Drs Supriadi,Msi: Kami Bangun Rumah Produksi Di Daerah Rawan Pangan
Saturday, 11th June, 2016 | 998 Views
Drs Supriadi,MSi

Drs Supriadi,MSi (Foto:sembada/rorita)

Pengantar Redaksi:

       DAERAH atau kawasan miskin kini menjadi perhatian khusus Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) untuk “dibedah” agar kemiskinan dan ketertinggalan karena rawan pangan menjadi terlewati. Adakah korelasi rawan pangan dengan kemiskinan dan seterusnya ketertinggalan? Tentu ada. Di mana? Sekadar merujuk teori Ahli Psikologi Abraham Maslow tentang Human Needs, urusan perut (panganan) yang belum selesai akan mengakibatkan kemunduran mental. Selanjutnya berantai akan mengganggu produktivitas kerja dan mengguncang perekonomian (keluarga) pun komunitas.

   Nah, belum lama berselang Media Pertanian online www.sembadapangan.com dan Media Lumbung Pangan berkesempatan mengunjungi daerah rawan pangan di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) bersama Drs Supriadi, Msi. Dia adalah Direktur Pengembangan Daerah Rawan Pangan, Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (PDTU), Kemendesa. Berikut tuturannya saat wawancara di rumah dinas Bupati Kabupaten Sanggau Paolus Hadi, SIP,Msi sebelum peresmian Pabrik Mini Tapioka di Desa Lape, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau.

Apa yang telah diperbuat pemerintah di daerah pedesaan yang rawan itu?

Kami mengembangkan kawasan pedesaan. Saat ini kami melakukan pengembangan antara satu desa ke desa yang lainnya. Di tengah keterbatasan itu—termasuk ekonomi—kami menginvetaris atau mencatat semua fungsi, di mana kami membangun dan memperhatikan pusat produksi dari beberapa desa yang memungkinkan dijadikan rujukan untuk kawasan industri.

Apa wujud yang konkret dirasakan orang-orang di desa?

Ada. Sekarang kami membangun pabrik tapioka yang berguna untuk membangun rumah produksi. Nantinya untuk masalah pangan bukan hanya untuk mengolah ubi, tetapi juga akan diupayakan untuk mengolah jagung, sagu dan segala macamnya sumber pangan di pedesaan atau daerah terpencil. Dan target penting hal itu adalah sosialisasi bahwa rumah produksi itu berguna untuk memproduksi pangan lokal. Dari sisi lain sebenarnya ada grand design kami dengan pihak Universitas Gajah Mada (UGM) untuk menjadikan rumah produksi berkemampuan menghasilkan panganan sehat bagi anak-anak sekolah.

Kalau demikian, mengapa tidak digalang kemitraan dengan pihak industri? Ataukah hal itu sudah ada?

Ini tahap awal. Kami sedang mengkaji semua peluang untuk mendorong kemajuan di desa rawan pangan dan terpencil itu. Memang dengan perindustrian akan bekerja sama menghasilkan produk-produk buatan dalam rangka memenuhi kebutuhan tambahan makanan, sehingga produk yang ada di situ bisa dikerjakan dan sebagai bahan makanan. Dengan demikian, masyarakat setempat juga bisa membeli sekaligus produk yang dihasilkan dan diberikan kepada anak-anak sekolah. Ini merupakan fakta yang luar biasa untuk terus kita kembangkan.

Artinya?

Ya, kami berupaya keras menyediakan kebutuhan ke dalam lebih dulu agar mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Kami juga sedang menyosialisasikan program tambahan makanan bagi siswa yang sedang dikerjasamakan dengan pihak dinas pendidikan. Bahkan produknya akan masuk ke pasar umum. Hal ini memakai anggaran Negara untuk kesehatan tunas bangsa, yaitu anak-anak terutama di sekolah dasar dan menengah pertama.

Adakah kampanye panganan bermuasal dari petani? Bisa dijelaskan peluangnya?

Nah, ini pertanyaan sangat bagus, walau faktanya memang sudah demikian. Jadi, itulah sebabnya kenapa kami harus membangun kawasan-kawasan. Sebab, ini harus terpenuhi  dan pasarnya harus dibangun, di mana pemerintah harus membangunnya dari internal kita dulu. Jika nanti seluruh sasaran tercapai, maka di setiap pertemuan atau jamuan di lingkungan kabupaten atau jajarannya tidak ada lagi makanan dari luar, tetapi semua produknya adalah olahan dari produk-produk lokal tersebut. Muasalnya dari petani di desa.

Sudahkah dipikirkan bahwa faktor higien atau food safety dari petani masih sangat rendah?

Hal itu tidak menjadi kendala besar. Sebab, jika nanti seluruh produk olahan petani atau kelompok tani disertifikasi atan pantau dan dievaluasi pihak Dinas Kesehatan, maka hal itu sudah bisa menjadi jaminan keamanan makan itu. Ini termasuk menyangkut nilai gizi, mutu maupun prosesnya.

Apa feedback yang didapat petani desa?

Feed-back atau umpan baliknya? Oh, banyak. Besar. Misalnya, apabila mutu sudah teruji atau terjamnin tentu akan mengarah pada kondisi di mana untuk konsumsi pada rapat-rapat yang diadakan oleh pihak pemerintah daerah atau jajarannya harus dipasok dari olahan lokal ini saja. Jadi, masyarakat desa beruntung karena ekonomi mereka lancar.

Bisa dijabarkan sampai di mana ajang program itu?

Semua itu akan berputar beraturan saling bersinergi dari pemerintah daerah untuk masyarakat dan dinikmati oleh masyarakat. Dan peningkatan mutu taraf hidup masyarakat akan sangat luar biasa, di mana produktivitas dan perekonomian penduduk nantinya akan sangat bergairah. Sebab, pasarnya sudah jelas. Nah, itulah konsep awal kami dalam membangun rumah produksi untuk pengembangan kawasan pedesaan tersebut.

Untuk itu kami berharap untuk membiasakan masyarakat berpikir dan melakukan kegiatan yang produktif, seperti bertani padi, jagung, kedelai, ubi, sagu dan sayuran. Penduduk desa bisa menjual hasil pertanian mereka sebagian ke pasar umum. Dan betul sekali, Direktorat Pengembangan Daerah Rawan Pangan berharap nantinya ada sertifikasi olahan untuk mewujudkan swasembada pangan sekaligus ketahanan pangan di pedesaan terpencil. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang