Koptan Sumber Maler III Sidoarjo: Kendati Pernah Tak Panen Kami Suka Tanam Kedelai
Monday, 17th June, 2019 | 835 Views

KENDATI PERNAH TIDAK panen karena musim kemarau panjang dan tidak ada air, para petani anggota Kelompok Tani Sumber Makmur III tetap menyukai tanam kedelai (Glycine max). Sebab, para petani melihat banyak pabrik tahu  dan pengolah tempe di wilayah kami. Itu artinya, peluang pasar tetap terbuka. Sebab, dari mana pemilik pabrik memperoleh bahan baku kedelai? Para petani berpikir pasokan bahan baku tahu dan kedelai itu jangan dimonopoli daerah lain, sehingga para anggota juga sangat berniat merebut pasar yang konsumennya banyak itu dengan menanam kedelai.

            Adalah Suwardi (62) petani sekaligus Ketua Kelompok Tani (Koptan) Sumber Makmur III berujar serius bahwa anggotanya yang terdiri dari 36 orang tidak akan meninggalkan tanaman kedelai. Pada musim tanam kedelai yang lalu Suwardi sendiri yang memiliki lahan seluas lebih dari satu hektare itu panen dengan hasil 2,2 ton per hektare (ha).

            “Pada waktu lalu kami panen sebanyak 2,2 ton per ha. Sesungguhnya kami sangat gembira atas hasil tersebut. Tetapi, harga jual kedelai kami itu hanya 6.000 rupiah per kilogram. Namun, ada juga yang dihargai 8.000 rupiah per kg dan 8.5000 rupiah per kg setelah sempat ditahan oleh petani,” ungkap Suwardi kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com sebelum acara Gerakan Tanam Peningkatan Produksi Kedelai Tahun Anggaran 2019 di Desa Panger Ngumbuk, Kecamatan Wono Ayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, baru-baru ini. Suwardi sendiri adalah petani asal Dusun Bendet, Desa Pager Ngumbuk, Wono Ayu.

            Menurut dia, para petani di desanya pernah mengalami gagal panen kedelai, yaitu pada 2015 yang lalu. Hasilnya tidak sampai satu ton per ha. Bahkan beberapa petani sama sekali tidak memanen kedelainya akibat serangan hama yang sangat ganas. Kendati demikian, para petani di kecamatan itu tidak akan berhenti untuk menanam kedelai karena kebutuhan untuk itu sangat besar.

            “Lagi pula banyak perbincangan di kalangan petani sendiri bahwa kedelai yang dibuat jadi tahu dan tempe itu adalah impor dari Cina dan Amerika dan harganya sangat murah. Morgo opo murah? Jarehe wis suwi ning gudang, akibate mutune medhun. Ora mutu, tur wis direko. Mben-mben marahi penyakit ganas. Penyakit kanker. Ora ngalahi mutu kedele wonge ndhewek. Aku ngajak petani ning indhi ae panggonane supoyo nandur kedele. Nggo opo maneh kedele impor kuwi. Ayo podho nandur kedele, sa wancine kedele impor ditutup,” ujar Suwardi gregetan atau bersemangat.

            Kalau diindonesiakan kurang lebih “Kenapa murah? Katanya kedelai impor itu sudah lama di gudang, sehingga mutunya rendah. Tidak mutu, lagi pula kedelai impor itu sudah direkayasa. Kelak menyebabkan kanker ganas. Penyakit kanker. Kedelai impor tidak akan mengalahkan mutu kedelai petani Indonesia sendiri.

            “Saya mengajak petani di mana saja agar menanam kedelai. Untuk apa lagi kedelai impor tersebut. Ayolah bersama menanam kedelai, pada waktunya kedelai impor harus dihentikan,” katanya.

            Varietas Unggul Anjasmara

        Semangat Suwardi untuk menanam kedelai memang tidak pupus. Dia menunjuk ke arah tanaman kedelai yang berumur seminggu dan dua minggu yang telah hijo royo-royo. Untuk luasan 18 ha milik petani yang terkumpul di Koptan Sumber Maler III itu seluas 12 ha telah ditanami menjelang hari raya Lebaran dan 6 ha ditanami pada pertengahan puasa yang lalu.

            Semua itu ditanami varietas Anjasmara yang unggul yang benihnya didapat melalui bantuan pemerintah, yaitu 10 kilogram (kg) hingga 12 kg untuk satu (1) ancer atau sekitar 1.400 meter persegi. Atau jumlah itu sekitar 50 kg hingga 60 kg untuk satu hektare. Harga benih kedelai di pasaran mencapai 13.000 rupiah per kg. Namun, ada juga yang mencapai hingga 15.000 per kg.

            Apa varietas unggul Anjasmara atau Anjasmoro itu? Dari tangan dan mata serta otak para DOKTOR dan PROFESOR di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dibuat/diciptakanlah kedelai itu. Potensi hasilnya mencapai 3,7 ton per ha dengan umur panen antara 82 hari hingga 92 hari. Bobot per 100 biji adalah 16 gram, tahan rebah, agak tahan terhadap penyakit karat daun dan polongnya tidak mudah rontok.

            Jadi, kata Suwardi, melalui bantuan benih dari pemerintah ini para petani sangat bergembira. Sebab, selama ini petani mengadakan sendiri benih untuk sawah masing-masing. Namun, pada masa tanam sekarang benih bantuan pemerintah itu akan dijadikan bakal benih dan harga saat panen nantinya telah dijamin pemerintah melalui pihak swasta yang telah mengikat kerjasama dengan para petani.

              “Kami berterima kasih kepada semua pihak terutama pihak swasta yang akan membeli kedelai kami saat panen. Kami tidak akan repot lagi ke pasar. Bahkan kami tidak akan repot berurusan dengan para tengkulak. Inggih, matur nuwun dateng Gusti. Terima kasih kepada Maha Pemurah Gusti Allah.” *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang