Prof Dr Subandi: Tentang Kedelai, Amerika, Negara Lain Dan Sebagian Pengusaha RI Tidak Suka Indonesia Maju
Sunday, 2nd October, 2016 | 709 Views

 

Pengantar Redaksi:

 

Merasa “gregetan” dan penasaran setelah menemui beberapa petani di beberapa daerah di beberapa kabupaten dan di beberapa provinsi, Redaksi Media Pertanian online www.sembadapangan.com dan Majalah Lumbung Pangan (Grup Media the BIG-5 Business) bertekad menemui para ahli di Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Kami ingin tahu dari dekat para peneliti sudah berbuat  apa di balai itu. Kami menugaskan Sdr Fitria Rorita dan Sdr Henry Supardi menemui Kepala Balitkabi Dr Didik Harnowo, peneliti pemulia kedelai Prof Dr Marwoto, Dr Ir Muchlish, Ir Erliana,MSc dan Prof Dr Subandi. Pendapat dan hasil penelitian mereka yang “hebat menakjubkan” telah tayang terpublikasi secara berseri di media on-line ini. Berikut patut disimak pendapat Profesor Doktor Subandi yang juga “gregetan” soal kedelai (Glycine max) petani Indonesia yang dikampanyekan banyak pihak tidak bermutu.

 

Apa? Siapa bilang tidak bermutu? Saya ingin jumpa dengan dia atau mereka? Atau kalau pengusaha, ya ingin cari mereka? Kalau di Indonesia, saya ingin kejar? Ada nama mereka tidak?

Ada, tetapi tidak etis kalau diberi. Ada juga petani-petani. Bahkan ada juga dari pihak pejabat pertanian di daerah dan di pusat.

Oh?? Pejabat di daerah dan di pusat? Terlalu. Itu terlalu…!

Apa yang terlalu? Bagaimana para peneliti bersikap? Adakah alat atau bahan yng bisa dipakai untuk “melawan” kampanye bahwa kedelai (Glycine maxpetani Indonesia tidak bermutu?

Dari penelitian “orang Indonesia sendiri” di “negeri sendiri ini” tentang varietas unggul kedelai yang menyangkut mutu kandungan termasuk sikap peleku usaha kecil dan menengah untuk tahu, tempe dan kecap dan pernyataan petani di sebagian daerah terlihat dan juga terbukti bahwa kedelai Indonesia bagus.

Bagus? Dari sisi apa bagus? Bolehkah dielaborasi?

Kedelai kita baik serta bermutu. Amerika Serikat, India atau Cina atau Negara lain dan sebagian pengusaha di Indonesia memang tidak ingin kalau Indonesia yang sudah merdeka 71 tahun ini maju. Sebab kalau Indonesia sudah maju komisi dari dagang kedelai, terigu atau yang lain tidak masuk lagi. Dan komisi termasuk selisih harga yang sangat besar itu dibagi oleh banyak pihak yang memperlancar impor kedelai atau hasil bumi lainnya.

Hasil penelitian kami pada kedelai yang diproduksi oleh petani-petani kecil dengan varietas yang sama, bisa saja hasilnya tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, dengan varietas yang sama bisa menghasilkan biji yang tidak sama besar. Lalu itu digabung oleh pengumpul, sehingga kondisi biji yang tidak seragam itu karena ada yang besar dan kecil dianggap tidak menarik. Jadi, bukan karena tidak mutu. Bukan karena tidak baik.

Kalau kita berbicara tentang kedelai di Amerika, di sana petani mereka memiliki lahan yang sangat luas sampai ribuan hektare, sehingga dalam satu paket itu kedelai mereka seragam. Itu satu kelebihan mereka.lainnya adalah pada proses pengeringannya mungkin lebih baik dan ada sortirisasi, di mana kotoran berupa pasir, tanah dsn lain sebagainya tidak ada lagi, sehingga tampilan terlihat sangat bersih.

Kalau petani kita? Adakah kaitannya dengan sebutan petani tradisionil?

Walau punya pengalaman, petani kita kecil. Atau lahan petani kita sempit saja. Dan dengan peralatan yang serba terbatas hasil buminya dijual begitu saja. Atau malah terkadang masih ada kotoran berupa daunan, kerikil atau lainnya sudah dibiarkan begitu saja dan langsung dijual. Bahkan sengaja  menambahkan kulit atau bebatuan agar berat kedelai bertambah. Itu dilakukan oleh petani dan pedagang yang tanda petik NAKAL.

Bukankah ini bisa dikoreksi? Bukankah ada penyuluh kita yang sesungguhnya bergaji besar?

Nah. Itulah persoalan kita sekarang ini. Menyinggung penyuluh biarlah itu urusan pihak lain karena memang banyak suara tentang penyuluh.

Jadi, kaitan dengan mutu kedelai petani kita?

Jadi, bukan genetiknya kedelai yang kalah dari kedelai dari luar itu. Proses pengumpulan, juga peralatan yang sangat sederhana dari tingkat petani kecil menyebabkan produk petani kita itu kurang menarik kalau dibandingkan dengan produk luar itu yang terlihat bersih.

Kalau begitu, sebagai ahli, apakah diam menjadi ahli yang diam dan ilmunya untuk diri sendiri?

Oh tidak. Kami tidak tinggal diam. Sudah banyak rekomendasi kepada pihak kabupaten, provinsi maupun ke pusat. Kalau tidak dipakai atau tidak dimanfaatkan, maka hal itu soal lain. Itu lain lagi dan bukan lagi terkait dengan kami.

Namun, seandainya kedelai kita ditanam dalam suatu hamparan yang luas, seperti lahan perkebunan, pastilah produk kita melebihi kedelai dari luar yang dibanggakan pedagang itu. Jadi, cari dan sediakan lahan untuk tanam kedelai. Banyak kok lahan yang tidak dipakai oleh Negara, tetapi entahlah kenapa tidak diusahai. Malah akan terus member kesempatan secara langsung dan tidak langsung kepada pedagang mengumpulkan komisi dari impor kedelai

Kalau demikian, bisakah disimpulkan profesor?

Intinya adalah kenapa kita tidak bisa naik produktivitas kedelai karena lebih disebabkan luas tanam yang sangat kurang, maka tetaplah menjadi perbincangan negatif. Puluhan decade yang lalu atau sekitar 1992 luas tanam Indonesia masih 1,6 juta hektare (ha). Pada waktu itu Indoneia bisa swasembada kedelai.

Apa bedanya dengan saat ini? Pengaruh populasi yang tinggikah?

Waktu itu lahan tanam kita sangat luas karena saat itu harga kedelai sangat bagus dan keuntungan para petani penanam kedelai besar.

Seberapa besar?

Sangat bagus atau besar sekali. Waktu itu harga kedelai 1,5 kali harga beras. Kalau saat ini harga kedelai hanya separuh daru harga beras. Terbalik luar biasa. Dan tidak menarik minat petani untuk tanam. Bandingkan dengan menanam padi bisa menghasilkan 5 ton per ha sampai 6 ton per ha dengan rendamen yang bagus sekitar 60.

Jadi untuk satu hektar bisa menghasilkan 3.5 ton beras, padahal hasil kedelai di tingkat petani untuk hanya 2 ton per ha. Bahkan kurang dari itu. Kalau harga kedelai hanya separuh dari harga beras, bagaimana petani mau menanam kedelai? Lahan petani di Pulau Jawa ini paling luas masing-masing kurang dari 0.3 hektar atau seperempat hektare. Kalau ditanam dengan tanaman yang tidak menguntungkan, ya pastilah mereka itu tidak akan mau.

Kata kunci, apa? Atau kalau ala para demonstran reformasi, hanya satu kata: Lawan…!?!!

Ya, kalau kunci petani tidaklah satu…, hahaha ha..! Jadi, kuncinya adalah harga yang diterima petani harus bagus. Tidak usahlah dengan harga 1,5 kali harga beras. Dengan harga 7.700 rupiah per kilogram (kg) saja pada setiap kali panen bisa dipertahankan, pasti untuk bertanam kedelai akan sangat menarik. Bahkan sudah ada kesepakatan di atas kertas bahwa harga kedelai 8.500 rupiah per kg. Entahlah bagaimana, kok lama sekali tercapai yang di atas kertas itu.

Tetapi, sekarang ini harga kedelai yang paling tinggi di tingkat petani 6.600 rupiah per kg. Itu pun sangat jarang. Kalau harga bisa bagus petani pasti akan memilih untuk menanam jagung dan kedelai.

Kenapa tidak didorong atau difasilitasi saja?

Oh ya saya tambahi lagi, kenapa msyarakat kita lebih menyukai kedelai impor adalah karena pasokannya banyak atau tersedia dalam jumlah besar dan terjamin berkelanjutan atau terus-menerus. Hal lain adalah pada sistem pembayaran kedelai impor bisa belakangan. Hanya perlu omong atau bisik-bisik dengan “joki” di belakang, kedelai impor sudah tersedia dan setelah terjual barulah dibayarkan atau dibereskan.

Untuk kedelai kita potensinya masih rendah, sehingga kebutuhan pengusaha tahu dan tempe tidak bisa terpenuhi karena tidak ada persediaan. Kenapa demikian? Sebab, petani kita tidak berminat menanam kedelai lantaran harga tidak mengiurkan dan menarik. Sebagai latar belakang, pengalaman saya bekerja di Sulawesi yang pada saat itu ada bantuan dana PL-480 namanya dari Amerika Serikat (AS).

Kenyataannya dana bantuan itu tidak boleh dipakai untuk penelitian kedelai. Kita bisa bayangkan pihak AS mengatur dana hibah tersebut sedekian rupa agar bangsa kita tidak bisa melakukan penelitian untuk mendapatkan varietas kedelai yang unggul. Dari situ kita sudah dapat menduga bahwa AS itu tidak akan pernah rela kalau Indonesia bisa swasembada kedelai. Hal itu memang logis saja karena kalau kedelai Indonesia berkembang, pastilah memangkas pendapatan  petani dan negaranya, apalagi mereka sadar betul bahwa masyarakat Indonesia adalah satu di antara konsumen petani mereka yang merupakan pemasok kedelai terbesar di dunia untuk konsumsi tahu dan tempe.

Belum terjawab…, mengapa tidak difasilitasi dengan menyediakan lahan luas yang kenyataannya masih banyak yang tersedia?

Itu tergantung pemerintah. Sangat kental dengan yang namanya political will, di mana selama kemauan politik pemerintah—-tentu dengan dewan sebagai “pemutus” anggaran—selama itu pula kita tergantung impor. Komoditi pertanian lain juga demikian.

Jadi? Kita cukup berharap dan berdoa saja?

Sebetulnya tidak cukup berdoa…..hahaa…! Harus berbuat.  Harus ada political will. Tanpa itu omong kosong. Jangan berharap.

Jadi? Ora et labora? Berdoa dan berupaya?

Ah, betul. Itu dia…! Tetapi, …..!!  

* sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang