Didi: Di Lab OPT Belitang Tenaga Ahli Telah Minus, Tapi Kami Tetap Berbuat Maksimal
Friday, 17th August, 2018 | 1055 Views

DARI KOTA PALEMBANG yang hiruk-pikuk menyambut hajatan Pertandingan Olahraga Negara-negara Asia atau Asian Games, kami melaju di atas kendaraan tangguh gardan ganda karena jalan konon tidak bagus. Waktu tempuh diperkirakan tujuh jam kendati tidak terlalu jauh. Tujuan utama adalah LABORATORIUM PENGAMATAN HAMA DAN PENYAKIT (LPHP) di Belitang, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT).

Berempat kami berangkat dari Balai Perlindungan Tanaman dan Hortikultura Palembang, Provinsi Sumatera Selatan pukul 07.30 dengan laju kendaraan rata-rata 30 kilometer (km) di dalam Kota Palembang. Selepas kota, dua jam kemudian melintas di Kabupaten Ogan Ilir. Jalan penuh lubang serta bergelombang dan ada yang bak kubangan kerbau. Laju kendaraan melambat, tetapi jelang OKUT tanda-tanda sentra pangan padi sudah di depan mata. Dan nun jauh memandang lazuardi kaki langit menghampar padi menguning siap dituai dan lainnya baru keluar malai sera sebagian telah usai disabit petanda panen telah usai.

Kami tiba di kantor balai tujuan sudah pukul 15.00. Mendekati perkiraan tiba karena pedal gas kendaraan off-road itu tetap diinjak penuh walau jalan berlubang dan berkubang. Penumpang di dalamnya terguncang hebat kiri kanan dan terlontar atas bawah termasuk pengemudi. Memang itu sudah kesepakatan agar laboratorium hama itu bisa dilihat sebelum senja merambati bumi. Kami—wartawan Media Pertanian online www.sembadapangan.com sangat senang dan berhasrat sekali melihat laboratorium hibah atau bantuan Pemerintah Jepang pada 1983-1984 melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) pada periode Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka itu.

Kenapa gerangan kami sangat berhasrat melihatnya? Ada cerita kecil bahwa JICA juga memberikan laboratorium sejenis untuk provinsi lain termasuk kendaraan (lab mobile) yang hingga kini masih dirawat seadanya, tetapi terseok-seok alias biaya perawatan tidak dianggarkan oleh provinsi maupun pusat. Perangkat lab di dalamnya telah usang atau tidak berfungsi. Itu tidak lebih dan tidak bukan, lantaran petugas OPT yang ahli OPT dan perangkat untuk OPT telah sepuh atau tua.

Dalam tahun ini mereka—para POPT di seluruh Indonesia akan pensiun dan sebagian lagi telah mati atau meninggal. Regenerasi ahli POPT hinga kini belum jelas. Ada yang miris berdukacita ada yang senang bersukacita manakala hama menyerang atau merajalela, pengendali OPT seolah dianggap tidak bekerja. Namun, ketika petani bersorak-sorai setelah hasil panen melimpah karena tidak disentuh hama akibat dikendalikan, para pengendali OPT itu didiamkan saja. Seolah bukan karena dikendalikan setelah diamati tiap hari tiap minggu hingga masa panen yang menyebabkan hasil menggembirakan petani dan pemerintah.

Kenapa? Sebab, selama ada air menggenangi tanah, selama itu pula hama atau organisme pengganggu tanaman ada. Bahkan selama “rumah dan makanan” untuk hama telah lenyap karena berganti pengalihan fungsi lahan, selama itu pula hama akan ada. Satu lagi, selama pola pengendalian hama tidak terpadu, selama itu juga hama bisa sewaktu-waktu menyerang menghabisai tanaman pangan. Itulah sebagian tentang apa dan bagaimana hama terhadap tanaman terutama padi dari dulu hingga kini.

Lalu mengapa rupanya para petani? Jadi, mau apa kita? Nah, sekadar berbisik, tentu ahli hama harus diapresiasi dengan beragam cara. Ada regenerasi untuk keahlian yang memadai. Ada perangkat untuk mengamati hama—populasi dan jenis—dan pola beradaptasi hama terhadap jenis pestisida atau semacamnya. Tanpa begini niscaya hama, budidaya dan tuaian (harvesting) akan tetap menjadi persoalan ke depan. Bahkan akan menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Para ahli dan praktisi yang berkata demikian. Boleh jadi itu benar. Dan historinya memang demikian adanya.

Lalu faktanya? Didi Juhanto, SP,MSi yang menjabat Wakil Kepala Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Belitang, Kabupaten OKUT, Prov.Sumsel bertutur tentang eksistensi kantornya. Secara simultan karena kunjungan in-cognito jelang senja itu dan keterangannya memadai untuk dipahami serta cukup sebagai ilustrasi kenyataan tentang “nasib” POPT Indonesia di “kenikmatan” Kemerdekaan Ke-73 ini. Berikut Didi bercerita.

Alat yang seperti lemari ini adalah alat untuk sterilisasi. Umpama ada isolat untuk membuat media dibuat di sini. Di dalam juga ada blower atau kipas yang harus dihidupkan dengan listrik. Semua fasilitas yang ada di dalam ruangan ini sangat kurang untuk mendukung kinerja kami karena sebagian besar dari alat-alat ini masih hibah dari JICA Jepang itu. Dan hampir semua alat dan perangkat ini tidak bisa difungsikan lagi karena ahlinya tidak ada.

Tabung reaksi ini berdiameter 0,5 mililiter dan tidak beroperasional dengan maksimal karena sekarang ini kami sangat kekurangan tenaga ahli. Sebagian besar dari ahli tersebut telah purna tugas atau pensiun. Dulu yang mengelola laboratorium serbaguna ini bernama Triyanto, tetapi sekarang beliau telah pensiun. Dan orang yang mampu untuk menggantikan keahlian beliau itu tidak ada, maka jadilah ruangan ini kosong tanpa ada yang bisa mengoperasikan semua peralatan yang ada. Kendati saya bisa karena memang dilatih untuk itu puluhan tahun silam, tugas saya banyak sekali. Saya tidak sanggup tanpa pendamping ahli yang sepadan.

Memang tenaga yang dilatih untuk mengoperasikan semua alat yang ada dalam ruangan ini hanya saya dan pak TRIYANTO  itu. Kami dilatih oleh ahli yang didatangkan dari Mojokerto, Jawa Timur. Ada ahli dari berbagai negara terutama Jepang. Pelatihan keahlian itu diselenggarakan secara nasional pada 1999 dan setelah itu tidak ada lagi pelatihan seperti itu, padahal dua tahun lagi saya akan pensiun, sehingga tidak ada lagi ahli yang sanggup mengerjakan ini.

Dengan demikian, jika ada OPT yang perlu penelitian di laboratorium karena resistensi terhadap pestisida, misalnya  dan tidak mampu untuk ditanggulangi , maka tidak akan ada lagi petugas yang ahli untuk itu. Dengan kata lain hama akan tetap kuat dan memiliki daya tahan terhadap pencegahannya. Misalnya saja, agen hayati itu kan dikembangkan sendiri dan dibuat sendiri untuk dibagi-bagikan kepada gabungan kelompok tani (Gapoktan) dan petani. Untuk membuat itu kami harus dibantu kawan-kawan petani. Mereka datang kemari atau kami ke lokasi mereka dan kita buat secara bersama-sama. Sebab, kami sangat kekurangan tenaga.

Nah, melangkah ke depan kita etalase atau almari besar ini adalah bejana untuk bahan kimia, seperti gelas ukur ini berguna untuk menakar atau mengukur bahan-bahan kimia yang akan digunakan supaya sesuai dengan takaran yang dibutuhkan. Contoh kita akan membuat agen hayati seperti PAINI BASILUS dan lain sebagainya itu harus dibuat terlebih dahulu isolat murninya, dimana permurniannya dikerjakan di lapangan dan dibuat di sini atau diperbanyak. Alatnya bukan hanya ini saja ada elemeiyer dan petridisc dan lain sebagainya.

Kulkas yang ada dalam ruangan ini masih bantuan dari JICA Jepang dan dibawa dari negara itu. Sekarang tidak kami hidupkan karena arus listrik yang diperlukan oleh kulkas ini sangat besar sementara arus listrik yang tersedia di Gedung Laboratorium Belitang ini tidak mampu untuk menghidupkannya. Belum lagi di Sumatera Selatan sering sekali listrik padam. Nah, untuk mencegah kerusakan kulkas hibah dari JICA ini tidak dihidupkan lagi.

Kemudian benda yang terllihat pada kaca peraga ini adalah hasil dari specimen karya kami sendiri. Ini contoh petisida hayati dari daun sirsak. Cara pembuatannya adalah daun sirsak itu digiling atau dihaluskan kemudian diambil airnya. Ini sangat berguna untuk pengendalian hama, misalnya hama trip dan walang sangit dan hama wereng cokelat serta lalat. Bahkan, seperti ini adalah biji sirsak ini yang dapat dipakai sebagai bahan dasar pembuatan pestisida hayati.

Caranya, biji sirsak digoreng atau gongseng sampai hitam kemudian ditumbuk lalu campur dengan air. Selanjutnya disemprotkan pada tanaman yang terserang hama tadi. Itu sangat ampuh membunuh wereng coklat dan hama lainnya, sehingga petani tidak usah mengeluarkan uang membeli pestisida. Namun, namun kendala kita di lapangan adalah masih sulit untuk mengajak petani kembali ke alam. Mereka malas dan maunya terima-terima saja, seolah semua yang ada adalah bantuan pemerintah.

Ini adalah pupuk organik cair atau POC buatan kami sendiri. Takarannya untuk 4 liter POC ini adalah untuk penggunaan satu hektar lahan. Nah yang terlihat ini adalah isolat yang siap dikembangkan. Contohnya cendawan. Kemudian ini adalah biaferobia basiana yang berguna membunuh wereng. Dan ini adalah penicilium yang berguna juga untuk membunuh wereng. Jadi, sesungguhnya petani bisa cerdas mengurus tanamannya sendiri kalau mereka rajin dan mau mengadopsi inovasi eknologi yang ada.

Untuk eksistensi kami tentu sebagai pengamat kerjaannya harus di lapangan. Selain memberikan perlindungan terhadap tanaman juga mengamati wereng yang terserang jamur. seperti ini lalu dibawa kelaboratorium untuk diamati lalu dimurnikan dan diambillah jamur tersebut untuk diperbanyak. Setelah diisolasi dalam bentuk beras pecah, di tingkat petani yang akan membuat jamur ini harus menyediakan beras yang dimasak dalam dandang. Setelah beras matang lalu dikasih gula untuk makanan awal jamur. Setelah agak dingin lalu dimasukkanlah biang dari jamur ini. Tidak berapa lama mereka akan berkembang dan menjadi banyak. Cara penggunaannya adalah memasukkan jamur tersebut ke dalam air lalu diaduk dan dimasukkan ke tanki penyemprotan dan siap disemprotkan ke tanaman yang terserang wereng.

Tentu saja pengendalian hama terpadu atau PHT inilah yang kami kerjakan sekarang. Ini masih kita buat kalau ada terapan langsung di lapangan,  seperti kegiatan dem area yang lalu kami membuat pestisida hayati ini dalam skala massal. Artinya, kami buat berdrum-drum dan penyemprotan dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh gabungan kelompok tani. Harus demikian. Dan barulah pemakaian pestisida alami ini efektif ssuai dengan harapan kita. Biang jamur untuk membuat pestisida alami itu tidak tahan lama karena paling umurnya satu bulan. Jika habis kami akan lakukan lagi pemurnian untuk membuat biang yang baru.

Inilah yang kami terapkan pada lahan petani yang tergabung pada budidaya sehat tanaman padi atau program dem area. Kendati tenaga ahli kurang termasuk mengoperasikan laboratorium, kami tetap kerja keras berbuat maksimal. Itulah pengabdian kami hingga di usia lanjut ini. Sangat disayangkan, pengganti kami tidak ada sebagai ahli POPT. Tetapi, semoga pemerintah provinsi atau pusat mendengar….!! Nah, kapan itu gerangan…? Allahualam bisawab!!  *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang