Di Garut Benih Kedelai 480 Ton Pada 2018 dan 1.000 Ton Pada 2019
Monday, 8th October, 2018 | 909 Views

Pada 2018 ini para petani penangkar di Kabupaten Garut mampu menyediakan benih kedelai (Glycine max) sebanyak 480 ton. Jumlah itu lebih dari cukup untuk kebutuhan para petani di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Untuk 2019 para petani penangkar dipastikan mampu menyediakan benih hingga 1.000 ton yang diharapkan bisa memasok benih kepada petani lain di kabupaten lain atau provinsi lain. Benih yang dihasilkan petani adalah unggul dari Varietas Anjasmara.

Demikian disebutkan petani penangkar benih kedelai di Desa Ranco Bango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garus, Provinsi Jawa Barat (Jabar). Petani penangkar itu adalah Endut (48), memiliki tiga anak dari satu istri. Endut juga menjadi Ketua Kelompok Tani (Koptan) Darma Ikhtiar yang petani anggotanya mencapai 43 petani dengan total luasan lahan yang mencapai 50 hektare (ha). Endut sendiri memiliki lahan untuk penangkaran benih kedelai seluas tiga hektare.

Saat ini dari penangkaran benih kedelai produktivitasnya mencapai 1,7 ton per hektare (ha), di mana dari jumlah itu benih terseleksi yang dihasilkan  mencapai satu ton. Bahkan sering bisa mencapai 1,1 ton. Hal itu tergantung pada faktor cuaca. Kendati demikian, kalau masa panen turun hujan, para petani tetap melakukan pemanenan. Namun, kedelai itu tidak langsung dirontok, melainkan diikat beberapa rumpun dan diletakkan di bumbungan rumah atau gudang. Perlakuan semacam itu akan menambah mutu kedelai makin bagus. Asal waktu panen sudah matang betul.

“Untuk sortiran, kami melakukannya di lapangan dengan jumlah tenaga kerja yang bisa mencapai 50 orang. Penyortiran hingga pengemasan ada di tempat kami ini atau di lantai jemur milik anggota kelompok tani,” kata Endut. Dia sudah menjadi petani sejak remaja dan mengikuti orangtuannya ke sawah ketika masih kanak.

Dia menambahkan bahwa untuk satu tahun pihaknya sanggup memproduksi benih kedelai mencapai 400 ton. Pada 2018 ini saja  petani anggota kelompoknya memiliki benih kedelai 480 ton. Kini dia mengumpulkan benih dari berbagai daerah termasuk dari Kaupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Pada 2019 mendatang Endut sangat berharap bisa menyediakan benih kedelai hingga 1.000 ton. Benih itu akan dipasok terlebih dulu untuk kebutuhan petani di Kabupaten Barut sendiri dan barulah didistribusikan ke kabupaten lain.

Menurut Endut, benih kedelai sebanyak 480 ton pada 2018 ini diperkirakan terkumpul pada Desember mendatang. Sebagai gambaran, pada musim tanam yang lalu atau pada April 2018 ini pengadaan benih yang disanggupi hanya 100 ton karena pengaruh cuaca yang tidak menentu. Itu semua di luar kebutuhan Dinas Pertanian Kabupaten Garut. Sisa benih yang masih ada dijual kepada petani di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat atau daerah lain di Jawa Barat.

“Memang banyak yang minta kepada saya agar benih kedelai dikirim ke Sumatera, namun untuk saat ini saya hanya melayani kebutuhan Proinsi Jawa Barat. Semua benih telah disertifikasi oleh pihak Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih atau BPSB Provinsi Jabar. Biaya sertifikasi yang dikenakan oleh pihak BPSB per hektarnya sangat ringan. Tidak sampai senilai secangkir kopi di restoran,” demikian Endut sembari menoleh ke arah staf BPSB yang kebetulan datang ke tempat kerjanya mengatur pengemasan dan pendistribusian benih kedelai di Desa Ranco Bango, Kecamatan Tarogong Kaler, Garut.

Untuk ukuran di desa, penghasilan bersih Endut sebesar 4 juta rupiah sudah cukup. Atau bisa dicukup-cukupkan. Anaknya yang pertama telah lulus Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), tetapi tidak menjadi petani. Anak kedua masih duduk di bangku sekolah menenag atas dan akan ketiga baru duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Kebutuhan keluarganya bisa dicukupi dari kegiatan bertani.

Kini lahan 3 ha miliknya masih ditanami tembakau karena cuaca untuk kedelai belum memungkinkan. Para petani masih menunggu hujan untuk menanam kedelai. Pola tanam para petani di wilayahnya adalah kedelai-kedelai-tembakau. Endut akan segera menggarap lahannya untuk ditanami kedelai karena saat ini tembakau sudah usai dipanen.

Lebih Beruntung Menjadi Penangkar

Menurut Endut, harga kedelai untuk konsumsi hanya senilai 5.500 rupiah per kilogram (kg), sedangkan untuk calon benih mencapai 9.000 rupiah per kg. Itu harga kering panen atau di kebun. Namun, karena harga sangat rendah setiap tiba masa panen, Endut mengajak dan mendorong para petani menjadi penangkar benih kedelai. Untuk kedelai yang sudah berupa benih atau bukan calon benih lagi adalah berkisar 13.500 rupiah per kg, kendati pemerintah telah menetapkan sebesar 10.320 rupiah per kg.

“Sebab, dari analisa usaha tani, harga kedelai untuk konsumsi yang hanya sebesar 5.500 rupiah per kg, petani sangat rugi. Dari hitungan sederhana para petani pun, harga itu sangat tidak bersahabat. Kami hanya balik modal. Bahkan merugi,” katanya.

Dia juga menyebutkan bahwa lantaran harga kedelai untuk konsumsi sangat rendah, dia sudah meminta dan mengarahkan para petani agar menjadi penangkar benih saja. Sebab, kedelai yang dihasilkan untuk calon benih harganya lumayan, yaitu 9.000 rupiah per kg. Kalau sudah diseleksi menjadi benih harganya sudah di atas 12.000 rupiah per kg dan petani sudah bisa mendapatkan untung.

Saat ini, kata Endut melanjutkan tuturannya, Kelompok Tani Darma Ikhtiar sudah berkoordinasi dengan pihak BPSB Provinsi Jabar. Hasilnya adalah benih bersertifikat dan harganya semakin tinggi. Hal itu juga telah memicu minat petani menanam kedelai untuk calon benih. Perlakuan petani terhadap tanaman konsumsi dan calon benih tidak berbeda karena hanya tergantung pada cuaca, varietas yang ditanam dan kesesuaian tanah.

Saat ini para petani memilih varietas unggul Anjasmara karena sesuai dengan lahan di daerah itu. Para petani berpengalaman menanam Anjasmara, sehingga tidak beralih ke varietas unggul lain, seperti Grobogan agar tidak bercampur dari sisa panenan. Sebab, varietas yang tercampur dengan varietas lain akan terlihat dari bunga yang muncul.

Selain itu varietas Anjasmara punya kelebihan di daerah Garut, yaitu cocok dengan lahan, hasilnya lebih banya dari varietas lain yang mungkin karena kecocokan pertumbuhan dan tahan rubuh. Bahkan di daerah Garut, biji varietas Anjasmara lebih besar dan saat panen biji lebih mudah lepas dari cangkangnya.

Ancaman Kedelai Rekayasa Genetika

Menyangkut kedelai impor daeri berbagai negara yang dikenal dengan kedelai Genetically Modified Organism (GMO) yang harganya sangat rendah dan memukul kedelai yang dihasilkan petani, Endut mengatakan agar pemerintah menyetopnya. Sebab, pemerintah pasti tahu persis bagaimana melindungi petani Indonesia. Tetapi, itu kalau pemerintah mau.

“Pemerintah tahu persis mengatasi impor kedelai GMO itu. Bisa melalui tarif bea masuk yang tinggi. Bisa juga membatasi jumlah impornya disesuaikan dengan produksi petani Indonesia. Atau menghentikan sama sekali. Sebab, kalau impor tidak ada atau hanya sesuai kebutuhkan pihak tertentu, petani Indonesia pasti berbondong-bondong menanam kedelai. Lahan yang ada, seperti lahan ubi jalar dan lahan yang belum diusai akan ditanami kedelai. Stop kedelai impor,” ujar Endut berapi-api.

Dia dengan spirit bertani yang masih tinggi juga mengutarakan keheranan, mengapa pemerintah bisa dan mau menghentikan impor jagung? Dan sebaliknya, mengapa tidak berniat menghentikan impor kedelai yang notabene sifatnya rekayasa genetika atau GMO yang bisa mengancam jiwa manusia yang memakan tahu dan tempe. Dan mengapa pemerintah meminta rakyat Indonesia bertani kedelai, sementara kedelai impor berlimpah memasuki Indonesia dengan harga sangat murah?

Apa gerangan ancaman terhada nyawa manusia itu? Endut menyetir pendapat para ahli bahwa kedelai impor bisa menimbulkan tumor, kanker hati, kanker otak, kanker usus, kanker rahim dan sebagainya. Bahkan bisa merusak sel sperma, mengubah fungsi inti protein sumber kehidupan yang ada di otak, kemandulan pada wantita dan pria, kelahiran prematur, pendarahan usus, pembunuh gizi yang dikonsumsi serta pemicu penyakit mental atau kejiwaan dan mengubah pola hidup dan pikir anak-anak.

“Kalau pendapat para ahli genetika dan ilmu hayat ini benar, maka janganlah makan tempe dan tahu yang berasal dari kedelai GMO yang notabene impor itu. Jangan lagi makan tempe dan tahu hasil kedelai impor. Mari beramai-ramai makan tahu dan tempe hasil petani Indonesia yang aman pada kehidupan anak kita dan kita sendiri. Berbahaya tempe dan tahu asal kedelai impor,” kata Endut dengan tegas dan ketakutan yang luar biasa. (Berita terkait di menu BERITA UTAMA dengan judul Kini Fokus Benih Kab.Garut Surplus 100 Ton dan Akan Pasok Daerah Lain Pada 2019). *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang