Akar Masalah Polemik Impor Beras
Monday, 23rd October, 2017 | 979 Views
|
Oleh Dr Ir lskandar Andi Nuhung
Iskandar Andi Nuhung (Foto:sembada/istimewa)

Iskandar Andi Nuhung (Foto:sembada/istimewa)

SUDAH sangat sering terjadi pro kontra menyangkut impor beras bahkan merembes ke wilayah politik. Hal ini tentu bisa dimaklumi karena memang beras, selain merupakan komoditas strategis, impor beras juga merupakan ajang bisnis yang sangat menggiurkan.

Mengapa sangat menggiurkan? Dengan hitung-hitungan kasar saja, misalnya selisih harga Rp 100 per kilogram (kg) dengan impor sebanyak 200.000 ton atau 200.000.000 kg berarti ada ekspektasi keuntungan sebesar Rp 20.000.000.000 atau dua puluh miliar rupiah. Dan apalagi kalau selisih harga mencapai Rp.500 per kg, maka angka itu akan menjadi Rp 100.000.000.000  atau seratus miliar rupiah.

Semakin tinggi selisih harga dan semakin banyak volume impor, maka nilai tambahnya semakin besar, Untuk itu bisa dibayangkan ketika kita impor sampai 3 juta ton hingga 5 juta ton, nah bisa dihitung sendiri keuntungannya dan itu hanya dalam tempo yang singkat. Oleh sebab itu siapa yang tidak tergiur mengimpornya?

Data dan Informasi Berbeda

Persoalan yang akan kita bahas bukan disitu, tapi kita coba mencari akar masalah dan sumber persoalan yang berkembang, yaitu pada “data dan informasi” yang ada. Atau setidaknya ada sederetan data yang harus ditelusuri secara seksama atau mendalam.

Data produksi. Ini hanya didasarkan pada luas areal dan hasil ubinan yang dilakukan secara sampling atau acak. Tingkat akurasi data sampling ini meliputi ketepatan dan kebenaran data areal panen, sehingga menentukan akurasi data produksi. Beberapa kali pernah terjadi di suatu provinsi terlihat bahwa data produksi gabah antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian setempat berbeda sebanyak 400.000 ton dalam satu tahun.

Data luas areal. Belum pernah dilakukan pengukuran secara pasti luas areal sawah di republik ini. Areal sawah yang di konversi belum pernah diukur secara pasti. Pertanyaan besar adalah apakah luas areal panen itu benar adanya dan dasarnya apa? Kemudian luas kepemilikan, peta udara atau data desa/wilayah bagaimana.

Contoh sangat sederhana. ketika dilakukan ujicoba oleh suatu lembaga swadaya masyarakat di sentra produksi padi ditemukan bahwa areal sawah yang tercantum dalam girik berbeda dan lebih besar dibanding dengan areal ril setelah sawah itu diukur dengan baik untuk percontohan.

Hasil Ubinan. Cara atau teknik ubinan pasti sudah dilakukan dengan kaidah-kaidah statistik agar representatif. Artinya, diharapkan bahwa sistem ubinan tersebut bisa mewakili areal sawah dengan produksi rendah, sedang maupun tinggi. Persoalan berikutnya berapa persen sawah yang berproduksi rendah, sedang dan tinggi itu?! Sebab, sebagai faktor pengali, pengaruh nilai rata-rata ubinan sangat besar. Belum lagi jika kita melihat jenis/varietas padi dengan kemampuan produksi yang berbeda.

Berapa Luas Alih Fungsi

Menurut hemat penulis, hingga kini belum pernah dihitung secara cermat, berapa luas sebetulnya areal sawah yang terkonversi atau beralih fungsi setiap tahun. Dan berapa luas sawah baru yang dicetak, sehingga areal itu dikeluarkan dan ditambahkan pada perhitungan areal panen. Berapa sawah irigasi, non irigasi atau tadah hujan yang berkurang dan bertambah setiap tahunnya. Hal ini akan mempengaruhi luas areal sawah secara total.

Angka konversi untuk gabah kering panen (GKP) ke gabah kering giling (GKG) dan dari GKG menjadi beras seringkali juga tidak sama. Ini sangat ditentukan oleh varietas, serangan hama penyakit dan lain-lain. Konversi ini akan sangat menentukan angka produksi makro GKG dan beras.

Konsumsi Per Kapita. Angka tentang ini juga belum ada keseragaman, sebab ada angka pada 139 kg per kapita, 134 kg per kapita, ada 131 kg per kapita dan ada 130 kg per kapita per tahun. Keseragaman angka konsumsi itu penting untuk menentukan kebutuhan konsumsi nasional per tahun termasuk jumlah penduduk. Khusus untuk jumlah penduduk Indonesia sudahkah diperhitungkan dengan tepat? Hal ini berpengaruh pada perhitungan total konsumsi dan bagaimana pula dengan warga negara ndonesia yang berada di luar negeri?

Daerah Surplus dan Defisit Harus Jelas

Areal Tanaman Rusak dan Intensitasnya. Semua pihak harus memahami serangan hama penyakit, kekeringan, bencana, banjir, angin topan merupakan factor- faktor yang mempengaruhi kerusakan tanaman padi. Kita belum punya angka ril dari besarnya kerusakan tersebut dan ini berpengaruh pada perhitungan angka produksi total secara nasional.

Kehilangan Hasil Pasca Panen. Indonesia juga belum memiliki angka-angka yang ril menyangkut hal itu. Artinya, kita masih banyak menggunakan angka 20 persen hasil penelitian lebih dari 20 tahun yang lalu. Demikian pula menyangkut angka impor itu sendiri. Selama ini angkanya juga bervariasi dan tidak jelas terang benderang. Hal ini disebabkan karena masih banyak impor yang melanggar hukum (illegal) yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti.Di daerah-daerah perbatasan arus keluar masuk beras tidak tercatat secara baik dan belum lagi yang menggunakan kapal- kapal kecil, seperti yang terjadi di beberapa wilayah pelabuhan di tanah air.

Data dan Informasi Cadangan Beras. Secara nasional angka tingkat aman berapa dan untuk berapa lama ketersediaannya? Sebab, apabila mengacu pada beberapa negara yang mempraktikkan cadangan, maka stock beras juga bervariasi ada yang untuk 6 bulan, satu tahun dan seterusnya. Apabila cadangan beras itu hanya antara satu hingga 2 juta ton, apakah ini cukup? Berapa cadangan yang ada pada periode-periode tertentu, di mana lokasinya dan bagaimana memobilisasinya apabila diperlukan? Hal ini belum mendapat jawaban secara jelas selama ini.

Sudah lama dipahami banyak pihak bahwa data produksi tidak bisa dipertanggungjawabkan hanya karena kepentingan tertentu supaya kelihatan berhasil produksinya, seperti sering kita dengar di masa-masa yang lalu. Namun, saya berpikir mudah-mudahan hal itu hanya sekadar cerita.

Selanjutnya data surplus dan defisit sangat diperlukan secara ril. Misalnya data ril jumlah surplus atau defisit baik secara rasional maupun secara regional sampai ke kebupaten di seluruh Indonesia. Kalau surplus berapa dan di mana surplus itu berada, siapa yang menguasai? Demikian pula halnya menyangkut defisit harus jelas.

*Dr Ir Iskandar Andi Nuhung

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang