Memang Ada Apa Kalau Harga Beras Naik? Siapa Memihak Kepada Petani?
Wednesday, 22nd March, 2023 | 795 Views
|
Oleh Dandan Hendayana, SP,MP Dinas Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan dan Ketahanan Pangan Kab.Cianjur

            

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kab.Cianjur  Dandan Hendayana,SP,MP

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kab.Cianjur Dandan Hendayana,SP,MP

PADA INTERVAL FEBRUARI hingga Maret 2023 banyak pihak hiruk-pikuk memperbincangkan dan menolak harga beras (dalam negeri produk petani Indonesia) yang mahal. Para pihak itu juga menginginkan harga tersebut turun. Bahkan dalam banyak berita secara terus-menerus disiarkan suara konsumen yang menolak harga beras petani Indonesia yang naik itu.

   Apabila diharapkan harga harus di bawah 10.000 rupiah per kilogram (kg) itu mungkin untuk beras medium. Harga beras medium yang harga di bawah 5.250 rupiah per kg untuk gabah kering giling (GKG) bisa di bawah 4.700 rupiah per kg GKG. Jika harga di bawah 4.700 rupiah per kg GKG,  misalnya 4.500 rupiah per kg kemungkinan bisa masuk untuk harga 10.000 per kg tersebut.

   Untuk harga 4.500 rupiah per kg untuk GKG misalnya, untuk memperoleh satu kilogram beras dibutuhkan minimal 2 kg GKG berarti 9.000 rupiah per kg ditambah 1.300 rupiah untuk biaya giling, jemur, angkut dan kemasan berarti 10.300 rupiah per kg, maka harga beras bisa di kisaran 11.000 rupiah per kg masih ada margin atau selisih bagi petani dengan catatan  harga GKG itu di kisaran 4.500 rupiah per kg.

    Kalau untuk yang lebih murah lagi sebagai diinginkan konsumen, maka harga GKG harus di angka di 4.200 rupiah per kg berarti harga beras itu di 8.400 rupiah ditambah 1.300 rupiah adalah 9.700 rupiah per kg atau 9.600 rupiah per kg. Artinya, bisa dijadikan beras medium-1. Sekarang masalahnya konsumen ingin beras premium dengan harga yang murah tentu tidak akan bakalan kena. Kenapa demikian? Sebab, harga GKG untuk itu saja sudah di atas 5.000 rupiah per kg.

   Menurut saya mereka atau konsumen tidak tahu kenapa harga beras bisa sampai pada bilangan tertentu. Kenapa untuk mendapat perimbangan agar diperoleh satu kilogram beras dari GKG adalah dua kali atau dua kilogram dari GKG. Sebab, rendemen beras kita 60 persen yang bagus atau kadang-kadang 50 persen. Jadi, rendemen atau tingkat kadar air GKG yang baik untuk mendapat satu kilogram beras itu adalah dari dua kilogram GKG.

   Coba kita hitung, untuk harga beras 12.000 rupiah per kg atau 11.500 rupiah per kg beras masih wajar untuk beras premium karena dapat GKG sudah di kisaran 5.700 rupiah per kg. Dengan harga GKG 5.500 rupiah per kg saja, maka harga berasnya sudah 11.000 rupiah per kg dan kalau ini ditambah 1.300 rupiah, maka harganya sudah 12.300 rupiah per kg.

   Berarti dengan harga 12.500 rupiah per kg untuk beras itu untung petani cama 200 rupiah per kg. Belum lagi rantai pasokan dari penggilingan hingga kepada konsumen atau toko pengecer sangat panjang. Dengan demikian, pihak yang beruntung atau mendapat keuntungan bukan petani, melainkan pedagang. Kalau dilihat dari figur angka tersebut di atas jelaslah terlihat bahwa petani hanya dapat selisih harga dari GKG. Atau minimalnya sebatas gabah kering panen (GKP) saja. Apakah itu bisa dikatakan bahwa petani beruntung? Menurut saya tidak. Tidak sama sekali.

   Nah, coba kita lihat ke bagian hulu. Pertanyaannya, berapa sih ongkos produksi satu kilogram gabah kering panen (GKP)? Kalau ditentukan ongkosnya di angka 4.200 rupiah per kg termasuk hari orang kerja (HOK), semua jenis pupuk dan pertisida, maka hal itu rata-rata ongkos produksi  terhadap ongkos produksi usaha tani untuk menghasilkan gabah.

Petani Untung 300 Rupiah Hingga Panen?

    Sekarang kita lihat dengan cermat, kalau ongkos produksi sebesar 4.200 rupiah per kg lalu dijual 4.200 rupiah per kg tentu tidak ada untung yang didapat pada petani. Kalau demikian, petani hanya menghasilkan gabah atau beras untuk konsumen saja? Petani jadi kuli rodi untuk para konsumen? Di mana keadilannya? Kalau dijual 4.500 rupiah per kg, boleh jadi masih ada untungnya 300 rupiah, di mana angka ini untuk tiga bulan yang dihitung dari mulai pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiangan, pengobatan, panen dan pengolanannya.

    Berarti salama satu bulan petani hanya dapat 100 rupiah atau 100 perak per kg alias omong kosong semata. Dapat apa uang SERATUS RUPIAH untuk belanja sekeluarga dalam 30 HARI alias satu bulan? Bisakah konsumen atau pihak ahli komunikan yang mengaku ahli komunikasi membayangkan uang 100 rupiah dalam sebulan untuk beras yang dimasak konsumen mengisi perutnya? Ini luar biasa menyakitkan dan memprihatinkan. Dan untungkah petani mendapat 100 rupiah dalam sebulan atau 300 rupiah selama masa tanam hingga panen itu? Ah, betapa nestapa hidup petani Indonesia.

   Keadilan macam apa yang akan dihadirkan atau diinginkan konsumen untuk harga beras yang dikatakan mencekik leher konsumen dengan harga beras yang naik? Bisakah konsumen yang berteriak itu berkontribusi pada sektor pertanian dengan bersama-sama para petani menyiapkan pengolahan lahan misalnya? Atau satu konsumen Indonesia menyumbangkan satu (1) kilogram pupuk kepada petani daripada berteriak harga beras mahal dan menuntut pemerintah menurunkan harga beras? Ada apa kosumen Indonesia tidak memiliki keberpihakan kepada petani yang berlama-lama memelihara tanaman padinya dengan penuh tantangan dan permasalahan karena masalah air, pupuk dan hama untuk menghasilkan beras bagi konsumen?

   Lalu Pemerintah yang dituntut konsumen untuk menurunkan harga beras, apakah memihak kepada petani dan konsumen? Ini pertanyaan sederhana saja. Atau berapa persen konsumen Indonesia yang berkoar tentang harga beras yang disebut mahal dibanding dengan konsumen yang bisa menyiasati harga beras yang disebut-sebut mahal itu dengan misalnya makan ubi jalar atau ubi kayu (singkong) atau sagu?

    Jadi, hemat saya periksa dulu kondisi yang lainnya terkait kenaikan harga beras itu dari mana dan bagamana. Jangan-jangan ada di struktur biaya. Artinya, boleh saja ongkos produksi gabah atau beras Indonesia tak sangkil atau tak berdaya guna (not efficiency). Nah, hal ini yang sering kali menimbulkan kebijakan yang kurang bijak pemerintah yang secara instant selalu impor.

    Sebab, memang ongkos produksi gabah di Vietanam dan Thailand yang menjadi sumber impor beras ke Indonesia itu sangat murah dibanding di Indonesia, yaitu 2.500 rupiah saja per kg. Di Indonesia ongkos produksi gabah adalah 4.200 rupiah per kg dan ini sangat jauh dari layak. Indonesia impor beras secara langsung maupun tidak langsung hanya menguntungkan petani luar negeri atau negara lain dan dengan sengaja merugikan petani negara sendiri.

   Saya berpendapat bahwa ini merupakan kejahatan karena hal ini terus-menerus terjadi sepanjang tahun, padahal semua pihak termasuk legislatif atau DPR sudah mengikrarkan bahwa padi atau beras itu adalah produk strategis yang bisa menguncang keamanan dan kemantapan (stability) negara apabila tidak tersedia. Namun, giliran untuk mengamankan beras yang menjadi produk strategis itu tidak semua pihak mengikrarkan agar petani Indonesia dan sektor pertanian diamankan dan dimantapkan. Logika berpikir dan bertindak banyak pihak sangat semu dan sumir saja.

Petani Terjepit dan Tersingkir

   Jadi, apabila ongkos produksi di Indonesia tinggi tentu solusinya bukan langsung impor, tetapi sistem dan infrastruktur harus diperbaiki dan termasuk memperbaiki sarana produksi padi (saprodi) yang ada. Contohnya, secara teori kalau dianalisa ekonomi makro, posisi petani selalu terjepit dan tersingkir. Di hulu itu para petani menghadapi pasar input monopoli atau para pengusaha yang jumlahnya sedikit.

   Pupuk dimonopoli, Pestisida dan herbisida dimonopoli. Pihak yang menentukan harga pupuk petanikah? Tidak. Tetapi, pihak produsen. Begitupun produk lainnya. Adakah produsen pupuk minta pendapat petani soal harga pupuk? Tidak ada. Adakah produsen pupuk yang memiliki sebidang tanah untk produksi gabah atau beras? Tidak ada.

   Jadi? Selama ini apabila produsen pupuk mengumumkan harga pupuk urea naik ya naik saja. Petani bisa protes? Tidak. Produsen menaikkan harga pupuk NPK, ya naik saja. Petani bisa mengeluhkan agar turun atau agar tidak naik? Tidak. Itulah petani di Indonesia. Memang beda dengan di negara lain bahwa petaninya dilindungi dengan berbagai cara termasuk menyangkut saprodi. Contoh lain, harga traktor naik oleh produsen karena komponen masih impor naik, ya naik saja.

   Petani bisa protes? Tidak. Pemerintah ribut atau mempersoalkannya? Tidak. Organisasi petani seperti HKTI atau KTNA dan SPI perotes atau ribut? Tidak. Bahkan para pihak itu diam saja. Itu sebagian input di hulu. Itulah kondisi yang dialami sejak puluhan tahun silam hingga 2023 sekarang. Tidak pernah terselesaikan termasuk oleh wakil rakyat di DPR yang bajinya sangat besar itu.

   Untuk pasar output untuk gabah, petani menghadapi monoksomi, dimana pembelinya sedikit dan penjualnya banyak. Para petani tidak bisa menentukan harga, seperti pengusaha pupuk sesukanya menentukan harga dan produsen traktor sesukanya menentukan besaran harga. Para tengkulak menentukan harga gabah 4.500 rupiah per kg, petani bisa tolak? Tidak bisa? Semua orang sudah tahu bilangan harga yang dipakai petani, tetapi petani tidak bisa menentukan harga (walau pun sedikit) dari produk gabah atau berasnya. Kenapa? Ini memang aneh. Ini sangat tidak adil.

   Saya berpikir bahwa pada akhirnya petani itu tidak akan pernah merdeka dan tidak bebas mengurus hasil taninya. Petani tersingkirkan di negara sendiri oleh pejabat sendiri dan oleh wakil rakyat sendiri di DPR. Petani tidak bisa menentukan harga sendiri atas produksinya sendiri. Petani tidak merdeka atau tidak independen. Pihak yang merdeka adalah pengusaha, DPR dan pemerintah. Idealnya kalua melihat pasar bebas seperti sekarang ini tentu petani harus bebas menentukan harga gabahnya. Namun, fakta dan keadaannya tidak.

   Inpres No.14 tentang Penetapan Harga atau Harga Penetapan Pemerintah (HPP) sejak 2015 belum pernah direvisi dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah inflasi hingga sekarang tidak pernah dihitung.  Apa sih susahnya merevisi harga batas atas bawah itu kalau ada kemauan untuk itu? Sementara harga bahan bakar minyak sejak 2020 hingga 2023 ini sudah berubah naik beberapa kali. Kenapa dan kenapa?

Air Kemasan Versus Beras

    Bagi saya saat ini kalau menyangkut harga gabah atau beras, naik seberapa pun itu sah-sah saja. Itu tidak ada masalah apapun. Semakin tinggi harga produk beras itu semakin baiklah. Artinya, hal itu tergantung konsumen yang menentukan untuk memilih produk yang sesuai dengan keuangannya. Jadi, samalah di toko supermarket, harga air yang dikemas ukuran atau dengan volume 1/5 atau SEPERLIMA LITER alias 200 milli liter dijual dan dibeli masyarakat dengan harga 250 rupiah.

    Semua orang tidak ada yang protes. Atau untuk ukuran 650 milli liter seharga 3.500 rupiah. Semua orang membelinya tanpa mengeluh. Tidak ada yang protes. Itu air lho..! Bahan baku yang hanya diisap dari bumi lalu dikemas dan dijual. Kalau beras? Sekilo beras dari dua kilo gabah diprotes habis? Waah…terlalu.

    Kini perusahaan sawit besar telah masuk di produk padi dengan membeli gabah petani seharga 5.700 rupiah hingga 5.800 rupiah per kg untuk GKP atau bukan untuk harga GKG. Semua produk petani berapapun jumlah dan keadaannya dibeli langsung tanpa syarat. Itu di Provinsi Jawa Timur. Masakan kalah Perusahaam Umum (Perum) Bulog yang milik Pemerintah Indonesia kalah mampu dan kalau bijak dibandingkan Pengusaha Swasta?

   Di mana letak kekalahan Perum Bulog? Mungkin jawabannya adalah bahwa Perum Bulog tidak mau mengeluarkan uangnya membantu petani dan cenderung untuk menunggu ‘musim paceklik’ agar mengimpor beras. Selain itu syarat Perum Bulog sangat memberatkan petani, misalnya menyangkut rendemen gabah. Harga di Bulog juga membuat petani pusing, yaitu 4.200 rupiah per kg. Atau 5.250 rupiah per kg untuk GKG.

   Cobalah pemerintah mengambil batas atas, misalnya 6.300 rupiah per kg untukGKG, pastilah para petani berduyun-duyun membawa gabah mereka ke Perum Bulog daripada ke perusahaan sawit yang kini masuk ke sawah petani. Nah, saat ini Perum Bulog semakin kehilangan gigi walaupun uangnnya banyak, tetapi tidak mau membeli gabah petani dengan harga yang pantas. Tetapi, kondisi yang ironis, ketika petani menjual ke pihak lain dengan harga tinggi atau Perum Bulog tidak bisa membeli gabah dengan harga tinggi, Perum Bulog mengatakan agar petani menjual gabah mereka ke Perum Bulog karena pihak Bulog kekurangan. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang