Kab.Cianjur: Petani Ciranjang Dari Soal Langka Tenaga,VUB Inpari dan Urusan OPT Tikus
Thursday, 30th May, 2019 | 807 Views

 

PARA PETANI DI bilangan Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur saat ini sedang menunggu waktu padi menguning untuk dipanen. Kendati dalam kondisi penantian menggembirakan untuk memanen padi, para petani tak merasa lelah untuk mengurus hama agar hasil yang diraih menyenangkan hati. Ada harapan hasil banyak dan baik. Juga diharapkan harga bisa melampaui biaya yang dikeluarkan agar mendapat laba memadai, bisa beli baju seragam sekolah anak. Itulah para petani di Desa Nenggala Mekar, Kecamatan Ciranjang. Dari Kota Cianjur ke Ciranjang, Ibukota Kecamatan Cianjang bisa ditempuh dalam waktu 1 jam dengan kendaraan umum yang mengarah Kota Cimahi atau Kota Bandung.

 

 

 

          Menurut  Kepala Pelakasana Teknis Daerah (UPTD) Pelayanan Pertanian Kecamatan Ciranjang Ir Ida Rochida,MP, pada musim tanam kedua saat ini hampir seluruhnya petani menanam padi dengan varietas unggul baru (VUB) Inbrida Padi Irigasi (Inpari)-32 dan Inpari-33. Namun, sebagian petani memakai Inpari-40 dan IPB-3S.

          Saat ini di Kecamatan Ciranjang sendiri luas baku lahan sawah untuk padi mencapai 707 hektare (ha) dan lahan yang telah ditanami mencapai 507 ha. Sisanya atau 200 ha lagi akan ditanami pada Juli mendatang. Pada musim ke-2 tanam sekarang atau IP-200 para petani banyak menanam padi karena pada musim tanam jatuh di saat musim penghujan atau rendeng dan begitu panen usai, petani segera mengolah lahan lagi karena air masih cukup untuk tanam berikutnya.

          “Sekarang ini umur tanaman padi di wilayah kami telah 30 hari. Pada musim kedua ini biasanya disebut dengan musim gadu, namun sekarang ini ada petani yang sampai tiga kali tanam padi,” Rochida menjelaskan. Ia didampingi oleh Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Ciranjang Asep Wahidin.

          Rochida menambahkan bahwa untuk musim tanam pertama dan kedua terdapat perbedaan produktivitas dari 7 ton per ha pada IP-100 menjadi 6 ton per ha pada IP-200. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh kondisi air, di mana pada musim rendeng atai masa tanam IP-100 itu airnya banyak, tetapi pada musim rendeng atau masa tanam IP-200 air telah berkurang. Hasil padi dari Inpari-30, Inpari-32 atau Inpari 40 kurang lebih sama, yaitu di kisaran 7 ton per ha hingga 8 ton per ha.

          “Tetapi, dari varietas unggul IPB-3 S hasilnya bisa hingga 10 ton per ha, namun petani enggan meneruskan bercocok tanam lantaran ketika panen sangat sulit merontokkan biji dari jerami malainya. Selain itu tingkat broken atau pecah biji cukup tinggi,” ungkap Ida Rochida.

Petani Keluhkan Hama Tikus

            Menyinggung organisme pengganggu tanaman (OPT), menurut Asep Wahidin, pada musim tanam pertama dan kedua OPT sangat kurang. Penyebabnya adalah karena sudah masuk musim panas, di mana OPT memang berkurang secara signifikan kecuali tikus atau Rattus norvegicus. Dan memang kenyataannya para petani sudah mengeluhkan hama atau OPT tikus tersebut.

        “Sekarang yang dikeluhkan petani adalah serangan tikus. Kami biasanya bantu para petani itu dengan pengadaan tiran atau racun yang diledakkan pada lubang tempat tikus bersarang,” demikian Asep sekalian menambahkan bahwa dengan tiran itu cukup efektif mematikan tikus di sarangnya.

          Di tengah panas terik siang hari Wartawan Media Pertanian www.sembadapangan.com tiba di Desa Menggala Mekar bersama Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Nenggala Mekar, Kecamatan Ciranjang Rina Triana dan Rina Suartini. Di Desa Nenggala Mekar itu sudah menunggu petani yang sekaligus Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Harapan Mekar, yaitu Aceng Alawi.

         Menurut Aceng, luasan sawah yang ditanami petani varietas unggul baru Inpari-32 dan Inpari-33 di desa tersebut mencapai 349 ha. Luasan lahan begirigasi tersebut digarap oleh 14 kelompok tani yang berhimpun di Gapoktan Harapan Mekar. Tanaman padi di desa ini sudah berumur dua bulan dan sedang bunting atau awal padi susu. Diharapkan padi itu sudah bisa dipanen pada umur 95 hari atau pada awal Juli mendatang.

          “Perkembangan budidaya padi di wilayah ini tiap hari dipantau oleh PPL desa. Harapan dan keluhan para petani langsung disampaikan kepada penyuluh agar segera dilakukan evaluasi atau kalau ada persoalan yang mengganggu tanaman bisa cepat tertangani,” ungkap Aceng Alawi sambil menunjuk kepada PPL Desa Nenggala Mekar, yaitu Rina Suartini dan Rina Triana.

           Apa masalah petani di desa ini? Hamakah itu? Menurut Suartini dan Triana memang hama telah muncul di wilayah tersebut. Contohnya, ada wereng penggerek batang, kresek dan tikus. “Tetapi, penggerek batang hanya muncul sebentar pada awal pertumbuhan padi. Itu sudah teratasi dengan gampang. Gejala pemunculan kresek juga sudah teratasi. Tidak ada permasalahan yang merugikan,” kata Triana.

          Selanjutnya Suartini menuturkan bahwa hama tikus itu muncul di hampir seluruh Kecamatan Ciranjang. Bahkan dari cerita petani, di kecematan lain juga muncul tikus itu. Kendati demikian, para petani telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi serangan tikus. Contohnya, mengurangi genangan di bidang sawah dengan membuat alur kecil untuk air mengelilingi bidang lahan tanaman. Cara lainnya adalah gropyokan tikus oleh para petani serta meledakkan racun ke lubang tempat tikus bersarang.

          “Serangan tikus tidak bermasalah lagi kendati serangan secara sporadis masih ada. Dan di Desa Nenggala Mekar memang tidak ada semacam program pengembangan ular sawah atau Hypsiscopus untuk disebarkan memangsa tikus. Pengembangan burung hantu atau Otus lempeji juga tidak ada. Itu mah mungkin di daerah lain, di sini mah ular dan burung te naon atuh..!” ujar Suartini sembari tertawa meneringai ke arah sahabatnya Triana yang nama depan mereka sama, yaitu Rina.

           Merujuk pada keluhan Aceng Alawi, ternyata di desa ini sudah ada beberapa kelompok tani menjadi penangkar benih, tetapi karena berbagai perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, benih yang dihasilkan petani dengan disiplin dan susah payah tidak membawa arti apa-apa. Penyebabnya?

            “Padi yang dihasilkan tidak dibeli petani dengan harga yang lebih tinggi, lantaran benih itu dianggap padi biasa. Hal itu lebih disebabkan perlindungan benih dan harga tidak kunjung datang dari pemerintah,” keluh Aceng. *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang