Negara dan Pemerintah Pernah Gagal Hadir Lindungi Petani dan Pertanian
Monday, 7th March, 2016 | 790 Views

SUDAH lama negara gagal hadir di sektor pertanian dan melindungi petani Indonesia. Pemerintah yang lalu banyak bicara alias no action talk only (NATO) terhadap petani dan pertanian. Kita harus uji apakah komitmen pemerintah melalui kabinet kerja (zaken cabinet-working government) untuk do act work work and work (DAWWAW) atau tetap NATO. Dan cukup dua tahun saja campaign (kampanye) mwnyelesaikan kondisi yang lama itu. Tahun ketiga atau pada bulan pertama tahun ketiga nanti harus eksekusi. Lindungi petani dan pertanian. Lindungiii….!

Demikian dikemukakan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian (Irjentan) Justan Siahaan kepada Media Pertanian on-line www.sembadapangan.com di ruang kerjanya, baru-baru ini. Kepadanya dilontarkan pertanian panas, mengapa petani Indonesia ketinggalan dibanding petani Viet Nam dan mengapa Indonesia mengandalkan impor beras dari Thai Land (Muangthai) dan Viet Nam, sedangkan organisasi penyuluh Indonesia telah ada lebih dari 100 tahun sejak Belanda masih di bumi pertiwi?

Satu lagi pertanyaan kepada Irjentan adalah bagaimana posisi komoditas pertanian Indonesia di lingkungan Association of South East Asia Nations (ASEAN-Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara) yang telah membuka pasar bebas bersama?

“Untuk pertanian pada masa lalu saya nilai pemerintah atau negara telah gagal. Sekarang pun masih terasa dampak buruknya walau sudah berjuang tanpa kenal lelah pada siang malam agar taraf hidup petani meningkat dan membaik,” katanya dengan menyebutkan bahwa Kementerian Peranian telah bekerja keras siang malam tanpa kenal lelah agar pertanian Indonesia makin maju menuju Indonesia Hebat.

Apa dampak buruk kondisi masa lalu itu kini? Misalnya, saat panen raya dilakukan impor bahan makan terutama beras. Ini berakibat pada petani yang menjadi miskin karena harga gabah menjadi merosot jatuh. Saat ada komitmen tidak perlu impor sapi atau daging karena diperkirakan masih mencukupi atau tersedia, tetapi impor. Mengapa ini terjadi? Mengapa tidak diuji tingkat kebenarannya?

“Bila perlu, tahan lapar tahan tidak makan daging yang “seolah ada paceklik luar biasa” untuk membuktikan kemampuan petani atau kemampuan sektor pertanian Indonesia,” ungkap Inspektur Jenderal itu.

Kesalahan Besar Selama RI Merdeka

Selain itu, menurut Justan, pemerintah Indonesia waktu itu sombong lagi dan reaktif terhadap desis suara makhluk halus dengan terus-menerus mengupayakan impor serta terus-menerus mewacanakan bahwa apabila bahan pangan kurang harus segera dilakukan impor. Paradigma berpikir dan bertindak seperti itu harus diubah secara konkret.

“Ini kesalahan besar selama Indonesia merdeka. Ini hanya menguntungkan sedikit orang dan mereka adalah pedagang yang telah kaya yang tidak berpengaruh untuk menolong dan meningkatkan taraf hidup petani,” demikian ditegaskan.

Justan Siahaan berujar bahwa selama ini petani menjerit-jerit menanggung kesulitan dalam kehidupannya sehari-hari. Misalnya, untuk makan dan minum serta untuk membiayai anak bersekolah dan menjaga kesehatan. Namun, jeritan petani yang susah itu tertutupi oleh uang para saudagar, di mana dengan berbagai cara seolah hadir di lingkungan petani. Dan pemerintah melalui Perum Bulog hadir mengimpor seolah menyelamatkan pangan nasional dengan dalih menyediakan beras untuk keluarga miskin. Mengapa puluhan juta petani atau masyarakat Indonesia miskin? Mengapa langkah semacam ini masih  muncul dan tetap ada? Ada apa?

Lalu apa yang terjadi? “Menurut saya bukan produksi yang menjadi masalah, tetapi di tata niaga karena ada sembilan mata rantai untuk memperdagangkan gabah atau beras, sehingga menyebabkan harga beras tetap tinggi walau sudah panen,” kata Justan yang maju menjadi Inspektur Jenderal melalui lelang jabatan. Dia mengajukan diri tanpa pretensi sebagai jenderal penginspeksi di lingkungan Kementerian Pertanian yang mengurus hajat strategis itu yang menurut Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa negara akan hancur bila pangan hancur.

Hadir Memproteksi Secara Maksimal

Siahaan selanjutnya mengungkapkan bahwa yang diperlukan adalah kehadiran negara atau pemerintah melakukan proteksi maksimal kepada petani Indonesia yang notabene mencapai 24 juta kepala keluarga (KK). Angka ini kalau dikonversi mencapai sekitar 90 juta jiwa dengan perkiraan setiap KK terdapat empat hingga 5 jiwa.

“Pemerintah harus hadir menyelesaikan ini. Harus dan harus. Hentikan Impor. Hentikan impor dan galang bersama produksi serta lahan yang masih luas. Semua unit pemerintahan termasuk Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Transmigrasi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk menggalang lahan dan produksi ini. Barulah kita bisa menyebut Ini Indonesia. Barulah kita bisa sebut Indonesia Hebat. Kementerian Perdagangan di mana? Juga harus hadir untuk petani dengan membuat sistem yang pro petani. Bukan berdagang bahan pangan luar negeri kepada petani. Justru perlu berdagang produk pertanian Indonesia termasuk beras ke luar negeri. Ini baru Indonesia,” kata manusia dingin yang pernah mengecap pendidikan di Amerika Serikat itu.

Dia bertutur bahwa tugas dan fungsi dia melalui konsep kerja adalah pengawasan internal dan sebagai assurance mata dan telinga bagi menteri pertanian. Konsultasi sebagai kaki tangan unit kerja teknis di lingkungan kementerian yang besar dan mengelola dana yang sangat besar. Ini sangat jauh kalau dibandingkan dengan kompetensi pengawasan.

“Saya mengurus manajemen dengan sistem atau prosedur terpercaya sebagai first line of defence dengan prosedur yang benar dan terjamin,” kata pria yang rendah hati dan pemurah budi ini. *sembada/mare

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang