MSI Desak Pemerintah Jadikan Ubi Kayu Pangan Strategis Sejajar PAJALE
Friday, 11th November, 2016 | 793 Views

SEBANYAK 6,5 juta ton ubi kayu (Manihot utilissima) di berbagai sentra-sentra ui di seluruh Indonesia tidak dapat dipasarkan.  Untuk itu pihak MSI juga menuntut pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) NOL PERSEN atau tanpa pajak dan mengenakan bea masuk terigu sebesar 10 persen. Pemerintah tidak boleh malu dan segan menetapkan ubi kayu sebagai PANGAN STRATEGIS sejajar dengan PADI, JAGUNG dan KEDELAI (Pajale) karena fungsi ubi kayu sangat banyak dan besar.

“Pemerintah jangan malu dan segan. Pemerintah tidak boleh mengabaikan ubi kayu sebagai pangan strategis yang sejajar dengan padi, jagung dan kedelai. Selain mengandung karbohidrat yang sangat dibutuhkan seluruh rakyat Indonesia, ubi kayu mengandung banyak unsure untuk pangan dan pakan ternak serta bahan bakar. Kami dari MSI mendesak Pemerintahan Joko Wododo-Jusuf Kalla memandang ubi kayu sebagai pangan strategis karena ubi kayu bisa ditanam di semua daerah tanpa terkecuali dan perawatannya sangat rendah dengan biaya yang rendah,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Suharyo Husen SE, MBA.

 Kini di berbagai daerah, menurut pihak MSI, dari 7 juta ton di Lampung hanya 700.000 ton yang tertampung pabrik. Dari sentra lainnya adalah di Goa dan Maros sebanyak 140.000 ton, Pandeglang 20.000 ton, Sukabumi dan Cianjur 20.000 ton, Malang dan Pasuran 12.000 ton, Bangka Belitung 6.000 ton dan di Asahan 10.000 ton. Pihak Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mengajukan solusi persoalan ubi kayu ini kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman melalui surat No. 001/SK/DPN-MSI/X/2016 tertanggal 17 Oktober 2016. Sudah dua minggu, surat tersebut belum direspons pihak Kementerian Pertanian.

 

Seluruh ubi kayu yang tidak terserap pabrik atau pasar tersebut disebabkan banyak pabrik bioethanol berbahan baku ubi kayu  di dalam neger dan diluar negeri terutama di Cina yang berkapasitas sanngat besar setiap pabrik setiap berhenti beroperasi. Hal ini disebabkankalah bisa bersaing dengan harga minyak bumi yang murah sejak awal 2016, di mana  saat ini hanya 42 dolar Amerika Serikat (AS) per barel).

“Akibatnya singkong petani tidak bisa diserap oleh pabrik bioethanol. Kini banyak pabrik tapioka di Indonesia berhenti beroperasi karena harga tapioca starch ex Thailand dan Viet Nam relatif murah, yaitu  sekitar  4.500 rupiah per kilogram (kg)  CIF Jakarta atau harga FOB Bangkok sekitar 4.000 rupiah per kg,” demikian keterangan Suharyo Husen kepada Media Pertanian on-line www.sembadapangan.com belum lama berselang.

Menurut Suharyo, apabila biaya pengolahan , transportasi , bunga bank dan margin perusahaan  sebesar  1.000 rupiah per kg , maka harga tapioka di tingkat petani Thailand adlah  3.000 rupiah per kg . Dengan rendemen 1 kg tapioka adalah 5 kg ubi kayu basah, maka harga ubi kayu di tingkat petani Thailand sekitar  600 rupiah per kg.  Akibatnya banyak pabrik tapioka di Indonesia tidak membeli ubi kayu petani di dalam negeri, tetapi membeli dari luar.

Suharyo juga menambahkan perekonomian di Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara di Asia dan Timur Tengah yang biasa membeli gaplek atau chips singkong untuk pakan ternak kini lesu dan berakibat pembelian ubi kayu petani Indonesia menurun.

Solusi Jangka Pendek

 

Dalam jangka pendek, demikian desakan MSI, pemerintah harus membantu menjualkan ubi kayu petani saat ini sekitar 6,5 juta ton bahkan lebih karena masih ada daerah yang belum terpantau. Pembelian itu bisa dilakukan pemerintah melalui Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog dengan penugasan khusus untuk membeli ubi kayu petani dengan harga  600 rupiah per kg. Harga ini adalah sama dengan harga ubi kayu di Thailand, yaitu 600 rupiah per kg, sehingga produk hilirnya di Indonesia bisa bersaing dengan tapioka impor dari Thailand atau Viet Nam, yaitu bisa dijual sekitar 4.000 rupiah per kg hingga 4.500 rupiah per kg tapioca starch .

Poin selanjutnya adalah agar pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan  provinsi dan kabupaten/kota  bersama-sama  Organisasi Profesi Masyarakat Singkong Indonesia ( MSI ) Pusat , MSI di tingkat daerah membantu Perum Bulog dalam pelaksanaan penugasan khusus tersebut terutama dalam pelaksanaan di lapangan.

“Singkong yang dibeli Perum Bulog dijual ke pabrik-pabrik tapioka dan pakan ternak dengan harga 650 rupiah per kg, di mana sebesar 50 rupiah per kg untuk biaya operasional Perum Bulog, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan MSI  serta bunga bank. Dan hasilnya adalah ubi kayu petani dapat diserap pasar dengan harga 600 rupiah per kg,  pabrik tapioka dan pakan ternak bisa beroperasi kembali dan impor tapioka bisa dikurangi bahkan bisa distop. Ini bisa dipakai sebagai strategi penghematan devisa nasional,” Suharyo Husen menekankan.

Solusi Jangka Menengah

Untuk solusi jangka menengah adalah han ubi kayu yang ada saat ini sekitar 1,3 juta hektare (ha) —tetapi pihak Badan Pusat Statistik mencatat 1,2 juta ha—dan 100.000 ha perluasan tanaman ubi kayu sebagai hasil promosi MSI selama 6 tahun 2010-2016 dibantu oleh pemerintah untuk jangka waktu  5 tahun.

“Bantuan pemerintah itu adalah berupa bibit singkong varietas unggul, seperti Darul Hidayah, Manggu dan Gajah serta varietas lain yang produktivitasnya bisa mencapai 60 ton per ha hingga 100 ton per ha. Selain itu juga pupuk organik dan kredit murah, seperti KUR untuk biaya olah tanah, biaya tanam dan biaya panen,” Suharyo menegaskan.

Dia juga menyebutkan bahwa apabila pemerintah berinisiatif membantu petani, maka biaya produksi ubi kayu  bisa ditekan menjadi 10 juta rupiah per ha. Apabila produksi ubi kayu mencapai 40 ton hingga 60 ton per ha dengan harga jual 600 rupiah per kg akan diperoleh 24 juta rupiah hingga 36 juta rupiah per ha atau keuntungan sebesar 14 juta rupiah hingga 26 juta per ha dalam kurun waktu 10 bulan ) atau antara 1,4 juta rupiah hingga 2,6 juta rupiah per bulan per ha.

“Jadi bagi petani ubi kayu yang mengelola lahan satu hektare akan mempunyai 1,4 juta rupiah per bulan hingga 2,6 juta rupiah per bulan. Dan angka itu masih bisa didorong dengan meningkatkan produktivitas menjadi 80 ton per ha hingga 100 ton per ha,” katanya.

Solusi Jangka Panjang

 

Semua ubi kayu yang diproduksi oleh petani harus diolah menjadi gaplek atau chips kering yang bisa bertahan atau disimpan sekitar 6 bulan. Oleh sebab itu pihak MSI meminta pihak pabrik pengolahan ubi kayu (tapioka , mocaf, pakan ternak, bioethanol ) menggunakan bahan baku berupa gaplek atau chips kering dengan stok bahan baku sampai 6 bulan.

Disebutkan pula bahwa pihak bank bisa mendukung resi gudang kepada petani melalui Koperasi Singkong Indonesia (Kopsindo), sehingga tanaman ubi kayu petani terjamin pasarnya, yaitu dibeli oleh Kopsindo untuk diolah menjadi gaplek dan chips kering. Dalam kaitan tersebut perlu dilakukan penyuluhan atau pendampingan berkesinambungan karena bibit sudah bisa diproduksi sendiri oleh petani termasuk pupuk organik.

 “Dalam jangka panjang, pemerintah harus menetapkan harga gaplek dan chips singkong sebesar  2.500 rupiah per kg, sehingga harga tepung tapioka berbahan baku gaplek atau chips kering bisa dijual antara 4.000 rupiah hingga 4.500 rupiah per kg yang diyakini mampu bersaing dengan tapioca starch dari Thailand dan Viet Nam,” katanya.

Dia menambahkan bahwa hal yang sama diterapkan pada modified cassava flour (mocaf) berbahan baku gaplek atau chips kering bisa dijual seharga 4.000 rupiah per kg hingga 4.500 upiah kg, di mana harga ini berada di bawah harga terigu yang mencapai antara 5.000 rupiah hingga 9.000 per kg  yang berbahan baku gandum impor 100 persen, sehingga mocaf bisa mengganti terigu hingga 40 persen sekaligus dapat mengurangi 40 persen impor gandum dan dapat menyerap ubi kayu petani Indonesia dalam jumlah besar,” demikian Suharyo berapi-api menegaskan seolah memendam gugatan.

Kalau ini bisa dijalankan, menurut Suharyo, untuk jangka panjang ubi kayu dapat memberikan pendapatan yang ril kepada petani sekitar 2,6 juta rupiah per bulan hingga 5 juta per bulan dengan produktivitas 100 ton per ha. Dampak positifnya adalah mengurangi impor sebesar 40 persen per tahun dari jumlah impor gandum saat ini sekitar 8 juta ton atau menghemat sekitar 1,6 juta ton – 3,2 juta ton. * sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang