Saat Pandemi-19 Perempuan Hamil Sedikit, BKKBN Dorong Angka Ideal Kelahiran 2,1 dan Tekan Stunting
Tuesday, 2nd August, 2022 | 529 Views

Pengantar Redaksi:

BELUM LAMA BERSELANG pada Juli 2022 ini Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dokter Hasto Wardoyo, Spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG), bertutur panjang lebar dalam wawancara ekslusif kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com seputar masalah anak stunting atau anak gagal tumbuh. Selamat menyimak berikut ini.

 

Bagaimana Evaluasi Capaian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) 2021? Kemudian proyeksi BKBN terhadap kelahiran hingga Desember 2022, bisa dielaborasi seperti apa?

      Jadi begini, indikator kinerja kita itu ada yang namanya Total Fertility Rate (TFR). Hal itu menyangkut rata-rata perempuan melahirkan berapa dan seterusnya. Kita sudah melakukan pendataan keluarga. Namun,  laporannya tentu belum sampai hingga 2022 sekarang. Artinya, data itu baru sampai 2021 atau di akhir pandemi. Dengan demikian, ukuran yang kita pakai adalah TFR, yaitu rata-rata perempuan melahirkan,

Adakah program strategis pihak BKKBN untuk pembatasan kelahiran pascakorona-19? Bisa dielaborasi juga?

   Program pembatasan kelahiran itu sudah kita lakukan secara kontinyu atau berkesinambungan dan terus-menerus melalui pelayanan kontrasepsi. Kemudian di masa pandemi sampai Juli 2022 sekarang ini kita membuat program unggulan namanya Layanan Sejuta Akseptor.

   Misalnya, pada Hari Keluarga Nasional kita adakan layanan sehari dengan sejuta akseptor. Melalui pelayanan sejuta akseptor ini merupakan gerakan secara terus-menerus. Lalu kita ulangi lagi sejuta akseptor terus- menerus di setiap momentum karena strategi kita ingin melayani masyarakat sebanyak-banyaknya. Tetapi, peserta penerima kontrasepsi tidak berkerumun karena ada pandemi. Jumlah desa yang ada di Indonesia yang ada 70.000 lebih ditambah kelurahan itu mejadi 83.000.

    Strategi kami untuk satu desa atau satu kelurahan  cukup 20 akseptor saja dalam satu kali gerakan. Kita di BKKBN punya kaki tangan atau petugas sebanyak 3.000 penyuluh keluarga berencana (KB) serta 1,2 juta  penyuluh di desa dan  600.000 tim pendamping keluarga. Itu kita gerakkan semua. Kita menggerakkan mereka untuk mencari akseptor untuk satu desa 20 orang saja. Ada yang berupa suntik, ada yang berupa pasang susuk ada yang pasang intra uterine device atau IUD dan streril.

   Begitu kita mendapatkan 20 orang akseptor untuk satu desa sudah cukup. Ya, bayangkanlah desa seluruh Indonesia itu ada 82.000  untuk satu gerakan itu saja kita sudah mendapatkan 1 juta lebih akseptor. Itu untuk satu hari. Pada tanggal 15 Juni 2022 yang lalu untuk satu hari kita mendapatkan 1,2 juta akseptor. Sebelmnya dapat 1,4 juta akseptor.

     Contohnya seperti itu. Dan ini merupakan cara baru setelah ada pandemi, yaitu melakukan pelayanan dengan cara serentak dan dapat banyak, tetapi tidak berkerumun. Pelayanan ini ada yang pintu ke pintu atau door to door dan ada yang di tempat-tempat bidan praktik.

     Tapi, kalau yang suntik dan pasang susuk itu bisa dilakukan di semua tempat. Di rumah atau di balai desa. Semua acara itu dilaksanakan mulai dari pagi dan kita tutup pukul 21 atau sembilan malam.  Kemudian desa yang menang kami beri penghargaan, seperti yang lalu pemenangnya dari Medan saat Hari Keluarga Nasional pada Juni yang lalu.

Pada medio 70-an di seantero negeri (bahkan dunia) bergema zero population growth atau ZPG, masih berlakukah itu dalam visi BKKBN saat ini? Seperti apa gambarannya?

   Kami terus mengimbau masyarakat agar menyadari pengaturan kelahiran dengan mengikuti keluarga berencana. Kenyataannya hingga saat ini kita mampu mempertahankan 2,2 dan di Pulau Jawa ini, seperti di Provinsi Jawa Timur sudah 2,0. Itu bisa pertumbuhan minus. Kalau kita tidak hati-hati malah minus growth atau pertumbuhan minus. Kalau di Provinsi Jawa Barat malah tinggi fertilitasnya. Tetapi, untuk Pulau Jawa yang paling tinggi fertilitasnya adalah Jawa Barat dan Provinsi Banten. Jadi, kami harus lebih kerja keras lagi di Jawa Barat dan Banten itu.

   Jadi, begini ya, angka 2,1 itu akan menjadi tujuan kita. Kalau dirata-rata 2,1 itu pertumbuhan masih ada tetapi kecil. Kalau bisa memang kita harus dan masih tumbuh, tetapi kecil. Sebab, kalau kita menyentuh zero population growth atau ZPG itu spontan minus growth ini yang susah ditarik untuk menjadi naik.

    Sebab, tentu akan jauh lebih susah mendorong angka kelahiran. Contoh yang sudah menyentuh angka nol seperti ini adalah Bangsa Singapura dan Jepang. Begitu mereka sudah menyentuh angka pertumbuhan minus, maka untuk membangkitkan kembali sangat sulit, sehingga mereka mencari orang agar mau hamil untuk menambah angka kelahiran.

    Ternyata membujuk orang untuk tidak hamil itu lebih gampang dari pada membujuk orang untuk kembali hamil. Dan itu sudah ada. Contohnya, seperti di beberapa negara yang telah kita sebutkan di atas tadi. Jadi, kita harus be carefull juga.

   Ya, kalau dulu spiritnya itu pertumbuhan nol karena pada waktu itu anaknya 8 dan 9 orang,  seperti saya saja contohnya. Nama Hasto berarti anak ke-8. Namun, sekarang spiritnya sudah berbeda. Bukan anaknya yang banyak, tetapi kualitas anak dan keluarga yang ditingkatkan.

   Karena itulah pemerintah agak ngeri-ngeri kalau kelahiran kita sampai menyentuh pertumbuhan nol itu. Betul, sangat ngeri. Oleh sebab itu angka 2,1 masih ada selisihnya sedikit. Kalau dua saja berarti hanya mengganti orangtuanya. Dua orang meninggal diganti dua orang lahir. Kalau angka 2,1 tersebut meninggal ayah ibu, diganti kelahiran 2 dan 1 persiapan penerus. Karena cita-cita kita adalah 2,1 bolehlah lebih-lebih sedikit.

Secara umum mutu ibu hamil dan anak lahir di Indonesia seperti apa? Pengaruhnya faktor reproduksi atau apa? Peranan BKKBN dalam konteks itu seperti apa?

   Mutu itu pertama dari kelahiran dan kematian. Kalau kita lihat angka kematian ibu melahirkan di Indonesia memang masih tinggi. Cita-cita kita untuk kematian ibu hamil dan melahirkan itu tidak lebih dari 70 per 100.000 kelahiran. Pada 2015 angka 305 per 100.000. Ada program yang namanya Survei Data Kesehatan Indonesia atau SDKI yang biasanya dilakukan oleh BKKBN.

    Namun, sekarang hal itu belum dilakukan. Mudah-mudahan angkanya itu di bawah 170 per 100.000 kelahiran. Namun, cita-cita kita 70 per 100.000. Artinya, angka kematian negara kita itu berupa apa terhadap ibu hamil dan melahirkan. Jelaslah bahwa angka itu masih tinggi di lingkungan Asia Tenggara.

    Waktu pandemi yang lalu angka kematian bayi masih cukup tinggi sekitar 24 per 100.000 kelahiran. Ya, itu masih tinggi. Cita-cita kita kalau bisa 12 per 100.000 kelahiran saja untuk jumlah kematian bayi itu. Di Indonesia setiap 1.000 orang melahirkan 24 bayi mati atau meninggal.

     Kalau kelahiran itu sehat, sampai hitungan yang 40 dan pada hitungan yang 41 pasti bermasalah. Kalua kelahiran sudah mendekati angka 40, saya selalu wanti-wanti untuk berhati-berhati karena pasti ada yang mati berikutnya. Ini merupakan problem yang serius. Jadi, ukurannya adalah angka kematian ibu dan angka kematian bayi.

Pada Desember 2019 muncul virus korona yang diikuti pembatasan keluar rumah termasuk bekerja harus dari rumah. Apa dampak terhadap tingkat kelahiran? Secara statistik  berapa kelahiran 2020? Kelahiran 2021? Dan kelahiran hingga Semester I 2022?

    Gambarannya ternyata dengan banyak orang bekerja di dalam rumah tidak menambah angka kelahiran. Malah cenderung turun dari 2,4  menjadi 2,2. Artinya, rata-rata seorang perempuan melahirkan 2,4 kali ternyata di akhir 2021 cuma 2,2. Ini malah turun.

     Pada akhir pandemi itu kita agak bimbang jangan-jangan indikator yang kita buat itu rusak karena perempuan banyak yang hamil lantaran di rumah saja. Begitupun para pegawai perkantoran yang bekerja di rumah saja atau work from home (WFH). Hal ini bisa saja memicu banyak kehamilan sekaligus kelahiran.

     Setelah kita lakukan mengecekan dengan pendataan keluarga pada 2021 ternayata hasil TFR rata-rata perempuan yang melahirkan justu turun. Contohnya, pada 2019 itu rata-rata kelahiran oleh perempuan itu adalah 2,4 dan menyusul kemudian pada 2021 menjadi 2,2. Ini penurunan yang sangat signifikan dari 2,4 menjadi 2,2.

   Artinya, walau bekerja di rumah, tidak membuat para ibu menjadi hamil. Sebab, faktor pandemi membuat ekonomi turun dan pengganguran meningkat. Kalau para suami itu stres pasti penisnya tidak bisa ereksi. Tidak ada berahi. Ternyata 60 persen dari suami itu kalau stes tidak ereksi.

Terjadikah ‘booming’ kelahiran terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera?

    Tidak terjadi baby booming di Indonesia terutama di Pulau Sumatera atau Pulau Jawa yang penduduknya padat mengalami serangkan virus korona. Jadi, kekhawatiran baby booming pada saat pandemi tidak terbukti. Ini ternyata tidak terlihat atau terjawab dengan indikator-indikator yang ada. * sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang