Dr Ir Suprayoga Hadi: Kendati Anggaran Terbatas, Pagi Siang-Sore Hingga Malam Kami Bekerja Keras
Sunday, 2nd October, 2016 | 756 Views

Pengantar Redaksi:

SEIRING waktu bergerak dari hari ke minggu ke bulan, selesailah sudah satu semester pelaksanaan pembangunan di Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu (Ditjen PDTu), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tetinggal dan Transmigrasi (Kemendesa). Tentu ada evaluasi capaian dalam satu semester berlalu dan ada proyeksi hingga akhir Desember paruh kedua tahun ini. Dalam kaitan itu Media Pertanian online www.sembadapangan.com dan Majalah Lumbung Pangan (Media Grup the BIG-5 Business) secara eksklusif mewawancarai Direktur Jenderal PDTu Dr Ir Suprayoga Hadi,MSP di kantornya baru-baru ini. Dia didampingi oleh Direktur Pengembangan Daerah Rawan Pangan Drs Supriadi,MSi dan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) PDTu Ir Aisyah Gamawati,MM. Berikut perbincangannya. Selamat menyimak.

Sesuai tupoksi Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (Ditjen PDTu), apakah sudah ada realisasi (wujud) konkret dari program yang dijalankan? Hingga semester I 2016 sudah berapa persen yang tercapai? Misalnya di direktorat-direktorat?

Sesuai struktur organisasi kami yang sangat crusial juga strategis karena langsung menyangkut kedaulatan negara di perbatasan dan daerah terpencil terluar, ada hambatan penyerapan anggaran. Hal yang paling memberatkan adalah tunggakan pembayaran sebesar 300 miliar rupiah dari total satu triliun rupiah, yaitu sebesar 28 persen dari total anggaran yang ada.

Dana optimalisasi dari 500 miliar harus direvisi oleh pihak Badan Perencanaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan harus ditunda. Dan yang sudah clear and clean baru 200 miliar rupiah atau baru 3 persen hingga Juli 2016. Kendati demikian, tunggakan proyek sudah mulai dibayar. Dana optimalisasi juga sudah. Hingga pekan kedua Agustus ini baru 4 persen terserap, namun hal itu akan terus meningkat sejlan waktu. Jadi, realisasi belum terukur karena proses lelang sedang berlangsung. Begitu.

Berkaitan dengan nawa cita yang menjadi patokan program Ditjen PDTu, silakan dijelaskan apa kendala yang terjadi paling menonjol? 

Memang nawa cita itu menyebutkan bahwa tugas dan fungsi kami membangun dari pinggiran daerah terpencil terluar serta perbatasan. Pada semester kedua ini kami tidak bicara dalam konteks desa, tetapi lebih fokus ke daerah pinggiran yang secara eksplisit sudah disepakati, yaitu daerah-daerah perbatasan, pulau terluar atau daerah-daerah yang memang mempunyai karakteristik yang terpinggirkan atau terlupakan.

Kami melaksanakan koordinasi dengan pihak lain, mengeksekusi dan memfasilitasi. Namun, inilah kendalanya. Dana kami terbatas untuk mengeksekusi proyek, sehingga harus bermitra dengan berbagai pihak di pusat maupun di daerah. Selain itu kami juga melaksanakan refocusing dan reprogramming secara siap dan sigap.

Contoh untuk Direktorat Pengembangan Daerah Rawan Pangan sebelumnya ada 10 menu atau jenis bantuan, tetapi itu kecil-kecil. Dan agar dananya lebih besar yang lebih bisa dilihat atau dirasakan masyarakat, pada 2016 ini dilakukan konsolidasi. Dikelompokkan atau digrupkan lagi. Misal sumur bor, embung, sarana produksi pertanian atau saprodi.

Contoh lain untuk Direktorat Perbatasan yang sebelumnya sembilan jenis menjadi hanya tiga. Untuk Direktorat Pulau Terkecil dan Terluar hanya empat, seperti jalan,  listrik dan kapal serta dermaga, sedangkan untuk Direktorat Bencana, seperti bronjong dan talur. Untuk Direktorat Rawan Konflik, misalnya adalah rumah perdamaian dan pasar. Dalam kaitan empowerment adalah terkait dengan bimbingan teknis atau penguatan kapasitas dan terkait langkah fasilitasi adalah pemberdayaan atau penguatan.

Kami berpendapat bahwa gema pembangunan/pengembangan Daerah Rawan Pangan sudah terdengar. Apakah bapak setuju mengakselerasi pilot project agar lebih maksimal?

Ya. Memang demikian. Kami menggandeng perguruan tinggi. Contoh, untuk urusan pemetaan daerah rawan pangan kami bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Ada model Tangguh Pangan yang bisa diwujudkan, di mana masing-masing daerah tidak sama karakternya. Jadi harus ada penilaian.

Dengan demikian pilot project bisa tercipta di masing-masing wilayah. Bisa kecamatan atau per kabupaten, di mana ada percontohan (demplot) sebagai acuan bagi daerah lain yang berkarakter sama. Memang ini satu target kami dan sedang dipetakan secara menyeluruh. Ini dikerjakan oleh semua direktorat secara simultan untuk menciptakan lokasi prioritas untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

Untuk daerah perbatasan, apakah ada hambatan/gangguan yang spesifik? Bisa  dideskripsikan?

Ya, esensinya ada tiga masalah besar dengan pendekatan khusus karena terkait dengan perbatasan (kedaulatan negara) itu sendiri, prosperity atau kesejahteraan yang terlupakan dan investasi pada pertumbuhan dan pemerataan. Untuk itu kami sudah gulirkan semacam trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pemerataan dan pertumbuhan. Ada regulasi yang kuat dan jelas serta afirmatif berupa paket kebijakan agar masyarakat tertarik, seperti infrastruktur untuk konektivitas dan pergerakan warga dan hasil bumi serta penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Gangguan yang spesifik belum terlihat, tetapi kami sudah mengantisipasi agar tidak terjadi lagi high cost economy yang memberatkan mereka dan tetap menyukai negara kita.

Ada prediksi bahwa daerah rawan bencana sangat tekait dengan fenomena iklim El Nino-La Nina yang terus-menerus. Adakah antisipasi khusus agar program berjalan menyenangkan?

Kami mencatat ada 16 jenis, tetapi sembilan yang sering muncul. Tetapi, diklasifikasi menjadi dua, yaitu geologis atau kebumian dan klimatologis atau iklim. Dan yang lebih signifikan terhadap tupoksi kami adalah bencana longsor, sehingga diperlukan pengembangan tangguh bencana dari rawan bencana menjadi tangguh bencana. Sudah ada regulasinya, seperti menyangkut kelembagaan, zona, tata ruang, konservasi atau kawasan lindung yang sifatnya terbatas untuk bisa dimanfaatkan.

Banyak persoalan yang sulit dipecahkan di daerah terluar terpencil, seperti dimensi ruang, waktu dan dana. Sebagai birokrat tulen, apa saja resep yang disiapkan hingga Desember 2016? Mujarabkah? Bagaimana dengan interaksi terhadap kementerian lain?

Memang sifatnya administratif. Harus ada rencana kerja atau rencana strategis. Kami sedang menyelesaikan rencana kerja 2017, sehingga rencana aksi bisa terukur dalam konteks tahunan untuk kegiatan kapasitas dan lainnya. Posisi dan arah jaringan (networking)  dengan kementerian atau lembaga lain secara bersimbiose komplimen atau saling melengkapi positif atau bersinergi dan bukan untuk kompetisi.

Menurut kami nawa cita yang terkait dengan Ditjen PDTu sangat strategis karena menyangkut kedaulatan bangsa dan negara dan hal ini sangat berat, persoalan strategis apa yang ada di depan mata?

Itu tugas pokok kami. Belum ada persoalan yang berarti. Kami tetap dan terus fokus membangun dari pinggiran. Ini memang tantangan berat mengingat letak geografis tanah air kita ini. Kalau persoalan, ya keterbatasan dana, tetapi hal itu sudah dikaji ulang dan sudah selesai dalam bentuk pemusatan atau pemadatan program. Kami membuatnya secara terukur.

Dari beberapa persoalan itu persisnya yang mana yang diprioritaskan, silakan dielaborasi.

Desa itu hanya semacam unit kerja. Hal itu akan dicoba didorong dengan pengembangan dan penguatan. Misalnya, ketangguhan pangan, ketangguhan bencana dan ketangguhan konflik. Tiga hal ini yang coba kita dorong lebih khusus dalam lima tahun ke depan karena esensi semua menyangkut anggaran.

Contohnya, di Direktorat Perbatasan dan Direktorat Pulau Terluar itu mencapai hampir 80 persen dari total anggaran di PDTU. Pada tiga direktorat lainnya termasuk Sekretariat Direktorat Jenderal (Sekditjen) sekitar 20 persen. Jadi, kita memang fokus sekali pada pengembangan yang kami sebut dengan hard progress, sementara yang penguatan dan pemberdayaan kami sebut dengan soft progress.

Secara terukur, berapa persen yang bisa dicapai hingga akhir 2016? Adakah evaluasinya dan bagaimana parameternya terutama dikaitkan dengan penghematan anggaran dan sumber daya yang minim?

Ukuran kami adalah bahwa semua tunggakan pada tahun lalu bisa beres. Semua kegiatan terbayar, bukan hanya yang refokusing itu, tetapi termasuk pengadaan. Kalau bicara target, saya bicara dengan pak menteri waktu rapat pimpinan yang lalu. Saya juga ditanya hal yang sama dan saya jawab tidak akan muluk-muluk. Sekitar 80 persen tercapai serapan anggaran di tahun ini. Artinya, itu bisa terlaksana. Saya pikir juga dua pertiga saja atau sekitar 75 persen dari anggaran itu terserap sudah sangat baik. Dan itu sudah hebat hingga akhir tahun.

Kenapa hebat? Dari sisi apa?

Sebab, kami hanya mampu bilang di angka 80 persen itu. Bukan di 100 persen. Apalagi pada bulan ini atau Agustus serapan kami baru 4 persen? Ini sangat kecil. Bayangkan kami akan bekerja keras untuk itu pagi siang-sore hingga malam. Jadi, seluruh tunggakan akan bisa dibayarkan. Sebesar 250 miliar rupiah dari total sekitar 283 miliar rupiah yang bisa terbayar sudah sangat lumayan. Itu sudah mencapai 25 persen. Belum lagi biaya optimalisasi yang pengurangannya sangat signifikan dari 500 miliar rupiah dipotong sebesar 200 miliar rupiah. Sisa sebesar 300 miliar rupiah, kita baru akan proses untuk lelang dan kegiatan yang lainnya.

Untuk dana regular sekitar 200 miliar rupiah ini kita sebut dana pendorong dari depan yang akan bergulir. Ya, tentu diharapkan terlaksana sekitar 200 miliar rupiah itu. Semoga saja. Jadi, kita bisa lihat penyerapan sekitar 75 persen pada akhir tahun. Ya, bagaimanapun asumsinya semoga semuanya berjalan lancar. Kalau ada kendala-kendala lagi tentu merupakan bagian perjuangan dan kerja keras. Tetapi, itulah gambaran penyerapan bisa mencapai sekitar 80 persen pada akhir tahun.

Sebagai penentu kebijakan di Ditjen PDTu, apakah ada kepuasan melihat hal yang dicapai itu? Dan gambaran optimisme bapak pada 2017, seperti apa?

Wah, tantangan lagi. Kita lihat lagi ke belakang, pada 2015 terserap hanya 40 persen. Nah, untuk 2017 karena lebih managable tentu tidak terbebani lagi pada 2017 mendatang. Ada new paradigm pada tim kami secara menyeluruh. Saya lebih cenderung more confidence terutama menghadapi 2017-2019. Haa hha ha, bagaimana lagi? Tidak boleh pesimis dan skeptis toh? Yaaa, sekali lagi gambarannya optimislah. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang