Alih Fungsi Lahan Sawah, Salah Siapa…..?
Thursday, 8th June, 2023 | 675 Views
|
Oleh Dandan Hendayana,SP,MP, Kepala Bidang Tanaman Pangan DTPHPKP Kab.Cianjur
Kepala Bidang Tanaman Pangan,  Dinas Pertanian Kab.Cianjur (Foto:sembada/rori)

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kab.Cianjur (Foto:sembada/rori)

ADALAH SEBUAH REALITAS jika dari tahun ke tahun jumlah penduduk akan semakin meningkat. Dengan trend laju pertambahan penduduk yang meningkat, maka peningkatan ketersediaan pangan adalah suatu kebutuhan.

  Robert Thomas Malthus (1766-1834) dalam bukunya yang paling terkenal Principle of Population (1798) mengungkapkan bahwa  Laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan laju pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung. Artinya, laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan.

    Dalam perspektif ketahanan pangan, jika kebutuhan pangan penduduk meningkat, maka konsekuensi kecukupan produksi pangan (khususnya pangan pokok)  adalah sebuah kepastian yang harus ditempuh. Bagaimana pun juga tidak bisa dipungkiri bahwa produksi pangan yang dihasilkan akan sangat tergantung terhadap daya dukung lahan pertanian. Baik secara kualitas (tingkat kesuburan) maupun secara kuantitas (luasan) ketersediaan lahan pertanian menjadi determinan utama dalam usaha menyediakan pangan pokok manusia.

    Di antara sekian banyak hal dalam penataan ketahanan pangan, salah satu persoalan yang masih menjadi pusat perhatian kebijakan nasional dewasa ini yaitu  persoalan alih fungsi lahan pertanian khususnya Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS). Kondisi umum tentang alih fungsi lahan sawah ini mudah untuk dicermati, yakni sejauhmana dan seberapa banyak kasus atau peristiwa, dimana lahan sawah produktif berubah fungsinya menjadi lahan non pertanian. Apakah itu untuk fasilitas umum, permukiman, perkantoran, industri, atau untuk hal lainnya di luar fungsi utama lahan sawah sebagai ‘mesin’ penghasil pangan,

   Semudah itulah kita memahami sebuah kenyataan tentang apa yang disebut dengan AFLS. Sebuah konsekuensi yang harus diterima bahwa ada relasi kuat antara pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya terhadap tekanan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya lahan pertanian. Berangkat dari asumsi diatas, kita meyakini bahwa kondisi alih fungsi lahan pertanian khususnya AFLS adalah sebuah keniscayaan atau dengan kata lain keniscayaan yang berujung pada sebuah ‘keadaan’ yang memaksa.

   Kalau kita dekati dari pola AFLS yang terjadi saat ini, maka akan ditemukan dua pola, yaitu AFLS yang bersifat sistematis dan bersifat sporadis. Alih fungsi yang bersifat sistematis terjadi dalam skala luasan yang besar (puluhan bahkan ratusan hektar), dan lazimnya dilaksanakan oleh korporasi. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralih fungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi.

   Di sisi lain, AFLS yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadi alih fungsi lahan pertanian (AFLS ) yaitu:

Faktor Kependudukan

    Peningkatan jumlah penduduk yang pesat telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi, dan sarana lainnya. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang memerlukan lahan yang luas, sebagian di antaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah.

   Hal ini dapat dimengert, meningat lokasinya dipilih sedemikian rupa, sehingga dekat dengan pengguna jasa yang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub urban area). Lokasi sekitar kota yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non pertanian mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya.

  Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit,” yakni sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi lainnya yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.

Faktor Ekonomi

   Tingginya  land rent value  yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh biaya produksi yang tinggi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya), seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya. Terjadi antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan tanah pertanian terfragmentasi, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

Degradasi Lingkungan

    Dampak perubahan iklim seperti kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan, serta pencemaran air irigasi; lingkungan sawah sekitar pantai yang rusak mengakibatkan, instrusi (penyusupan) air laut ke daratan yang berpotensi meracuni tanaman padi.

    Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian, dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.

   Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan).

    Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

   Akan tetapi proses penyusunan RTRW yang pada umumnya cukup alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar operasional. Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi, faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah banyak pula dilakukan.

    Beberapa rekomendasi telah dihasilkan dan sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Setidaknya  telah ada lebih dari 12 produk hukum tingkat pusat, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri ataupun Keputusan Bersama tingkat Menteri. Akan tetapi sampai saat ini berbagai kebijakan tersebut belum berhasil mencapai sasaran. Efektivitasnya masih terkendala oleh belum terwujudnya konsistensi dalam perencanaan, serta lemahnya koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan.

   Kita tentu ingat bagaimana retorika Presiden Soekarno (1952) memberikan akronim untuk istilah petani sebagai Penyangga Tatanan Negara Indonesia.
Arti dari kepanjangan petani sebagai penyangga tatanan Negara Indonesia ini memang dinilai pas dan cocok dengan profesi petani. Peran mereka memang seperti penyangga, dimana tanpa mereka rakyat Indonesia tentu akan mengalami krisis pangan. Hal ini tentu akan mengganggu tatanan negara Indonesia. Lalu bagaimana dan siapa yang akan memikirkan nasib sang penyangga negara tatkala dihadapkan dengan situasi keadaan yang memaksa seperti ini…? * Cianjur, 5 Mei 2023

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang