waaah. Pertanyaan ini menyindir kami. Tetapi, karena ada unsur otak, saya legowo menerima. Supaya saudara tahu, kami para peneliti termasuk para staf di sini bersungguh-sungguh bekerja. Di laboratorium dan administrasinya. Mimpi kami petani Indonesia kuat. Berkecukupan. Ndak usah kaya, berkecukupan saja untuk keluarga dan sekolahkan anak. Dan betul, kami peras otak melakukan yang terbaik sesuai disiplin ilmu kami. Kami tidak ada waktu mengantuk di kantor atau laboratorium kami ini.

Kami kerja bersungguh-sungguh walau secara duniawi kami tidak punya harta berlebih. Harta kami ilmu dan pengabdian kami terhadap petani untuk mendorong kemajuan mereka dan meningkatkan perekonomian mereka. Betul, kalau diumpamakan, otak kami berdarah-darah walau hanya kami saja yang bisa mengobatinya karena kami tetap terbatas. Mana ada ilmuwan yang kaya, apalagi kaya raya? Namun, kami happy kalau pengabdian kami bermanfaat bagi masyarakat luas terutama petani kedelai termasuk petani kedelai Indonesia. Itulah kami di Balitkabi Malang ini. Tetapi, catat ya, kami tidak malang. Kami senang berbuat yang terbaik.

Iya, akan dicatat ilmuwan di Malang ini tidak malang, tapi bahagia mengabdi. Lalu soal handphone yang kini menjadi penyakit bagi aparat?

Itu soal lain. Sesungguhnya itu pribadi sifatnya. Tetapi, saya harus katakan walau betul handphone itu telah “menguasai” banyak orang, para peneliti kami tidak dininabobokkan atau dibuai handphone. Sebatas berbagai informasi dan kebutuhan penting pekerjaan, iya. Kepala Balitkabi Bapak Doktor Didik sangat memperhatikan disiplin kerja secara keras. Itu kami di sini. Ndak tahu kalau di lain tempat.

Jadi, soal petani kedelai?

Tadi saya katakan kami prihatin. Memang agak miris. Saya tegaskan, kalau minat para petani kita tidak dibangkitkan dengan memberikan insentif, maka petani kedelai di negara kita akan ludes dan habis. Minat petani kedelai kita akan terkikis jadi nol tanpa ada insentif dari pemerintah. Itu sangat penting dan mendesak. Dan memang hal itu hanya berupa penghargaan kepada para petani kita agar mereka tetap menanam kedelai. Artinya, agar sebagian dari kebutuhan kedelai kita bisa terpenuhi dari dalam negeri. Dari petani kita. Bukan seluruhnya dari petani Negara lain, walaupun sepenuhnya bisa terpenuhi oleh kita sendiri. Ini juga mimpi kami. Mimpi para peneliti di sini.

Apa yang dilakukan, kalau begitu?

Satu contoh penting. Kami telah menyebar beberapa orang mulai dari Aceh sampai Sulawesi Tenggara hingga Aceh. Betul. Permasalahan yang timbul selalu pada tingkat harga yang memukul petani kita. Apabila harga kedelai bagus dan mahal para petani tidak usah disuruh pun pasti akan menanam kedelai, Misalnya saja, petani di Provinsi Lampung.

Ada apa di sana? Respons para petani itu?

Mereka kalau ditanya bersediakah menanam kedelai, maka mereka akan menolak dengan berbagai alasan, seperti faktor iklim dan lain sebagainya. Jadi, kalau  bicara tentang inovasi teknologi atau teknologi itu sendiri, kami pasti sediakan dan menyiapkannya. Artinya, untuk situasi seperti apapun juga dan di lahan seperti apapun bentuknya, kami sudah siapkan varietas yang tahan terhadap keadaan tersebut. Sekarang ini kami sedang melakukan pengujian untuk varietas yang bisa tumbuh bersama-sama dengan tanaman tebu. Tidak terlalu lama lagi ini akan gol atau selesai.

Kalau kita melihat ke belakang pada 10 tahun yang lalu waktu itu yang meningkat hanya produktivitas kedelai petani. Jadi, kalau dulu itu produktivitas kita hanya 1,2 ton per hektare (ha). Kenapa tidak berkembang? Ya, karena harga patokan pemerintah atau HPP yang ditetapkan itu tidak seperti harga yang didapat oleh para petani kita di lapangan atau pasar. Pada waktu panen tetap tengkulak yang menentukan harga. Jadi, kenapa harga kedelai kita selalu anjlok, padahal produksi meningkat dengan perluasan area? Kini di Balitkabi sudah ada kebijakan pengembangan lahan secara optimal. Kami sedang melakukan penelitian bagaimana kedelai itu dikembangkan di lahan submarginal, seperti lahan  pasang surut, lahan kering serta lahan di antara perkebunan.

Gambarannya, seperti apa?

Kami sedang mengusahakan yang terbaik secara maksimal bagi petani dan masyarakat luas. Itu sedang kita usahakan. Sekarang ini varietas unggul terhadap naungan juga ada. Itu berguna untuk pengembangan di lahan perkebunan. Varietas unggul yang dikembangkan di lahan kering disebut varietas kering namanya. Ini sangat tahan di daerah kering. Sekarang sedang kami luncurkan varietas baru dengan nama Dega 1 dan Dega 2.

Varietas ini memiliki biji besar seperti Anjasmoro, namun lebih baik dari Anjasmoro.  Umurnya hanya 71 hari dan siap panen. Jadi, varietas ini dipakai untuk lahan yang memiliki air cukup, apalagi setelah menanam padi dan bawang merah selalu ada jeda waktu 2,5 bulan. Nah, rentang waktu ini sangat pas untuk menggunakan varietas Dega karena umurnya hanya 71 hari untuk mengisi kekosongan waktu itu.

Rasa buahnya enak untuk dinikmati konsumen, waktu panen yang sangat singkat sangat menguntungkan para petani kita. Sekarang ini potensinya bisa mencapai 2,5 ton per ha. Bahkan sampai 3 ton per ha. Sesungguhnya mutu atau kualitas kedelai kita tidak kalah dengan yang digembar-gemborkan pedagang atau pengusaha impor itu. Sangat tidak benar mutu kedelai impor lebih bagus. Itu pengaruh politik dagang. Sekali lagi mutu kedelai petani kita lebih baik dari semua segi.

Dari hasil pengamatan kami di lapangan lewat pintu ke pintu atau daerah per daerah, dari segi protein dan sisi rasa serta bentuk  pilihan petani dan pengusaha tahu tampe sangat menyukai varietas Deka ini. Misalnya,   membuat tanaman kedelai itu tahan terhadap hama. Telah kami temukan satu teknologi bakteri yang disuntikkan ke benih. Apabila gulma atau hama disemprot, kedelainya tidak ikut mati. Ini sangat bagus kerena umumnya gulma yang disemprot tidak boleh berdekatan dengan tanaman produksi karena akan mati oleh racun yang disemprotkan itu.

Soal harga yang memusingkan atau mengikis petani itu apakah ada jalan keluar yang dipikirkan para ilmuwan dan memungkinkan dijalankan?

Para ahli pertanian dari lembaga lain sudah pernah menghitung, secara tradisional produksi petani hanya 1,5 kali beras. Berarti harga kedelai itu harus 9.000 rupiah dan 10.000 rupiah per kilogram (kg).  Kalau untuk panen di kisaran 2 ton per ha, maka bisa dijual dengan harga 8.000 rupiah per kg. Itu barulah harga yang sangat menarik untuk para petani kita.

Kalau itu hanya sebatas di atas kertas atau orasi atau verbalisme di mulut, bagaimana?

Memanglah. Tetapi, harus diingat bahwa kami bukalah decision maker atau pengambil keputusan. Namun, hingga ke tingkat pusatpun hal itu sudah sering kami ungkapkan. Kalau harga kedelai per kilogram bagus, pasti petani bergiat. Artinya, minat para petani kita menanam kedelai akan tinggi. Untuk kompetitif memang harga harus bagus. Pemerintah harus turun tangan memberi proteksi. Ini tidak perlu ditawar-tawar seperti membeli barang di tepi jalan. Tidak. Sekali lagi tidak. Sebab, kalau bicara tentang teknologinya sudah ada dan tidak akan ada masalah dari pihak kami para pemulia atau peneliti. Itu juga sudah kita sampaikan kepada kolega di berbagai perguruan tinggi yang menurut kami masih peduli kepada petani atau sektor pertanian kita.

Lalu apa komentar mengenai kedelai impor? Berani?

Aahhh, pertanyaannnya seperti nantang bertinju saja. Ya, sesungguhnya bukan masalah berani atau tidak berani. Peneliti atau ilmuwan itu sosok yang jujur dan bertanggungjawab. Kalau dipukuli ya itu urusan yang memukuli. Peneliti tetap netral bahkan independen. Ya, jadi kalau dahulu harga kedelai kita anjlok karena impornya besar dan harga dari trader (pedagang internasional) murah kalau dibandingkan dengan harga kedelai lokal. Tetapi, sedikit lain di Nganjuk, Jawa Timur. Bayangkan, bagaimanapun situasinya tentang harga mereka masih tetap menanam kedelai. Saya juga sudah memberi usulan kepada bapak Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian pertanian untuk memberikan insentif kepada para petani kedelai kita. Sebab, harga kedelai sekarang ini masih sangat rendah.

Apa tanggapan direktur jenderal itu?

Dia menunduk sejenak. Termenung sejenak. Lalu tersenyum dan tertawa. Tertawa ala ilmuwan. Tetapi, saya yakin direktur jenderal berpikir keras. Sebab, dia juga sama dengan kami. Kebetulan dia ilmuwan yang ditarik ke administrasi dan teknis. Dia sesungguhnya pemulia atau perekayasan benih untuk padi. Kami berharap direktur jenderal membicarakan itu kepada menteri. Semoga saja.

Lha? Jadi?

Ya, kita harapkan direktur jenderal independen. Terbuka memperjuangkan hal tersebut dan bicara dengan menteri agar dibahas di kabinet dan juga di DPR. Kalau minat para petani kita tidak dibangkitkan dengan memberikan insentif, maka petani kedelai di negara kita akan ludes dan habis. Itu hanya berupa penghargaan kepada para petani kita agar mereka tetap menanam kedelai. Agar sebagian dari kebutuhan kedelai kita bisa terpenuhi di dalam negeri  walaupun sepenuhnya tidak bisa terpenuhi. Kami telah menugaskan beberapa peneliti mulai dari Sulawesi Tenggara ke Aceh. Permasalahan yang timbul selalu pada tingkat harga. Harga bagi petani harus diperjuangkan. Juga harus diputuskan pemerintah. TANPA INSENTIF MINAT PETANI UNTUK MENANAM KEDELAI AKAN RUNTUH. Insentif diperlukan saat ini. Itu kalau pemerintah mau!  

Kalau tidak? Apakah jadi sunyi senyap? Para ilmuwan diam dalam protes?

Oh tidak.

Kalau hasil temuan tidak dipakai oleh lembaga pemerintah sendiri? Merasa ilmu tidak berguna, sia-sa belaka?

Oh tidak. Tidaklah….!

Lalu bagaimana? Kita kan berkompetisi dengan Negara lain? Belum lagi pasar bebas sebebas-bebasnya di Association of South East Asia Nations (ASEAN-Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara)?

Itulah. Tetapi, terserah menteri, apakah mendengar atau melihat petani kedelai itu. Terserah pengambil keputusan. Tetapi, ilmuwan siap. Siap sesiap-siapnya. Percuma jadi doktor atau profesor kalau tidak siap. Artinya, untuk situasi seperti apapun juga dan di lahan seperti apapun juga bentuknya, kami sudah siapkan varietas yang tahan terhadap keadaan. Sekarang kami sedang melakukan pengujian untuk kedelai varietas unggul yang baru yang bisa tumbuh bersama-sama dengan tanaman tebu. Nah …….!

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang