Kini Derita Tiada Akhir Peternak Ayam Makin Nyata
Thursday, 8th June, 2023 | 464 Views
|
Oleh Drh M Chairul Arifin, Purnabakti Kementerian Pertanian; Alumni Universitas Airlangga
Drh M. Chairul Arifin

Drh M. Chairul Arifin

MEMANG BERITA BERJUDUL Peternak Ayam Rugi Triliunan Rupiah (Kompas, 17 April 2023) seolah melengkapi derita para peternak ayam ras pola mandiri yang hampir sepanjang tahun menghiasi pemberitaan di berbagai media cetak, elektronik, dan media sosial. Tidak itu saja. Bahkan saking jengkelnya peternak dalam beberapa tahun terakhir sempat berunjuk rasa. Ada adakalanya diikuti dengan membuang atau membagikan produknya secara gratisan kepada masyarakat begitu saja.

   Penyebabnya, turunnya harga jual per ekor ayam hidup di kandang peternak (farm gate prices) yang tidak sebanding dengan biaya produksinya dan tidak sesuai dengan harga acuan pemerintah (HAP). Masalah serta kejadian ini sampai seberapa jauh dapat mengganggu dunia usaha perunggasan dan bagaimana peran pemerintah mengintervensi dengan berbagai regulasi. Ada baiknya kita mencoba berpikiran jernih dan seobyektif mungkin dengan tidak menuding pihak manapun.

Sejarah Perunggasan Tanah Air

   Sejarah perunggasan Tanah Air pada awal jaman kemerdekaan dahulu hanya mengenal ayam kampung (ayam bukan ras atau buras) yang dipelihara secara sambilan di seputaran halaman permukiman untuk dimanfaatkan telur dan dagingnya (ayam tipe dwiguna). Pola pemeliharaan yang bersifat backyard menyebabkan pertumbuhan populasinya berjalan secara alami, lambat karena tingkat kematian tinggi akibat penyakit tetelo, bertelur dan mengerami di mana-mana.

    Populasi ayam jenis ini pada tahun awal kemerdekaan sampai sekarang tercatat stagnan dari jutaan ekor jadi 300 juta ekor. Berbeda dengan ayam ras yang awalnya berjumlah jutaan ekor (tahun 1972) kini meningkat sangat tajam hingga lebih dari 3,5 miliar ekor di tahun 2022. Hingga 1970-an  masyarakat hanya mengenal konsumsi daging dan telur ayam kampung. Baru sesudahnya dikenal ayam ras terutama sejak pemerintah menyelenggarakan Pameran Perunggasan Nasional pada 1972 diikuti dengan program Bimas Ayam yang dimaksudkan untuk mendorong masyarakat makan protein hewani yang murah dan bergizi.

   Pada awalnya bermunculan para peternak rakyat yang mulai ikut meramaikan budidaya ayam ras. Tokoh yang terkenal waktu itu antara lain Pramu, Bob Sadino, Abubakar Al Jufri. Mereka inilah perintis peternakan ayam ras modern. Awal peternakan ayam ras baik jenis pedaging (broiler) dan petelur (layer) sepenuhnya berbasis peternakan rakyat dan mandiri.

    Sejak 1980-an dan seterusnya, kalangan swasta mulai tertarik mengisi peluang budidaya ayam ini setelah melihat prospek pasar penduduk Indonesia yang berjumlah besar dengan. Mereka pun mendirikan perusahaan pembibitan dan budidaya ayam. Berbagai perusahaan ini dalam rangka meraih tingkat yang semakin efisien saling berintegrasi dengan membentuk sarana pendukungnya antara lain pabrik pakan, rumah potong ayam, industri olahan termasuk pemasarannya. Setelah itu terbentuklah industri ayam ras yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang belakangan sangat diminati juga oleh perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Kemunculan Integrator

   Kini sebagian besar atau hampir 80 persen penguasaan mata rantai pasok perdagangan dan aset industri perunggasan Indonesia yang sebagian besar di impor ‘dipegang dan dikuasai’ oleh perusahaan integrator atau pemadu. Keadaan ini menyisakan sejumlah permasalahan yang tak pernah kunjung selesai dengan para peternak rakyat yang non-integrator. Pengadaan bahan baku pakan, bibit, bahkan budidaya, pengolahan dan pasar termasuk rantai tata niaga dikuasai integrator.

  Para peternak rakyat mandiri yang hanya bergerak di segmen budidaya pembesaran ayam menjadi sangat tergantung kepada perusahaan integrator termasuk modal usahanya. Para peternak ini akhirnya juga berutang kepada Bank dan para integrator. Sebab, harga jual produk ayam jatuh di pasar, baik ayam hidup dan telur, diiringi naiknya biaya produksi pakan yang mendominasi hampir 68-70 persen biaya produksi, fluktuasi harga bibit anak ayam umur sehari (DOC) yang menjadi titik awal budidaya usahanya, peternak mandiri pun merugi terus dan dibayangi utang.

    Permainan para broker (middle man) berperan penting di sini karena para broker inilah yang paling menentukan harga jual ayam hidup di kandang peternak mandiri, kapan boleh dijual dan kepada siapa. Satu dari beberapa hal lainnya para peternak itu takluk pada broker ini karena broker ini dapat menjadi avalis (penjamin) atau bahkan menjadi penyandang dana untuk modal usahanya!

    Tidak hanya usaha peternakan rakyat mandiri saja yang rugi besar, tetapi juga perusahaan integrator ada kalanya ikut merugi. Semula perusahaan yang telah berintegrasi kalau rugi dapat tertutupi dari usaha jenis lainnya misalnya dari usaha pakan, pengolahan, dan pemasaran sehingga pada perusahaan yang terintegrasi memungkinkan terjadinya subsidi silang. Rugi di satu jenis usaha, tetapi untung di usaha lainnya. Integrasi dari hulu sampai hilir ini menjadi suatu keniscayaan.

   Namun, saat ini para integrator sudah rugi hampir di semua lini segmen bisnisnya karena perekonomian yang mulai lesu, sedangkan permintaan mulai turun juga. Tidak bisa tidak para integrator ini dengan segala macam cara menagih utang kepada para peternak sebagaimana diberitakan Kompas pada 17 Maret 2023.

Solusi Dengan Dua Pola

    Pemerintah selalu dituntut menyelesaikan dualisme antara perusahaan integrasi dan para peternak mandiri yang selalu merugi. Untuk program yang bersifat darurat pemerintah terpaksa memakai mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan menyerap atau membeli hasil peternak unggas rakyat yang jatuh harganya tidak sesuai harga acuan dan membantunya dengan kebutuhan bahan baku pakan, misalnya jagung.

    Namun, langkah yang dibuat pemerintah oleh banyak kalangan dipertanyakan karena ibaratnya langkah ini belum menyelesaikan masalah yang sebenarnya, hanya bersifat mengobati gejalanya saja sementara penyakit terus merebak. Selain itu dipertanyakan pula siapa pihak yang berdiri di belakang para peternak integrator dan peternak mandiri. Karena peternakan unggas pada dasarnya berbasis impor, maka tidak bisa tidak setiap langkah yang ditempuh oleh pemerintah (apalagi menggunakan uang APBN) menjadi ibaratnya membesarkan peternak luar negeri dan perusahaan PMA.

    Menyikapi pemberitaan tentang ruginya peternak mandiri sampai triliunan rupiah, maka sebenarnya langkah yang dapat ditempuh adalah bagaimana menjadikan para peternak tersebut dapat berintegrasi agar dapat terjadi subsidi silang seperti perusahaan integrator dan berusaha secara bertahap dari industri yang bersifat foot lose atau impor menjadi industri grass root, mengakar kepada sumber daya lokal.

    Dua cara dapat ditempuh pemerintah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek, perusahaan integrator diminta bermitra secara utuh dengan para peternak. Utuh berarti bermitra secara keseluruhan dari hulu hilir, sementara peternak di segmen budidaya sebagai bagian dari usaha perusahaan integrator. Kemitraan yang tidak parsial. Apabila terjadi kerugian di peternak segera dapat tertutupi dari subsidi silang usaha lainnya dari perusahaan integrator (pola partnership mutual profit loss sharing system).

  Cara kedua yang bersifat jangka menengah dan panjang, dengan menjadikan peternak mandiri ini menjadi integrator sendiri. Di sini Bulog dapat membangunkan infrastruktur industri perunggasan dengan mendirikan pabrik pakan, rumah potong ayam yang modern, pengolahan daging ayam, dan menciptakan pasar tersendiri yang berbeda dengan para integrator. Pembangunan infrastruktur ini dapat dilakukan melalui skema build operate and transfer (BOT) yang akhirnya sepenuhnya dapat dioperasionalkan oleh para peternak.

   Dananya dari mana? Perlu dipikirkan pengenaan semacam pungutan (levy) kepada para importir perusahaan integrator, misalnya levy pada setiap impor gram bahan baku pakan atau bibit. Pada akhirnya dana tersebut dikelola oleh badan layanan umum (BLU) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan bersifat transparan dan akuntabel seperti dana pungutan ekspor kelapa sawit oleh Badan Pengelolaan Dana Sawit (BPDS) yang dananya sampai lebih Rp 34 trilliun. Dana nonbudgeter ini dapat digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur industri peternakan unggas, sehingga secara bertahap industri ayam ras Tanah Air bergeser menjadi industri yang mengajar pada potensi sumber daya lokal.

   Pemerintah harus dapat berfungsi sebagai wasit yang adil kalaupun terjadi persaingan. Tidak seperti saat ini, produk ayam para peternak mandiri lalu dibeli dengan harga pasar atau membantu pakan ayam dengan memasok jagung bagi peternak mandiri. Bukan, itu hanya ibaratnya mengobati sakit dengan obat penurun panas. Panas memang turun, tetapi penyakit tak kunjung sembuh. Para peternak ayam ras dapat menderita terus, berkelanjutan tiada akhir. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang