Pro Mentan (Satu Refleksi): Swasembada Daging Telah Bergema Sejak 1 Dekade Silam
Sunday, 27th September, 2015 | 875 Views
|
Oleh Henry Supardi Simaremare, BSc, SH

Utk EDITORIAL-Henry Supardi

MEMANG gema swasembada pangan daging terutama ruminansia telah nyaring terdengar satu dekade atau dasawarsa yang silam. Itu bersamaan dengan gema swasembada padi atau beras. Namun, gema dengan frekuensi tajam seperti di lembah maha luas bernama Indonesia ini makin sayup dan sirna di penghujung waktu. Lenyap di penghujung tahun. Salah sasaran? Atau banyak kebocoran karena korupsi, seperti di subsektor tanaman pangan termasuk pendukungnya? Allahualam bisawab. Jadi, menteri pertanian sekaran seyogyanya tidak larut bikin pernyataan, seperti yang lalu. Larut rapat melulu. Pidato melulu. Janganlah…!!

Karena itulah diingatkan kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman dari zaken cabinet pemerintahan saat ini bahwa sembari berkutat di  irigasi untuk meningkatkan produksi pangan beras dengan dana 15 triliun rupiah pada 2015 ini. Karena jangkauan sasaran swasembada pangan beras baru pada 2018 mendatang dengan dana besar bernilai 15 triliun tiap tahun berturut-turut pada 2016, 2017 dan tahun ini, maka diharapkan 2018 bisa SWASEMBDA.

Itu beras. Bagaimana daging yang dideklarasikan swasembada pada 2010? Tidak tercapai diulangi lagi swasembada daging pada 2014? Jangankan mendekati kebutuhan, kecuali ayam—karena kepentingan besar dari produsen pakan, obat dan pariwisata—daging unggas terutama ayam sudah aman. Bahkan sudah ekspor. Tapi daging lain? Ini tugas penting bagi Menteri Pertanian Amran Sulain yang petani dan konon pro petani dan pertanian.

Daging ruminansia, seperti sapi, kerbau dan kambing belum beranjak dari tahun ke tahun, padahal yang namanya gizi dan protein sangatlah penting untuk mendorong produktivitas sumber daya manusian (SDM) Indonesia. Intinya, gizi dan protein sangat perlu dan terbuka diperbincangkan terus-menerus.

Kebutuhan Daging Meningkat

Merujuk laporan Food and Agriculture Organization (Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk pangan dan pertanian pada periode 90-an telah mencatat dan mengingatkan bahwa peningkatan konsumsi produk peternakan terutama sapi di Negara berkembang termasuk Indonesia dalam kurun waktu 1979-2020 mencapai 3 persen per tahun. Sementara Negara maju hanya meningkat sebesar 0,77 per sen per tahun.

Peningkatan konsumsi produk peternakan termasuk di Indonesia terjadi pada komoditi unggas yang mencapai 3,9 persen per tahun dan daging merah, yaitu sapi, kerbau, kambing dan domba (biri-biri) sebesar 3 persen per tahun. Adapun peningkatan daging merah dan susu khusus Negara-negara berkembang, seperti Indonesia  akan terus meningkat dari 8 juta metrik ton per tahun pada 1997-2003 menjadi 28 juta metrik ton pada 2003 hingga 2020.

Dalam berbagai pidato pejabat yang terkait dengan kemandirian pangan, ketahanan pangan, swasembada pangan subsektor peternakan disebut-sebut perlu diambil langkah konkret secara efisien. Prioritas pertama adalah meningkatkan populasi ternak ruminansia dan produksinya, sebab populasi ternak ruminansia Indonesia masih jauh dari  kebutuhan konsumen karena baru mencapai 26 persen dari kebutuhan daging dan susu. Dengan demikian, untuk meningkatkan populasi ternak-ternak itu adalah dengan pengembangan ternak berbasis padang penggembalaan atau hamparan jampalan atau pastura di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Barat-Timur.

Tetapi, apa dan bagaimana kini? Dari rapat ke rapat. Dari program ke program. Dari konsep ke konsep dan dari kunjungan ke kunjungan, semuanya mbel gedes kata orang Jawa alias tau ah gelaaap alias kosong. Insiminasi buatan atau kawin suntik yang  digembor-gemborkan luar biasa berhasil, nyatanya populasi ternak di Balai Pembibitan Ternak (Sapi) Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU HPT) Baturraden, Purwokerto, Provinsi Jawa Tengah, di BPTU HPT Denpasar, Provinsi Bali dan di BPTU HPT Sembawa, Palembang, Provinsi Sumatera Selatan stagnan. Bahkan stagnan juga yang di Singosari, Malang, Provinsi Jawa Timur serta di Balitbang Peternakan Kerbau di Siborongborong, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Artinya, jumlah ekor ternak yang hidup tidak signifikan termasuk yang digembalakan atau dikandangkan peduk petani.

Populasi Ternak Versus Populasi Penduduk

Lalu, kini berbicara apa lagi? Dengan mencoba melihat paparan-paparan satu dasawarsa yang lalu, di mana dicanangkan swasembada daging 2005, 2010 dan 2014 dan ternyata gagal tentu Menteri Pertanian Amran Sulaiman harus menempuh garis keras atau revolusi program dan kebijakan. Sebagai gambaran boleh dilihat ke belakang.

Untuk mencapai swasembada daging 2010 yang lalu sesungguhnya pihak Departemen Pertanian (kini Kementerian Pertanian) sudah ragu karena tidak realistis melihat kemampuan dan kenyataan di seluruh daerah dan dukungan pemerintahan. Waktu itu dipertanyakan seberapa besar dana yang diperlukan untuk mendukung swasembada dan sumbernya dari mana, pihak mana yang memonitor serta di mana saja pengembangannya?

Ternyata hal yang sama terjadi pada 2014, di mana para doktor atau dijuluki ahli di Direktorat Jenderal Peternakan (kini Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan), Kementerian Pertanian tidak pernah menghitung tingkat populasi penduduk Indonesia yang sangat tinggi mencapai 1,6 persen per tahun atau sekitar 3,5 juta orang penduduk baru. Dalam tiga (3) tahun par bayi itu sudah membutuhkan daging, sehingga populasi ternak ruminansia yang disebut-sebut meningkat hanya mbel gedes alias tau ah gelaaap semata. Dan padang penggembalaan yang digagas hanya tertera dalam catatan dan laporan. Dari berbagai analisa, sebutan “swasembada daging sapi pada 2010 hanya 70 persen dan itupun tidak melihat pertambahan penduduk yang tinggi. Hal yang kurang lebih sama pada swasembada daging sapi pada 2014.

Revolusi Program

Dari bahan Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertanian untuk peternakan yang dibawakan oleh direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro bahwa capaian kinerja yang menjadi wewenangnya, realisasi sapi-kerbau bunting pada 2014 hanya 48 persen. Pengembangan pembibitan hanya 50 persen, produksi semen beku 66 persen, PENGADAAN PEJANTAN 22 persen saja dan penguatan KELEMBAGAAN INSEMINASI BUATAN (IB-kawin suntik) HANYA 6 persen.

Jadi, mau apa? Mau swasembada, kapan? Dari dana yang tersalur pada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian pada 2015 yang didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya 1,66 triliun rupiah. Terlihat bahwa anggaran untuk peningkatan produksi ternak 342,1 miliar serta peningkatan produksi pakan ternak yang di antaranya mencakp padang penggembalaan hanya 249,5 miliar rupiah. Kemudian untuk peningkatan produksi benih dan bibit hanya sebesar 342,9 miliar rupiah.

Nah, apa yang didapat untuk swasembada daging 2018 nanti? Belum ada jawabannya. Sebab, antara lain ABPN 2015 dibuat oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang, di mana Amran Sulaiman belum menjadi menteri. Bahkan Amran masih meneruskan kegiatan rutinnya di Sulawesi Selatan. Tetapi, mungkin Amran Sulaiman akan mendorong program dan memperbesar anggaran peternakan pada 2016 dan 2017 untuk mencapai swasembada 2018 itu. Begitukah? Ya.., itu revolusi. Termasuk revolusi melawan koruptor  di dalam dan dari luar kementerian. Begitulah. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang