Jadikan Ubi Kayu Pangan Strategis Petani Ubi Kayu Tersiksa Oleh PMK 116
Friday, 11th November, 2016 | 835 Views

 

HARGA ubi kayu (singkong = Manihot utilissima) yang merosot ditanggapi serius berbagai pihak dan diinginkan ada terobosan yang signifikan untuk mengangkat harga komoditas itu. Dengan demikian, diharapkan para petani terutama yang berada di sentra budidaya ubi kayu tidak makin rugi. Satu kondisi yang digagas adalah agar ubi kayu itu tidak dijual dalam bentuk ubi, tetapi sudah diolah.

Hal tersebut mengemuka pada Forum Diskusi yang diadakan Direktorat Aneka Kacang dan Umbi-umbian (Akabi), Direktorat Jenderal Tanaman di Jakarta, baru-baru ini. Diskusi sehari yang dibuka oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan Dr Ir Hasil Sembiring dan dpandu oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Dr Ir Maman Suherman itu diikuti oleh pelaku industri dan bisnis ubi kayu (singkong), asosiasi komoditas singkong, para peneliti berbagai perguruan tinggi dan pejabat di lingkungan Direktorat Akabi, seperti Direktur Pasca Panen Ir Tri Agustin Satriani,MM, Kepala Sub Direktorat Kedelai Ir Rita Mezu,MM dan Kepala Sub Direktorat Kacang-kacangan Ir Riani Dwi Hastuti,MM.

Khusus dari perguruan tinggi hadir sebagai pembicara adalah Prof Dr Ir Achmad Subagyo (penemu modified cassava flour = mocaf dari Universitas Jember, Jawa Timur) dan Prof Dr Ir Yazid Bindar,MSc (peneliti pengembang bahan bakar biogas/ubi kayu dari Institut Teknologi Bandung). Secara khusus pula hadir sebagai pembicara adalah Dr Ir Sudarto (Direktur Industri Kecl Makanan (IKM) Pangan,  Ditjen Industri Kecil dan Menengah), Dr Ir Sholihin,MSc peneliti dari (Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umb-umbian Balaitkabi), Malang (Jawa Timur) dan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung  Ir Lana Rekyanti.

Menurut Hasil Sembiring, Menteri Pertanian Dr Ir Andi Amran berpesan secara khusus melakukan yang terbaik bagi semua pihak yang terkait dengan ubi kayu, mulai dari petani, pengusaha dan pemerintah serta mengatur maupun mengatasi berbagai persoalan yang munul saat ini.

“Saya diminta menteri secara khusus membahas persoalan ubi kayu ini. Memang hal itu didasarkan dari surat keprihatinan Gubernur Lampung yang melihat semua petani di Lampung yang menjadi sentra terbesar ubi kayu secara nasional kini menderita akibat harga yang merosot. Banyak ubi kayu yang ditinggalkan petani di ladangnya tidak dipanen dari berbagai daerah. Soal harga yang terus turun itu memang memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Walaupun sulit bagaimana mengaturnya, tetapi kita harus saling berbagai informasi seperti apa kondisi dan kendala di lapangan. Saya tidak ingin diskusi yang panjang karena saya berharap kita semua yang hadir di sini bisa menyatakan solusi dan rumusan untuk menghadapi persoalan ini,” ungkap dirjen.

Selanjutnya Sembiring menegaskan sangat diperlukan rekomendasi kepada Menteri Pertanian agar ubi kayu diatur dan diminta harganya sejajar dan stabil. Sebab, di Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) ubi kayu tidak termasuk kedalam program pemerintah. Jadi, perlu pola atau bentuk pengaturannya yang jelas dan terbuka.

Dia menambahkan, ada hal menarik menyangkut komoditi ubi kayu. Pertama, jumlah petani 13 juta kepala keluarga (KK) atau sekitar 40 juta jiwa. Kedua luas lahan sejak 2010 menurun dan petani semakin berkurang. Ketiga, impor berbahan ubi kayu sangat besar mencapai 600.000 ton pada 2015.

Tinjau PMK No 116/2011 dan Ubi Sejajar Beras

Meresponsi usul Direktur Jenderal Tanaman Pangan Hasil Sembiring, berbagai suara bernada keras dan desakan muncul. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung Lana Rekyanti mengatakan sebanyak 85 persen penduduk Lampung adalah petani ubi kayu. Mereka harus diselamatkan dari harga yang merosot dan terpukul oleh impor tapioka Thailan dan Viet Nam.

“Jadi, harus ada satu kata dan kebijakan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan soal ubi kayu ini. Tanpa itu berat dan petani akan makin terpukul. Satu daru fungsi peting ubi kayu adalah menjadi bahan baku penting untuk tekstil dan plastik yang sangat diperlukan di seluruh dunia termasuk Indonesia.  Lainnya untuk kometik, obat dan bahan pangan,” kata Lana.

Profesor Yazid dari ITB Bandung mengatakan bahwa pemakaian ubi kayu harus digelorakan terus-menerus karena fungs dasarnya yang begitu besar. Pihak ITB akan ikut aktif mengurus ubi kayu dan Negara harus hadir untuk melindungi petani dan komoditi ubi kayu itu dari hulu hingga hilir yang harus menyambung atau terintegrasi.

Dan menurut Profesor Subagyo dari Universitas Jember, selain dirinya terkejut mengetahui banyak orang gusra karena persoalan ubi kayu, tetapi juga bahagia lantaran mulai ada perhatian. Subagyo telah 15 tahun diam-diam atau tanpa teriak-teriak mengurus ribuan hektar lahan budidaya ubi kayu di Jawa Timur. Karena nilai ekonomis ubi kayu yang sangat besar, maka pemerintah tidak boleh tidak harus buka mata dan buka telinga.

“Pemerintah tidak boleh pura-pura tidak tahu urusan ubi kayu itu. Pemerintah jangan hanya mengurusi padi, jagung dan kedelai. Tanaman ubi kayu yang sangat toleran lokasi dan tidak butuh banyak perawatan seperti padi, jangung dan kedelai harus menjadi prioritas pemerintah. Dan harus ingat, masyarakat Indonesia sangat banyak yang menjadi petani ubi kayu dan sangat banyak memakan ubi kayu langsung maupun olahannya,” kata Subagyo berapi-api.

Tak kalah prihatin dan berapi-api adalah Junaedi Lim dari PT Sungai Putih Lampung. Junaedi mengatakan bahwa di Lampung terdapat 100 pabrik tapioka yang berizin maupun tidak berizin. Tetapi, saat ini puluhan parik termasuk empat pabrik PT Sungai Putih telah tutup karena tidak ada pasokan lantaran petani membiarkan ubi kayu di lading tidak dipanen. “oleh sebab itu, PMK 116 harus ditinjau atau diubah dan tarif bea masuk (impor tapioka) dikembalikan menjadi 10 persen seperti pada 2005. Itu telah berdampak tiga kali atau hingga 30 persen pada ubi kayu petani.

Dari PT Umas Jaya, Welly  Soegiono, mengungkapkan bahwa luar negeri melihat Indonesia sangat lemah dan tidak mempunyai ketahanan, sehingga produk mereka “dibuang” ke Indonesia karena Pemerintah Indonesia sesungguhnya tidak membina dan melindungi petani. Buktinya, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan tutup mata dan telinga atas upaya Thailand dalam “dumping” tapioka itu. S3lain itu pemerintah sendiri yang memulai menabur “virus penyakit” dengan PMK 116 lalu menyerahkannya kepada pengusaha. Ada apa ini?

Lalu Tigor dari Appindo Kabupaten Tulang Bawang Lampung berkata bahwa di Lampung  ubi kayu adalah primadona secara nasional. Oleh sebab itu yang sangat dibutuhkan petani saat ini adalah intensifikasi supaya produktivitas tinggi. Selain itu juga sangat diperlkan upaya peningkatan rendemen.

Dr Sholihin dari Baltikabi mengatakan bahwa instansinya sudah mengeluarkan varietas-varietas ubi kayu yang cocok untuk industry dan konsumsi masyarakat dengan produktivitas yang baik dan tinggi. Misalnya, untuk pangan (konsumsi) ada Darul Hidayah yang produktivitasnya mencapai 100 ton per hektare (ha) atau juga Gajah dengan produntivitas 75 ton per ha hingga 100 ton per ha. Untuk industry ada varietas UJ-5 dengan hasil 36 ton per ha pada umur panen 8 bulan atau UK-2 dengan hasil 42 ton per ha pada umur panen 9 bulan dengan pati yang sangat tinggi untuk bioetanol.

Pihak Masyarakat Singkong (MSI) melalui Suharyo Husen berkata bahwa pihaknya telah mengirim surat kepada menteri di Kementerian Pertanian dengan desakan agar menetapkan ubi kayu (singkong) sebagai pangan strategis tanpa syarat. Selain itu juga didesak agar bersama kementerian lain agar pajak pertambahan nilai (PPN) harus NOL dan yang berlaku saat ini dihapus saja karena justru lebih banyak mudaradnya bagi petani dan pedagang.

Pihak Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) melalui Tri Wibowo Susilo mengatakan agar pemerintah merevisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1995 yang hanya untuk pati. Selain itu pemerintah harus segera memperhatikan persoalan damping yang telah menimbulkan masalah kepada Indonesia.

Dr Ir Sudarto, Direktur IKM Pangan berujar bahwa  kini sudah waktunya melakukan hilirisasi ubi kayu.  Setelah itu dilakukan pemetaan berapa petani, di mana lahan dan petani serta berapa luas yang sudah ada dan berapa luas lahan yang dibutuhkan. Lalu dihitung biaya produksinya. Dengan demikian, karena sudah masuk urusan global, maka bicaranya harus global. Pihak Kementerian perindustrian akan membuat ubi kayu menjadi pangan strategis karena di berberbagai desa sudah menjadikan lahan 40 persen untuk ubi kayu. *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang