Tanam Kedelai Memang Menyenangkan, Makin Senang Jika Harga Berpihak Petani
Monday, 17th June, 2019 | 723 Views

 

DARI KEJAUHAN BERJARAK sekitar 400-an meter ukuran pandang ala tiang listrik, dua petani  seolah menyibak hamparan dedaunan kedelai yang hijau royo-royo. Berusana ala petani desa yang konstras dengan warna tanaman yang menhijau itu derap langkah petani semakin memperpendek pandangan.  Ah, ternyata petani itu melangkah di atas pematang sawah yang ditanami kedelai.

             Tertatih-tatih menapaki tanah yang merekah dipanggang terik mentari, saya menyongsong langkah mereka untuk berusaha mendekat. Bak seolah sudah janjian ala pebisnis metropolitan untuk memadu diskusi di lokasi pertengahan—kedua pihak mendekat ke titik tertentu untuk sama jauh sama dekat—saya menuju ke arah petani dan petani menuju ke arah saya. Lebih dari separuh perjalanan telah ditempuh petani itu sementara saya belum mencapai setengahnya. Tetapi, ya sudah kami saling tatap pada jarang 10 meteren. Tersenyum-mesem ala wong ndeso.

            Ia membawa sabit dan besekan dan tiba-tiba merunduk. Ternyata ia akan menyiangi gulma di celah tanaman kedelai yang dilewatinya. Saya mendekat. Sangat dekat. “Ibu, tepangaken kulo Supardi saking Jakarta, ajeng kepanggih sekedapke mawon. Menawi saged mboso negoro, inggih langkung sae mawi Indonesia utawi negoro. Kepripun bu?”

            “Inggih Indonesia saged. Nami kulo Nurmujayana. Kulo petani”

            “Oohh..! Ibu petani? Pemilik sawah dan kedelai ini?

            “Ya, betul.”

            “Berapa luasnya kedelai ibu ini.”

            “Ini satu ancer.”

            “Aanncer…?”

            “Ya, satu ancer. Sampeyan orang ndesa tidak? Itu sekitar seribuan meter lebih.”

            “Ini kedelai jenis apa?”

            “Anjas. Anjasmoro.”

            “Sudah tinggi ini, bu. Ini umurnya berapa?”

            “Dua mingguan. Eh.., tiga mingguan. Yang sebelah situ yang dua mingguan.”

            “Benih dapat di mana bu?”

     “Kalau ini semua bantuan. Ya, bantu pemerintah yang ngumpul di sana itu.” (Ibu Nurmujayana menunjuk kerumunan pada pejabat dan petani lain yang akan berhajat Gerakan Tanam Peningkatan Produksi Kedelai Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2019)

            “Harga benih berapa bu Nur?”

            “Ini tidak beli, tapi diberi pemerintah kepada kelompok tani.”

            “Misal, kalau beli berapa?”

            “Oo larang. Eh, mahal. Sampai 12.000 rupiah setiap sekilo. Ada juga yang 13.000 rupiah per kilonya.”

            “Sering tanam kedelai bu?”

            “Ya, sering. Keluarga kami hanya bertani. Suami saya juga bertani.”

            “Oh ya bu Nur, umur saat ini berapa tahun?”

            “Sekarang 61 tahun. Sudah jadi mbah.”

            “Mbah putri atau eyang putri to?”

            “Ya, mbah putri to.”

            “Kalau anak ibu Nur berapa?”

            “Ada 10 orang. Lima lelaki dan empat wadon—perempuan.”

            “Ibu masih kuat bertani pada usia begini?”

            “Ya dikuat-kuatkan. Kami harus masak. Harus makan. Jadi, harus kerjo.”

            “Dapat bantuan benih dari pemerintah rasanya bagaimana bu Nur?”

           ”Ya, senang. Lumayan ada yang bantu. Makanya harus ditelateni ngerawat. Nyiangi rumput agar kedelai ini sehat. Agar hasilnya baik. Kalau tidak dirawat nanti diserang penyakit dan kurus. Kalah dengan rumput-rumput. Rumbput-rumput juga akan bawa penyakit.”

            “Kalau kedelai ini sakit, bagaimana bu?”

            “Oh tidak. Jangan sakit. Nanti tidak ada hasil. Pemerintah sudah beri benih. Gratis. Jadi, nanti saat panen dan dijual untungnya untuk petani sendiri. Untuk kami sendiri.”

            “Kalau beruntung, bagaimana? Uangnya dibelikan apa? Beli emas atau kambing?

            “Jangan kambing. Kalau cukup beli sapi saja.”

            “Kalau tidak cukup, ibu? Bagaimana?”

            “Beli beras karo gulo teh.”

            “Bu, mengapa tidak menanam padi?”

            “Sulit air. Di sini sulit air. Pemerinta tidak bantu kompo.”

            “Kompooo..?”

            “Ya. Tidak ada pompa. Harus ditarik pake pompo. Tapi, kami sangat bersyukur kepada pemerintah karena diberi bantuan benih kedelai. Nanti kalau sudah panen akan kami sisihkan sebagian untuk bakal benih. Kami akan tanam kedelai lagi. Kedelai bisa dibuat tempe dan toge. Tetangga desa buat tahu.”

            “Nantinya tanah ibu akan ditanami apa lagi?

            “Kedelailah. Kami pasti semangat menanam kedelai, apalagi sudah dijamin harganya. Sudah ditentukan pembelinya. Makin semangat tanam. Tanam Kedelai Memang Menyenangkan, Makin Senang  Jika Harga Berpihak Petani. Berpihak kepada kami. Bukan kepada pedagang semata.”

            “Oh ya bu Nur, itu acara sudah selesai. Saya akan gabung dengan mereka,” pinta saya sembari beringsut dengan peluh yang bercucuran diterpa terik matahari yang sangat panas. Saat beranjak mengarah tenda, beberapa staf Dinas Pertanian menyambangi hijauan kedelai. Mereka berteriak “Ooh seger nian. Subur bangat tanaman ini.” Bahkan tak ketinggalan Kepala Sub Direktorat Kedelai, Direktorat Aneka Kacang dan Umbian Dr Rahmat menyempatkan diri “terjun” ke pematang dan menarik napas. “Lega dan segar. Di Jakarta tidak ditemukan alam segar seperti ini,” gumam Rahmat pelan.

            Cerita singkat di atas bermakna ganda. Ada ketidakberdayaan karena kondisi alam. Juga karena faktor keuangan desa yang tidak memadai memadai. Boleh jadi, melalui Gerakan Tanam Peningkatan Produksi Kedelai Provinsi Jawa Timur, para petani bisa meningkatkan pendapatannya. Ya, semoga. Dan semoga kedelai dalam negeri bisa berjaya menghadapi kedelai impor. Satu hari, Ya, pasti suatu hari. *sembada/henry supardi

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang