“Sebagai Penyuluh, Kami Mendahulukan Program Pemerintah”
Monday, 3rd September, 2018 | 740 Views

 

KENDATI TELAH LAMA menjadi penyuluh, hingga kini tetap berstatus sebagai penyuluh harian lepas. Saat ini kalaupun ada kesempatan, Rina Suartini, SP dan Rina Triana,SP tidak mungkin lagi diangkat jadi pegawai negeri. Faktor usia telah membatasi peluang meeka karena telah lebih dari 40 tahun. Walau demikian, mereka tetap punya spirit memberi penyuluhan terutama di wilayah mereka yang kini terkenal sebagai sentra kedelai (Glycine max) untuk benih.

Kedua pemerhati pertanian tersebut adalah berstatus sebagai Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian –Tenaga Harian Lepas (TBPP-THL) di Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluh Pertanian (UPTD PP) Wilayah Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Mereka telah mengabdi lebih dari 11 tahun sebagai penyuluh.

Suartini, penyuluh Desa Nenggala Mekar misalnya, jadi penyuluh sudah 11 tahun. Ia mempunyi dua anak. Untuk kehidupan sehari-hari, pendapatan dari menyuluh sangat bisa dikatakan sudah cuup walaupun hidup sederhana dan pas-pasan. Namun, bekerja sebagai penyulu dilakukan dengan senang hati dan tetap bersemangat mendukung program pemerintah.

Sama halnya dengan Triana. Perempuan jelang paruh baya ini tetap bergairah menunaikan tugas sebagai penyuluh kendati kecewa tidak lulus testing jadi pegawai negeri di sektor pertanian. Sebab, calon yang ditrima jadi pegawai negeri dari “korps penyuluh” adalah mereka yang berumur di bawah 35 tahun.

“Dari profesionalisme, sesungguhnya kami lebih dimungkinkan untuk pegawai negeri andaikata tidak dibatasi umur. Sebab, kami berpengalaman di lapangan dengan petani, lahan sarana dan prsarana produksi seerta dengan alam dan organisme pengganggu tanaman atau OPT. Dari intelektual juga kami tidak akan ketinggalan karena kami juga sarjana khusus sektor pertanian,” demikian Rina Triana, penyuluh Desa Karang Wangi dan Gunung Sari.

Kenapa gerangan kecewa jadi pengawai negeri saat itu? Sebab, Rina Suartini maupun Rina Triana—mereka bukan kembar sekandung—memiliki basis di sektor pertanian. Mereka menempuh pendidikan menengah di Sekolah Pendidikan Menengah Pertanian (SPMA) Cianjur. Suartini maupun Triana juga menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana Strata-1 (S-1) jurusan agribisnis dan jurusan pertanian.

Namun, sudahlah. Kami sudah mencoba, tetapi belum berhasil saat itu. Namun, Triana berujar, tetap masih ada harapan apabila Preisden Joko Widodo bisa berpatokan pada profesionalisme seseorang di bidangnya. Bukan faktor umur belaka. Dengan demikian, ya siapa tahu Menteri Pertanian membuka peluang bagi penyuluh menjadi pegawai negeri tanpa batasan waktu.

Menurut Rina Suartini, khusus untuk tanaman kedelai petani di Cianjur kebanyakan jadi penggarap. Jadi, para petani bercocok tanam tergantung kepada yang punya tanah. Sekarang sudah memasuki musim kemarau, sehingga susah bagi petani kedelai untuk menanam benih. Para penyuluh berusaha keras mendampingi petani agar tetap menyukai tanaman kedelai karena selain sebagai program pemerintah, lahan yang dipakai untuk tanaman kedelai masih bisa diupayakan mendapat air melalui pompa. Tetapi alat ini tetap terbatas karena luas lahan yang harus diairi, semantara panjang selang tidak bisa menjangkaunya.

Kini Rina Suartini maupun Rina Triana tetap memutar otak untuk mengatasi permasalahan di lapangan terutama saat panen kedelai. Sebab, untuk pasca panen hasil banyak yang hilang di tengah lahan. Akibat keterbatasan lantai jemur dan waktu pengeringan, para petani kebanyakan menunggu buah kedelai sampai pecah. Akibatnya biji jatuh dan terbuang karena tidak mungkin dipunguti satu persatu.

Lalu bagaimana penyuluh menyiasatinya? Suartini dan Triana sama-sama mengaku bahwa mereka sudah bekerja sama dengan penangkar. Artinya, para penangkarlah yang memanen kedelai dan mengangkut produksi kedelai petani. Syaratnya adalah bahwa tanaman kedelai harus yang tua dan batangnya betul-betul berumur 94 hari baru dipanen.

Harganyapun lebih tinggi dari harga patokan pembelian pemerintah (HPP), yaitu 8.000 rupiah per kilogram (kg). Saat ini HPP yang ditetapkan pemerintah adalah 7.600 rupiah per kg. Pemerintah yang membeli kedelai itu adalah Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), namun Perum Bulog belum semangat membeli kedelai dari petani, sehingga harga terutama yang bukan untuk benih selalu jatuh saat panen. *sembada/rori/henry

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang