Panen Bareh Solok Di Desa Tanah Garam Hanya 1.400 Sukat Per Hektare
Wednesday, 1st May, 2019 | 1108 Views

 

KETIKA SIANG YANG sangat terik menerpa bumi, sekelompok petani beriringan menghela “tong padi” dari sisi jalan raya ke pinggir pematang sawah. Ternyata mereka akan memanen hamparan padi (Oriza sativa) yang telah masak menguning. Di wilayah ini memang termasyihur padi yang lazim dijuluki penduduk dengan Bareh Solok atau beras solok sebagai endemik padi setempat.

            Ingatkah lagu Bareh Solok yang terkenal itu? Tersebutlah satu lagu Minang(kabau) di Provinsi Sumatera Barat berjudul Bareh Solok yang terberita di seantero bumi pertiwi. Bahkan hingga mancanegara. Adalah seorang pria benama Nurkan Sjarief menggubah syair atau lirik sawah-padi-bareh (beras) itu pada 1960-an dan lagunya dipopulerkan pada tahun itu jua oleh biduanita Elly Kasim.

               Mari simak liriknya.

Bareh Solok tanak di dandang, di pagatok ulam pake pario

Bunyi kulek cando badendang, dek ditingkah ondeh mak si sambalado

Bareh Solok bareh tanamo Bareh Solok lamak rasanyo

             Secara sederhana diartikan sebagai:

Beras Solok dimasak di dandang, dimakan dengan sayur pare

Ketika dikunyah bagai orang bersenandung,

lalu dipadulah enaknya dengan sambal berbumbu

Bareh Solok beras yang terkenal, bareh Solok enak lezat rasanya

           Solok? Ya, pada waktu silam nama itu adalah satu ibukota kabupaten, yaitu Kabupaten Solok dan kini telah berkembang jadi tiga wilayah pemerintahan. Satu menjadi Kabupaten Solok, dan Solok sendiri menjadi Kota Administratif (dulu dikenal dengan Kotamadya) dan satu lagi menjadi Kabupaten Solok Selatan. Secara keseluruhan wilayah Solok diapit pengunungan Bukit Barisan dan menjadi daerah agraris yang menghasilkan padi atau beras. Itulah beras solok. Itulah Solok yang berjarak 71 kilometer (km) dari Padang, Ibukota Sumatera Barat dan bisa ditempuh secara normal dalam waktu 1 jam dengan laju 70 km per jam.

              Konon beras solok tersebut berasal dari padi yang sama dengan di kabupaten lain di seluruh Sumatera Barat. Kita sebutlah padi Caredek,  padi Sokan atau Randah Kuniang yang ditanam di Kabupaten Pariaman, Kabupaten Pasaman atau di Kabupaten Sawah Lunto adalah sama yang ditanam di wilayah Solok (Kota Solok, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Solok). Namun karena “berkat” khusus, bareh apapun yang dihasilkan padi di wilayah Solok itu rasonyo sangat tidak samo dengan bareh yang dihasilkan padi yang “sama darahnya” dengan di kabupaten lain di Sumatera Barat.

             Kenapa bisa gerangan? Tentu itulah kebesaran Maha Pencipta yang mengaruniakan tanah serta aliran air di wilayah Solok, sehingga padi yang sama ditanam di kabupaten lain dengan di wilayah Solok berbeda rasa. Konon sangat khas. Dalam khasanah ilmu pengetahuan disebut sebagai produk endemik. Produk khas daerah tertentu yang tidak ada di daerah lain kendati berjenis sama.

            Baru-baru ini sekelompok petani memanen padi di sawah irigasi di Desa Tanah Garam, Kecamatan Lubuak Sikarah, Kota Solok. Mereka adalah Sarumi (65), Ujang (59), Masri (54), Alisar (49), Amen (49), Dodi (27) dan Wanda 25 tahun. Ternyata mereka bukan anggota kelompok tani tertentu melainkan hanya sekelompok buruh tani yang mendapat upah sesuai borongan pekerjaan. Contohnya, membajak sawah, menanam padi, memanen padi dan merawat kebun cokelat serta cengkih. Kali ini mereka memanen padi di sawah milik Nyonya Yus seluas beberapa tumpak atau totalnya sekitar 0,5 hektare (ha).

            Menurut Alisar, kita ditanam benih yang dipakai bukanlah varietas unggul yang disediakan pemerintah melalui Dinas Pertanian Solok. Alasannya, sudah beberapa kali benih dari pihak pemerintah itu tidak memberi hasil memuaskan. Oleh sebab itu pemilik sawah yang acapkali kecewa terhadap benih yang diberikan atau dijual pemerintah cenderung menyemai benih dari padi petani sendiri.

            Selanjutnya Doni bercerita bahwa benih padi—entah jenis atau varietas apa saja—dibeli dari kalangan petani. Atau padi yang dipilih adalah dari hasil panen petani. Sebab, padi yang didapat dari pihak pemerintah atau Dinas Pertanian setempat hasilnya sangat mengecewakan para petani karena benihnya jelek.

             “Benih bantuan dari pemerintah entah kenapa hasilnya jelek. Benihnya tidak bermutu dan para petani sudah sering gagal panen, sehingga petani jera menerima dan memakai benih bantuan. Petani lebih suka memakai benih sendiri yang didapat dari kalangan petani sendiri. Seberapa pun hasilnya tetap lebih baik,” demikian Doni.

            Dalam kaitan itu petani lain yang mengetahui produktivitas yang rendah itu, Umbuk (59) berujar bahwa petani kemungkinan telah salah saat pemupukan. Artinya, padi itu terlalu banyak menerima pupuk urea kendati telah melewati masa pertumbuhan. Akibatnya, malah berdaun lebat dan bukan untuk malai atau biji.

            “Kebanyakan petani sangat senang melihat padinya subur dengan daun yang sangat lebat. Petani mengira dengan daun lebat itu hasil panen akan banyak, padahal sebaliknya kalau padi terlalu lebat nantinya biji tidak akan banyak. Petani hanya memupuki padi untuk menghasilkan daun atau menghasilkan jerami saja, bukan memupuki untuk menghasilkan biji,” demikian Umbuk yang juga petani di Desa Tanah Garam, Kecamatan Lubuak Sikarah.

                Panen Dengan Malambuik

                Menurut Alisar, mereka tidak mengetahui kalau ada bantuan kepada petani berupa rice miling unit (RMU-unit perontok padi) yang lazim dikenal di kalangan petani Sumatera Barat sebagai huler. Karena itulah mereka membuat bantingan yang disebut sebagai “tong padi” dengan melambuik (membanting) padi ke landasan kayu atau bambu.

               Bantingan atau lambuik itu dibuat begitu rupa dengan bentuk rangka melingkar dari beberapa potong bambu atau kayu kemudian dilapis dengan kain atau terpal untuk menghalangi padi tidak terlempat jauh, melainkan tetang di sekitar bingkai tirai. Bobot lambuik itu sekitar 12 kilogram (kg) yang bisa diangkat oleh dua petani.

              Alisar yang punya tiga anak mengungkapkan bahwa rombongannya itu memanen padi dengan upah borongan antara 100.000 rupiah per orang hingga 120.000 rupiah per orang. Untuk hampara seluas sekitar 0,5 ha itu Alisar dan kawannya memperoleh upah sebesar 900.000 rupiah. Itu dibagi tujuh orang.

            Bagaimana setelah panen usai? Doni maupun Alisar mengaku bahwa mereka akan dihubungi “rajo tanah” atau tuan tanah atau pemilih sawash ladang untuk menggarap lahan mereka. Bisa di perkebunan atau kebun dan bisa juga membajak sawah yang dipersiapkan untuk tanam padi berikutnya. Onde mande…. hiduik di maso kemerdekaan bako bacando iko masih malarek sajo (waduuh ibu…hidup di era kemerdekaan kok masih susah begini!!).  *sembada/rori/henry

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang