Krisis Pangan? Sagu Solusinya Sagu Jawabnya
Monday, 23rd October, 2017 | 959 Views
|
Oleh Freddy Numberi
Freddy Numberi

Freddy Numberi (Foto:sembada/henry)

DUNIA SAAT INI ini sedang menghadapi permasalahan crucial (genting) berupa krisis pangan dan energi. Dalam hal pangan, kini kebutuhannya terus semakin meningkat seiring dengan petumbuhan penduduk. Sumber pangan kian tidak menentu akibat lahan yang tidak tersedia dengan cukup termasuk karena alih fungsi lahan pertanian produktif atau tanaman padi tidak berproduksi maksimal akibat pemanasan global dan perubahan iklim.

Wilayah Tanah Papua menyediakan dan menawarkan begitu banyak sumberdaya alam termasuk beragam sumberdaya hayati yang apabila dikelola dan dikembangkan dengan arif dan bijaksana akan bisa menyejahterakan masyarakat Papua serta bangsa-negara Indonesia. Di sini tidak tekecuali SAGU untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan energi sebagai satu di antara penopang penting ketahanan pangan dan energi lokal-nasional.

Selama ini pohon sagu bukan hanya memberikan sumber pangan (dan energi) serta menumbuh-kembangkan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat, tetapi telah pula melindungi penduduk di kawasan pesisir Tanah Papua maupun Maluku Raya dari ancaman serta hantaman gelompang dari laut bebas. Selain itu juga telah melindungi masyarakat di dekat bantaran sungai yang sewaktu-waktu dapat meluap seperti air bah. Ini sungguh anugerah dan karunia Tuhan yang harus dan patut disyukuri.

Namun sangat disayangkan bahwa dengan manfaat yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat Papua dan Maluku, sagu seolah-olah masih saja terlupakan dan dilupakan. Bahkan kalau boleh dikatakan bahwa sagu masih diabaikan dan teabaikan. Sebagai sumber pangan dan energi  bagi masyarakat setempat dan nasional, sagu sudah tergeser oleh sumber pangan pokok lain terutama beras yang sesungguhnya bukan makanan utama dan asli masyaakat Papua dan Maluku.

Politik “perberasan” di masa lalu telah mengubah pola pikir, perilaku dan budaya makan sebagian besar masyarakat Papua dan Maluku menjadi beralih dan bahkan meninggalkan sagu (dan umbi-umbian bagi masayrakat pedalaman) yang ternyata nilai kandungan gizi sangat tinggi tidak kalah dibandingkan beras.

Secara umum masyarakat Papua lebih mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar, ubi kayu (singkong), keladi dan pisang. Dari beragam sumber makanan itu hanya dua sumber makanan yang terkenal hingga kini, yakni sagu bagi masyarakat pesisir pantai dan daerah sungai dan ubi jalar bagi masyarakat pedalaman-pegunungan.

Sagu sebagai tanaman pangan khas dan asli Papua dan Maluku tumbuh dan tesebar di kawasan Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau di kawasan Mikronesia dan Polinesia. Beberapa jenis sagu yang dikenal antara lain Metroxylon amecarum, Metoxylon faulcoxii, Metoxylon sagu, Metroxylon salomonense, Metroxylon vitiense dan Metroxylon warburgii. Pohon sagu yang merupakan tumbuhan khas daerah tropis dapat mencapai tinggi dari 9 hingga 33 meter yang tumbuh dan berkembang di daerah hutan-hutan pesisir pantai dan sepanjang bantaran sungai dengan pertumbuhan 1,5 meter per tahun.

Jawaban Krisis Pangan Adalah Sagu

Bagi Indonesia, permasalahan pangan ini sudah di depan mata, sehingga pemerintah terus melakukan berbagai terobosan agar ketahanan pangan terjamin. Pemerintah berupaya meningkatkan produksi pertanian pangan  maupun diversifikasi bahan pangan pokok di daerah-daerah. Untuk itu sagu adalah jawaban dari krisis pangan maupun energi. Tidak ada lain. Sebab, sagu tidak saja mampu menjawab upaya pemerintah dalam melakukan diversifikasi pangan lokal pun nasional.

Sagu merupakan tanaman multifungsi yang memiliki nilai guna dan daya guna. Hutan sagu di Indonesia memiliki 1,2 juta hektare (ha) yang merupakan 55 persen dari luas sagu dunia. Namun, sayang sekali hutan sagu yang sangat prospektif untuk memenuhi pangan Indonesia (nasional) dan dunia (ekspor) dalam program ketahanan pangan nasional masih kurang didayagunakan atau KALAU BOLEH DIKATAKAN “masih diabaikan” oleh pemerintah.

Diabaikan? Boleh jadi. Kita bisa lihat bahwa pada kondisi lahan tanam sesuai lahan  dapat menghasilkan 30 hingga 50 pohon masak tebang (MT) per ha dengan produksi tepung kering mencapai 250 kilogram (kg) hingga 500 kg per pohon. Apabila diambil secara rata-rata 40 pohon MT per ha dengan 375 kg pati kering per pohon, maka produksi pati sagu kering per ha pada kondisi hutan dapat mencapai 15.000 kg atau 15 ton per ha per tahun. Karbohidrat sagu mencapai 85 pesen. Jadi, soal krisis pangan? Ya, sagu solusinya. Sagu jawabannya.  * Freddy Numberi, Laksdya TNI (Purn), peneliti pangan, penceramah sumberdaya manusia, mantan menteri, mantan Duta Besar dan tokoh Papua.

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang