Leonard: “Sorong Selatan Subur, Tetapi Rawan Pangan?”
Friday, 19th August, 2016 | 819 Views

ADA dua faktor besar kenapa Papua Barat terutama Kabupaten Sorong Selatan masuk kelas rawan pangan. Pertama, transportasi atau akses jalan yang sangat kurang, sehingga masyarakat tidak leluasa bergerak secara sosial dan ekonomis. Kedua, secara rata-rata gelora semangat masyarakat setempat belum teroptimalkan karena ketersediaan makanan dan minuman dari alam sudah tercukupi untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.

“Kalau hanya untuk sekadar makan tidak perlu pusing. Tidak perlu kerja keras. Di alam sudah tersedia, seperti ikan, ubi dan sagu. Jadi, sebenarnya daerah kami mulai dari pegunungan sampai daerah pesisir sangat subur dan kaya akan sumber daya alam,” ungkap Leonard Momot, Kepala Ketahanan Pangan, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat.

Untuk daerah pesisir saja, menurut dia,  produksi udang dari air payau sangat melimpah. Tinggal tangkap, bawa dan makan. Udang begitu banyak dan besar-besar. Begitu pun panen ikan dari tangkapan masyarakat. Kala mereka melaut pasti dapat ikan yang sangat banyak. Untuk satu minggu hingga 10 hari satu keluarga tidak akan habis dikonsumsi.

“Kalau akan dijual? Dijual ke mana? Orang lain juga punya ikan. Juga banyak!! Sisa  ikan seminggu atau 10 hari itu tidak akan bernilai ekonomis untuk menanbah ekonomi masyarakat karena tidak akan laku dijual. Sekali lagi di daerah kami ikan melimpah. Semua masyarakat bisa menangkap dan mengkonsumsinya sendiri tanpa harus membeli. Akibatnya perekonomian masyarakat tidak bergerak karena tidak ada transaksi ekonomi yang signifikan,” Leonard menegaskan kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di Surabaya, belum lama berselang.

Tidak Ada Transaksi Ekonomi

Lebih lanjut Leonard Momot mengungkapkan bahwa khusus untuk daerah pegunungan dan dataran rendah tanah pertanian yang ditanami padi bisa dipanen  tiga kali dalam satu tahun. Hasil panen itu sangat melimpah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari penduduk setempat. Kondisi yang ada adalah tidak ada pihak yang membeli hasil keringat masyarakat setempat karena untuk dibawa ke tempat lain sulit alat sarana dan prasarana angkutan. Sulit transportasi.

“Kondisi ini diperparah oleh kondisi masyarakat kami yang belum akrab dengan inovasi teknologi bercocok tanam untuk memberikan hasil produksi untuk mereka nikmati sendiri. Mereka mengharapkan pemberdayaan dan pendampingan yang masksimal dari berbagai pihak termasuk pemerintah untuk melakukan kegiatan yang produktif atas alam yang kaya raya dan melimpah. Apalagi tinggal mengolah yang sudah ada di sekitar mereka,” kata Leonard, sembari menambahkan ada pendidikan kepada masyatakat yang salah selama ini karena sering diberikan bantuan berupa uang.

Contoh lain yang berhubungan dengan alam, menurut paparan Leonard Momot dalah bahwa masyarakat di Sorong Selatan tidak perlu menanam atau melakukan budidaya jamur. Dari pohon sagu yang sudah tumbang seusai ditebang, setelah beberapa lama akan ditumbuhi jamur kuping yang sangat banyak dan subur. Jadi, masyarakat tinggal ambil. Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan sudah memikirkan untuk membawa jamur itu ke laboratorium untuk mengetahui nilai gizi yang dikandungnya.

Apabila sudah lengkap produk jamur itu akan dilabel dalam kemasannya untuk memberi informasi kepada konsumen jamur bahwa komoditi itu layak makan atau boleh dikonsumsi. Kendati belum ada penelitian atau pernyataan resmi tentang nilai gizi jamur, masyarakat sudah lama mengkonsumsinya dan aman saja. Kekayaan alam seperti ini belum dieksploitasi oleh pihak manapun untuk meningkatkan taraf hidup maupun perekonomian masyarakat Sorong Selatan. Hal yang sama juga pada ikan dan udang.

“Jadi inti dari omongan kita ini adalah perlu perubahan pola pikir penduduk setempat agar makin giat bekerja menaikkan taraf hidup mereka sendiri tanpa terlalu mengharapkan bantuan dana dari pemerintah. Hasil bumi yang disediakan alam pun sudah berlimpah dan hal itu perlu dikelola agar bernilai ekonomi bagi masyarakat luas,” Leonard berujar.

Mengubah Pola Pikir dan Sikap

Dia menambahkan pula bahwa dia sendiri dan beberapa masyarakat setempat berharap ke depan ada investor atau pemilik uang mau menggerakkan dana mereka agar semua potensi yang ada ini bisa berkembang. Dan tentu hal itu akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat agar mereka terlepas dari keterbelakangan atau ketertinggalan. Semua pola itu harus diubah total, sehingga semua yang disediakan alam itu harus ditangani untuk mendatangkan uang yang banyak pula. Dan itu pasti bisa diraih dengan kerja keras, ulet dan tanpa henti.

Menurut Leonard Momot, kalau melihat potensi alam lain di daerahnya, seperti dari pembusukan pohon sagu pasti bisa menghasilkan kompos yang sangat bagus untuk pertanian. Bahkan ulat sagu itu juga sangat tinggi nilai proteinnya sebagai makanan pengganti yang bisa juga dimasukkan dalam sumber olahan makanan setempat yang harus dikembangkan. Nilai gizinya sangat tinggi. Potensi alam yang begitu kaya bisa menghasilkan uang apabila dikelola dengan baik dan hal itu pasti bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekaligus pendapatan asli daerah (PAD). * sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang