Diagnosa Harga Telur
Wednesday, 25th July, 2018 | 1201 Views
|
Oleh Yeka Hendra Fatika (Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA)

 

Yeka Hendra Fatika (Foto:sembada/istimewa)

Yeka Hendra Fatika (Foto:sembada/istimewa)

TELUR MENGANDUNG JUMLAH yang signifikan dari vitamin A, vitamin B-kompleks, vitamin D, E, dan K, serta fosfor, selenium, kalsium, dan seng. Selain itu, telur juga memiliki berbagai senyawa organik penting, seperti omega-3, antioksidan, dan protein, kesemuanya itu penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Telur merupakan pangan hewani kedua terbanyak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia setelah ikan. Dari kelompok pangan hewani, konsumi terbanyak setelah telur adalah kelompok daging dagingan yang hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Jika harga ikan dan daging dagingan relatif mahal, dengan mahalnya harga telur, masyarakat akan mengalihkan konsumsinya ke pangan protein nabati. Dengan demikian telur merupakan pangan protein hewani yang bergizi lengkap dan terjangkau oleh kalangan menengah bawah.

Meskipun konsumsi telur sangat penting, namun tingkat konsumsinya masih jauh jika dibandingkan dengan negara lainnya. Merujuk Statistik 2017 BPS, konsumsi telur per kapita per minggu sebanyak 1,983 butir atau setara dengan 0,12 kg, atau sekitar 6 kg per kapita per tahun.  Dan jika harga telur meningkat tanpa diiringi dengan peningkatan daya beli, maka kita semakin tertinggal jauh dengan negara tetangga dalam hal konsumsi telur. Padahal kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh tingginya konsumsi pangan protein, vitamin dan mineral oleh penduduknya.

Merujuk data info pangan DKI Jakarta, memasuki Januari 2018 harga telur ayam di beberapa pasar tadisional di DKI Jakarta berada pada level Rp 22.000 per Kilogram. Pergerakan harga telur ayam secara perlahan mengalami peningkatan hingga di Bulan Juli ini mencapai pada kisaran Rp 27.000 – 30.000 per Kilogramnya. Kenaikan harga ini membuat pemerintah c.q Kementrian Perdagangan dan Kementrian Pertanian menyiapkan berbagai langkah jangka pendek dan jangka menengah untuk menstabilkan harga telur. Upaya menstabilkan harga telur akan tepat, jika diagnosa permasalahan dilakukan secara tepat pula.

Penurunan Pasokan

Menurut hukum pasar, harga akan mengalami peningkatan, jika pasokan berkurang. Apakah benar pasokan telur ayam ini mengalami penurunan. Beberapa faktor dibawah ini menjadi indikasi terjadinya penurunan pasokan ayam telur. Pertama, semakin meningkatnya perkembangan penyakit pada ayam petelur yang dialami setiap tahun. Pola perkembangan penyakit unggas di lapangan sangat cepat. Menurut keterangan para peternak layer, kasus penyakit yang mengalami tren meningkat di Tahun 2018  adalah penyakit CRD, cacingan, AI, koksidiosis dan mikotoksikosis.

Ribuan peternak layer mengalami hal ini. Meningkatnya kasus penyakit ayam petelur juga ada hubungannya dengan kebijakan  pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) sejak pada Januari 2018 seperti yang tertuang dalam Permentan No 14 Tahun 2017 . Kebijakan ini dinilai langkah yang sangat baik untuk melindungi konsumen.  Namun dari sisi peternak, pelarangan AGP ini menyebabkan unggas menjadi rentan terhadap penyakit, sehingga produktifitas dalam menghasilkan telur semakin menurun. Sebagai ilustrasi, menurut Koordinator gabungan peternak layer skala kecil di Kabupaten Subang, penurunan produktiftas telur hingga saat ini rata rata mencapai 40%. Sungguh bukan penurunan yang digolongkan kecil.  Jika diasumsikan kasus berbagai penyakit ayam petelur ini mencapai 20% saja, dan produksi telur nasional per hari sebesar 7500 ton, maka jumlah pasokan telur yang berkurang setiap harinya sebesar 1500 ton.

Faktor Kedua, pelarangan peredaran telur ayam tetas (Hatching Eggs =HE) seperti yang tercantum dalam beleid Permentan No 32 Tahun 2017 Pasal 13 Ayat 4 yang berbunyi “Pelaku Usaha Integrasi, Pembibit GPS, Pembibit PS, Pelaku Usaha Mandiri, dan Koperasi dilarang memperjualbelikan Telur Tertunas dan infertil sebagai Telur Konsumsi”. Beleid tersebut berlaku sejak Maret 2017, diterbitkan untuk mengantisapasi kelebihan pasokan telur ayam yang terjadi sepanjang 2016-2017.

Diperkirakan jumlah telur seperti ini tidak sampai dari 0,25% dari total produksi telur nasional, atau sekitar 18,75 ton per hari. Sebelum adanya larangan dari pemerintah, telur-telur ini dijual ke pasar. Saat ini tidak boleh lagi beredar di pasar. Jika ada yang terbukti menjual, pemeritah dangan tegas akan memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang mengedarkannya. Di Tahun 2018 ini, pelarangan peredaran telur HE ini terjadi pada saat industri ayam telur mengalami penurunan pasokan, alhasil pasokan telur di pasar semakin berkurang.

Faktor ketiga, penurunan kapasitas peternak ayam telur. Meskipun perlu diuji seberapa besar dampaknya, namun beberapa peristiwa  dilapangan ini patut diduga berkontribusi terhadap penurunan pasokan telur ayam  yaitu, pelemahan harga telur yang terjadi sepanjang tahun 2016-2017 mengakibatkan adanya peternak yang menutup usaha dan mengurangi kapasitas produksinya. Kondisi ini terjadi di Kulon Progro, Jateng. Blitar, Jawa timur, Subang Jawa Barat. Bagi peternak yang terbatas modal dan kemampuan manajemen usaha, kerugian usaha yang berlangsung terus menerus dapat berdampak pada penutupan usaha.

Namun tidak sedikit juga peternak yang masih gigih untuk tetap berusaha di sektor ini, dan ketika modal terbatas, maka langkah rasional yang bisa dilakukan adalah menjual ayam petelur yang masih produktif agar sisa ayamnya masih bisa mendapatkan pakan yang baik, dengan demikian keberlangsungan usaha bisa dipertahankan dengan kapasitas yang berkurang. Pertanyaannya, apakah hari ini mereka sudah bangkit lagi, kembali lagi pada kapasitas semula, atau yang bangkrut kembali berusaha lagi? Jika belum, maka hal tersebut dapat mempengaruhi terhadap penurunan pasokan telur nasional.

Peningkatan Harga

Tanpa adanya peristiwa lain, saat pasokan berkurang, otomatis harga pun mengalami peningkatan. Namun demikian, dalam menyoalkan peningkatan harga telur, terdapat faktor eksternal dan internal yang mendorong harga telur meningkat. Apa saja faktor faktor tersebut? Pertama, peningkatan resiko usaha peternak layer. Penurunan produktifitas telur akibat perbagai penyakit menyebabkan biaya rata rata pakan per butir telur mengalami peningkatan. Demikian juga, kasus kematian ayam mengakibatkan nilai penyusutan aset ayam petelur (pulet) mengalami peningkatan. Dua elemen biaya ini cukup mendongkrak peningkatan harga pokok penjualan.

 

Kedua, penguatan dollar. Merujuk pada data Bloomberg, per 1 Januari 2018 hingga pertengahan Juli 2018, rupiah mengalami pelemahan sebesar 6,3%. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, melainkan di negara Asean pun mengalami hal yang sama, seperti Pilipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Seluruh mata uang negara berkembang serentak melemah di Tahun 2018 seiring dengan Bank Sentral Amarika yang menaikan suku bunga dollar. Per Juli 2018, Fed telah meningkatkan suku bunga sebanyak 2 kali dari rencana sebanyak 4 kali sepanjang 2018. Implikasi penguatan dollar membawa dampak kepada kenaikan harga pakan, bibit, dan obat-obatan, konsekuensinya biaya produksi meningkat. Wajar saja jika harga jualpun mengalami peningkatan.

 

Ketiga, Penyaluran Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Meskipun magnitute nya kecil, tapi  dapat menggangu kelancaran pasokan telur di pasar tradisional dan modern yang berimplikasi pada peningkatan harga.  Keluarga miskin yang masuk dalam program BPNT ini mendapatkan subsidi langsung senilai Rp 110 ribu per bulan yang ditukarkan dengan berbagai produk pangan seperti beras, gula dan telur.  Penyaluran BPNT tahap I dilakukan pada bulan April 2018, dilanjutkan Penyaluran tahap II pada bulan Mei 2018. Dan rencananya, penyaluran BPNT tahap III dan IV disalurkan pada Okotber dan November 2018.

Ditargetkan pada penyaluran tahap III dan IV jumlah penerimanya sudah mencapai 10 juta keluarga. Hingga bulan Mei 2018, jumlah penerima BPNT sebanyak 4,2 juta rumah tangga. Jika satu keluarga penerima BPNT mendapatkan telur sebanyak 1 Kg, maka selama bulan April-Mei lalu terdapat 8,2 ribu ton telur beralih dari pasar tradisional/modern ke penyalur BPNT. Hal tersebut mengakibatkan pasokan telur di pasar tradisional dan modern berkurang. Sementara itu, permintaan dari kelompok masyarakat sejahtera yang lebih besar jumlahnya mengalami peningkatan, dikarenakan saat itu memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Implikasinya harga terdorong meningkat.

Peningkatan Permintaan

Selaian pasokan yang berkurang dan harga input yang meningkat karena faktor penguatan dollar, kenaikan harga juga dipengaruhi oleh peningkatan permintaan. Memasuki Ramadhan dan Hari Raya serta libur panjang menyebabkan permintaan terhadap telur di masa masa ini mengalami peningkatan. Konsumsi telur di masa masa ini lebih tinggi dibanding masa masa sebelumnya. Selain itu massifnya berbagai pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia juga turut mendorong naiknya konsumsi telur.

Peternak Untung?

Ditengah tengah tengah peningkatan harga telur, apakah secara otomatis peternak telur mengalami keuntungan? Jawabannya belum tentu, mengingat kenaikan harga juga dibarengi dengan peningkatan biaya produksi dan peningkatan resiko berusaha. Belum lagi kalau dikalkulasikan dengan kerugian di tahun atau periode sebelumnya, maka keuntungan di periode ini dipastikan belum menutupi semua kerugian di periode sebelumnya. Bahkan dalam kondisi harga yang tinggi ini, masih ada juga yang mengalami kesulitan dalam memasarkan telurHal ini disebabkan karena pedagang membatasi pembelian dikarenakan telurnya mahal.

Penurunan Harga Telur

Harga telur yang terlalu mahalpun, jika tidak diiringi dengan daya beli masyarakat akan membuat sebagian konsumen mengurangi jumlah pembelian, sehingga permintaan pada akhirnya akan mengalami penurunan. Implikasinya penjualan telur akan mengalami penurunan. Tidak hanya pedagang, peternak ayam petelurpun akan kena imbasnya. Dengan demikian langkah yang diperlukan adalah tidak hanya semata mata menurunkan harga telur, melainkan perlunya penyelarasan antara harga jual dengan daya beli.

Penurunan harga telur tidak boleh dibawah harga pokok penjualan di tingkat peternak, yang saat ini realitasnya mengalami peningkatan. Struktur ongkos produksi telur di tahun ini jelas berbeda dengan struktur ongkos produksi di tahun tahun sebelumnya.  Demikian juga peningkatan harga telur tidak bisa melebihi daya beli masyarakat. Kasus adanya peternak yang mengalami kesulitan menjual telur, disaat harga telur mengalami peningkatan, seperti yang dialami peternak di Desa Grogol, Jombang – Jawa Timur, merupakan indikasi bahwa harga telur yang tinggi direspon oleh konsumen dengan cara mengurangi pembelajaan telur. Melihat hal ini, harga telur di level 27-30 ribu rupiah per Kilogram memang sudah diatas ambang psikologi konsumen, artinya konsumen mengganggap terlalu mahal. Sehingga, harga telur harus turun.

Penurunan harga telur sangat tergantung pada fluktuasi biaya input produksi dan sehatnya iklim berusaha. Terdapat dua jenis biaya variabel yang memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan ongkos produksi telur, yaitu biaya pakan dan pulet dengan kontribusi masing masing sekitar 75% dan 10%. Jika trend penguatan dollar terus terjadi, maka dipastikan biaya produksi akan meningkat kedepannya. Demikian juga dengan iklim usahanya, jika tidak diperbaiki karena masih tingginya serangan berbagai penyakit, maka tidak ada jaminan dikemudian hari harga telur akan menurun, meskipun intervensi penurunan harga terus dilakukan.

Revisi Harga Acuan Telur

Per 16 Mei 2017 telah terbit Permendag No 27/M-DAG/PER/5/2017 yang mengatur harga acuan 9 komoditi, di antaranya telur. Berdasarkan beleid tersebut, harga acuan telur di peternak layer sebesar Rp 18.000 per Kilogram, dan harga jual di tingkat konsumen sebesar 22.000 per Kilogram. Terdapat selisih Rp 4.000 per Kilogram yang diperutukkan bagi mereka yang terlibat dalam proses pendistribusian dan perdagangan telur. Harga acuan tersebut kini perlu mengalami perubahan, mengingat struktur biaya produksi hari ini sudah lebih tinggi dibanding tahun lalu. Lantas berapa harga acuan yang ideal saat ini?

Jika membandingkan struktur biaya peternak layer skala menengah dan besar dengan skala kecil dapat dipastikan bahwa struktur biaya peternak layer skala menengah dan besar akan lebih efisien  dibandingkan dengan struktur biaya peternak skala kecil. Dengan kata lain, harga telur yang dihasilkan oleh peternak layer skala menengah dan besar akan lebih murah jika dibandingkan dengan harga telur dari peternak layer skala kecil. Sehingga dari sisi produsen, revisi harga acuan telur yang baru ditujukan untuk melindungi peternak layer skala kecil. Namun jika pemerintah menginginkan harga telur semurah mungkin, sehingga mendekati harga pokok penjualan telur yang dihasilkan oleh peternak layer skala menengah dan besar, maka harus ada upaya perlindungan terhadap peternak layer skala kecil ini, karena dipastikan mereka tidak akan bertahan dalam kondisi tersebut.

Petunjuk untuk mendiagnosa besarnya perubahan harga acuan telur dapat dilakukan dengan cara membandingkan perubahan biaya input tahun lalu dengan saat ini. Berdasarkan kalkulasi hitungan yang diperoleh dari beberapa kelompok peternak layer skala kecil, maka harga acuan telur di tingkat peternak dapat ditingkatkan dari Rp 18.000 per kilogram menjadi Rp 21.000 – 21.500 per kilogram. Dengan mempertahan margin distributor dan pedagang, maka harga acuan telur di tingkoat konsumen ditingkatkan dari Rp 22.000 per kilogram menjadi Rp 25.000 -25.500 per kilogram.

Merujuk data yang dirilis Numbeo Juli 2018, dengan usulan harga acuan baru Rp 25.000-25.500 per kilogram, maka harga telur di Indonesia masih dikatakan yang paling murah jika dibandingkan dengan harga telur di Thailand (Rp 29.500 per kilogram), di Singapura (Rp 36.300 per kilogram), di Tiongkok (Rp 30.744 per kilogram), di Brazil (Rp 30.409 per kilogram), di Amerika (Rp 45.400 per kilogram), Di Francis (Rp 57.346 per kilogram).

Kesimpulan

 

Selain melindungi konsumen, pemerintah juga harus melihat realitas produsennya, yaitu peternak layer. Harga telur yang tinggi, tentunya memberatkan konsumen, namun juga harga telur di tingkat konsumen tidak bisa diturunkan pada level harga acuan sesuai Permendag No 27 Tahun 2017, yaitu Rp 22.000 per kilogram. Dalam rangka stabilisasi harga telur, peran pemerintah yang pertama adalah pentingnya mempertimbangkan untuk merevisi harga acuan telur dari Rp 18.000 per kilogram di tingkat peternak, menjadi Rp 21.000-21.500 per kilogram. Dan harga telur di tingkat konsumen dari Rp 22.000 per kilogram menjadi Rp 25.000 – 25.500 per kilogram. Dengan harga acuan yang baru, eksistensi peternak layer skala kecil masih terjaga. Namun demikian harga ini tidak akan bertahan lama, jika pemerintah tidak memberikan jalan dalam penanganan berbagai penyakit ayam petelur.

Selanjutnya langkah yang kedua, perlunya pemerintah mempertimbangkan kembali untuk menghapus larangan peredaran telur tetas seperti yang tertuang dalam Permentan No 32 Tahun 2017. Ada baiknya jika telur ini dapat dijual ke pasar dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dan jika pasokan kembali membaik, maka larangan ini bisa diberlakukan kembali.

Langkah yang ketiga, sifatnya jangka menengah – panjang, yaitu memperbaiki iklim usaha di industri unggas,  dengan cara menanggulangi secara cepat berbagai penyakit yang menimpa ayam petelur. Permentan No 14 Tahun 2017 perlu dipertimbangkan untuk dirubah dengan mempertimbangkan kondisi peternak saat ini. Selain harus memastikan bahwa aturan pelarangan berbagai macam obat obatan yang komprehensif, juga harus memastikan tidak ada kekeliruan dalam pengklasifikasian obat dan mekanisme teknis pengobatannya. Selain itu yang terpenting adalah memasukan alternatif penanggulangan penyakit yang mampu mempertahankan produktifitas telur pada tingkat yang optimal dan efisien.

Jika pemerintah menginginkan harga telur murah, dan disisi lainnya produktivitas telur harus optimal, maka secepatnya pemerintah harus menyusun berbagai macam program untuk menanggulangi berbagai macam penyakit ayam petelur. Jika upaya penanggulangan penyakit ini harus ditebus dengan perbaikan infrastruktur, kandang, sarana dan prasarana penunjang, manajemen, teknologi, dan SDM yang mumpuni dengan modal yang sangat besar, maka jalan mana yang ditawarkan pemerintah kepada peternak layer yang memiliki infrastruktur, sarana dan prasarana yang serba terbatas,  juga kemampuan modal yang kecil kurang 1 miliar rupiah?

Apakah mereka akan tetap dibiarkan sehingga menjadi rentan terserang berbagai penyakit? Jawaban inilah yang saat ini ditunggu oleh ribuan peternak layer skala kecil, mengingat mereka saat ini belum menemukan solusinya, selain menerima kenyataan pahit produktivitas telur yang menurun, biaya produksi semakin mahal, tempo pelunasan hutang semakin panjang, dan hutang semakin membesar.  Jika kondisi ini terus terjadi, maka industri ayam petelur hanya akan diisi oleh peternak atau perusahaan dengan modal yang besar. Semoga bangsa ini berbesar hati memberi ruang pada ribuan peternak layer skala kecil. Bagaimanapun mereka memiliki hak hidup di bumi Indonesia.   Atau, lepas saja harga telur ke pasar?

Referensi

 

BPS. 2018. Statistik Indonesia 2017. Jakarta.

Fatika. 2018. Observasi Singkat Peternak Layer Skala Kecil Kab Subang. Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA). Jakarta.

______.  2017.  Permendag No 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Kementrian Perdagangan. Jakarta.

______. 2017. Permentan No 14/PERMENTAN/PK.350/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Kementrian Pertanian. Jakarta.

https://www.numbeo.com/cost-of-living/

https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang