Lima Tantangan Besar Menghadang Sang ‘Komandan’ Kementerian Pertanian
Friday, 6th December, 2019 | 1150 Views
|
Oleh Drh M.Chairul Arifin (Mantan Perencana di Departemen Pertanian dan Pengamat Pembangunan Pertanian.

Drh Chairul Arifin-2

HINGGA BEBERAPA WAKTU ke depan sejumlah masalah besar tetap menghadang Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian 2019-2024 yang bukan berasal dari kalangan pertanian, tetapi dari birokrat pemerintahan daerah.

        Namun, dari pengalamannya sebagai gubernur dua kali dan rekam jejaknya dari camat, bupati sampai hingga menjadi penguasa tertinggi suatu daerah, pastilah pernak-pernik permasalahan pertanian sudah menjadi menu keseharian yang dapat menguras waktu dan tenaga dan pikirannya untuk mencari berbagai solusinya di Provinsi Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana untuk satu kementerian yang mencakup wilayah Indonesia dari Papua hingga Sumatera?

      Boleh jadi menjadi seorang Menteri Pertanian bagi Limpo ibaratnya kembali menekuni tugasnya yang khusus di sektor pertanian, tetapi dalam skala nasional. Tentulah Limpo paham betul  dan tahu bahwa masalah data pertanian yang tidak pernah akur dari berbagai sumber instansi dan swasta, sehingga prioritas 100 hari pertamanya sebagai menteri adalah membenahi data pangan bagi keperluan 260 juta perut orang Indonesia.

        Lepas dari data, dipastikan sejumlah permasalahan mendasar dan substansial sektor pertanian bakal menguras pikirannya selama lima tahun dia duduk dan  mengabdi di Kabinet Indonesia Maju Jilid II 2019-2024. Masalah tenaga kerja pertanian, konversi lahan, ketergantungan impor pangan, defisit neraca perdagangan pertanian dan diversifikasi pangan merupakan pekerjaan kantor atau PK yang harus diselesaikan agar ketahanan pangan Indonesia tidak terpuruk.

      Lima agenda  masalah ini satu persatu diminta diselesaikan dan satu permasalahan tersebut saling kait mengkait dengan masalah lainnya, sehingga lepas dari suatu masalah, masalah lainnya muncul. Ibaratnya suatu sistem, pengaruh dari subsistem akan berkesinambungan dengan komponen subsistem yang lainnya karena memiliki interrelasi dan interdependensi.

Petani Kini Sudah Tua

        Dari 35,9 juta petani kita ternyata lebih dari 70 persen tingkat pendidikannya tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD dan  ditilik dari umurnya sekitar 35 persen umur di atas 50 tahun. Berarti lebih dari sepertiga petani kita tergolong petani tua, sehingga menciptakan struktur tenaga kerja aging population, menua dan sebagian besar berpendidikan rendah.

       Struktur menua ini sebagai dampak dari perang dunia dulu yang melahirkan generasi baby boomers, sehingga generasi inilah yang jadi petani-petani kita saat ini. Dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, maka inovasi-inovasi baru sudah sulit muncul dari mereka selain sudah tidak mampu meningkatkan kemampuan pribadi maupun meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin telah dimiliki.

        Mungkin akan terjadi celah atau jurang generasi dengan generasi sesudahnya, yaitu generasi X yang lahir di rentang 1960-awal 1980-an dan generasi Y yang lahir awal 1980 – awal 2000an yang kita sebut sebagai generasi Langgas yang lebih dinamis. Tinggal menunggu habisnya generasi petani baby boomers ini, maka warisan dua generasi sesudahnya menjadi PK Menteri Pertanian baru di tengah bonus demografi yang mulai muncul yang puncaknya akan terjadi pada 2030-an mendatang.

        Menteri baru tentu akan berhadapan dengan pola hidup atau life style yang beda dari generasi Langgas yang timbul ini termasuk pola pangannya yang lebih menyukai pangan olahan serba praktis dan cara  bertaninya yang serba digital. Menghadapi generasi petani baru ini memerlukan pendekatan yang berbeda dengan era sebelumnya.

Alih Fungsi Masif Lahan Pertanian

     Data BPS menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir (2013-2018) telah terjadi pengurangan luas baku lahan sawah dari 7,7 juta hektare menjadi 7,1 juta hektare yang berarti terjadi penciutan sekitar 649.000 hektare. Ini menunjukkan  setiap tahunnya rata-rata 130.000 hektare lahan pertanian beralih fungsi jadi lahan nonpertanian, yaitu pembangunan infrastruktur, jalan tol, bandara, pelabuhan, industri, perkantoran, real estate dan peruntukan lainnya.

       Apabila hal ini berlangsung terus maka menurut Balai  Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian ( BBSDLP)  Bogor, maka diprediksi pada kelak pada 2045 Indonesia hanya akan memiliki lahan  baku sawah 5,1 juta hektare. Kondisi ini dinilai mengkhawatirkan karena selain terjadi konversi lahan diikuti pula dengan degradasi lahan sawah sebagai dampak dari semakin intensifnya pengolahan lahan dengan pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang mengganggu dan menurunkan kesuburan fisik lahan sawah.

       Banyak lahan sudah mulai sakit yang menurut BBSDLP sudah mencapai 70 persen karena bahan organik yang berkurang khususnya unsur C dalam tanah. Alih fungsi lahan dan degradasi lahan ini terutama akan mengancam ketahanan pangan karena selain lahan  tempat menghasilkan tanaman juga peternakan  dapat terganggu yang menghasilkan pangan hewani asal ternak seperti daging dan susu.

       Alih fungsi untuk berbagai fasilitas publik juga akan diikuti pula dengan arus urbanisasi yang tinggi  semakin mempercepat laju konversi, apalagi lahan senantiasa tetap, tetapi penduduk semakin bertambah menyebabkan orang yang lapar tanah makin meningkat. Pada akhirnya dapat mengancam ketahanan pangan bangsa ini.

Defisit Neraca Perdagangan

      Selama lima tahun terakhir, yaitu 2014-2019 neraca perdagangan pertanian ditolong oleh subsektor perkebunan yang tumbuh positif menjadikan neraca sektor pertanian surplus. Tetapi, dari segi nilai ekspor pertanian merosot, yaitu dari 31,03 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 28,04 miliar AS. Subsektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan masih belum dapat diandalkan dalam perolehan devisa dalam artian nilai impornya masih lebih besar dari ekspornya. Ini menyebabkan pertanian kita masih tergolong net importer atau gemar impor ketimbang ekspor.

         Sawit yang merupakan andalan ekspor kita masih perlu digenjot, misalnya minyak sawit crude palm oil (CPO) dan turunannya, oleochemical  dan biodiesel. Hambatan ekspor minyak sawit ini ternyata dihambat pula oleh berbagai regulasi negara tujuan ekspor, seperti India yang mengenakan tarif lebih tinggi untuk refined product. Belum lagi negara-negara Uni Eropa dengan isu pemanasan globalnya, sehingga sawit kita dianggap merusak lingkungan hidup dan  lingkungan global. Perlu diingat pula perang dagang Cina dan AS akan berpengaruh. Walaupun perang dagang ini berdampak negatif bagi Indonesia tetapi dampak positifnya diharapkan terjadi, yaitu pembelian kedelai AS oleh Cina yang berkurang dan China akan menggantinya dengan minyak sawit. Kita tunggu saja.

       Tetapi, apapun yang akan terjadi, selama lima tahun ke depan pertanian kita tetap masih menghadapi tantangan besarnya, yaitu nilai impor yang besar mengakibatkan nilai neraca perdagangan defisit terutama untuk peternakan, hortikultura dan tanaman pangan. Pada saat yang bersamaan kita sudah digolongkan sebagai negara the wheat great importer di dunia mengalahkan Mesir.

         Impor gandum kita sudah mencapai angka 11 juta ton hingga 12 juta ton dengan nilai Rp 37,1 triliun (Tahun 2018, data dari Assosiasi Tepung Terigu Indonesia) yang sekaligus berarti perut kita menjadi keeropa-eropaan makan roti, mie instant dan berbagai penganan yang berbasis gandum impor. Jadi, diversifikasi pangan non beras menjadi salah kaprah, yaitu pangan gandum yang impor. Diversifikasi pangan non beras yang seharusnya diganti pangan lokal seperti umb-umbian, sagu, jemawut belum berjalan. Malahan harganya menjadi lebih mahal dari beras dan gandum karena infrastrukturnya belum ditangani dari hulu sampai hilir. Ini tantangan bagi Menteri Pertanian baru.

Nilai Tukar Petani Tak Pernah Mencapai Sasaran

        Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan satu di antara beberapa indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayarnya. Walaupun NTP ini bukan merupakan alat satu-satunya untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, tetapi alat ini masih dianggap relevan untuk melihat seberapa jauh tingkat daya beli petani terhadap penerimaannya, sehingga dalam Rencana Strategis Kementan tetap dicantumkan. Selama kurun waktu 2015-2019 sasaran NTP berkisar antara 102,00 dan 104,56 yang berarti tingkat penerimaannya semakin membesar dari tingkat pengeluarannya karena indeks NTP 100 merupakan titik impas antara penerimaan dan pengeluaran. Realisasinya selama empat tahun terakhir Indeks NTP tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan, walaupun terjadi fluktuasi peningkatan.

      Pada 2015 yang ditargetkan 102,00 tercapai 101,59, pada 2016 tercapai 101,65 dari target 102,72. Untuk 2017 capaiannya malah turun dari tahun sebelumnya, yaitu 101,27 yang menyebabkan semakin jauh dari sasarannya sebesar 103,38. Pada 2018 nilai rata-rata capaiannya 102,46, sedangkan targetnya adalah 103,99 dan pada 2019, yaitu di tahun akhir pemerintahan I Jokowi- Kalla lagi-lagi tak mencapai target, yaitu hanya mencapai 102,75 ( Agustus 2019) dari target 103,99.

     Pencapaian NTP selama empat tahun pelaksanaan pembangunan pertanian tidak pernah mencapai target. Penyebabnya antara lain tingkat inflasi yang menggerus harga-harga  komoditas pertanian, sehingga mempengaruhi indeks harga baik yang diterima petani yang nilainya menjadi relatif turun dan pengeluaran yang semakin membesar. Walaupun pada 2017 inflasi pangan diklaim terendah, yaitu 1,26 yang pertama kalinya terjadi. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya kembali normal sekitar 4 persen hingga 5 persen atau masih satu digit.

        NTP yang belum tercapai sesuai target ini tentu akan merisaukan pemerintah dan kita  karena kesejahteraan petani merupakan visi Kementerian Pertanian. Apalah artinya peningkatan produksi, tetapi disertai dengan impor pangan yang tinggi di tengah alih fungsi lahan pertanian yang terus mengintai  terus terjadi diiringi pula dengan krisis ketenagakerjaan petani yang akhirnya tidak meningkatkan taraf hidup petani.

       Memang ada keyakinan bahwa Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo selaku komandan pembangunan pertanian yang baru mampu membenahi satu persatu masalah nyata yang tampak menghadang di depan mata Sang Menteri. Pembenahan data itu mutlak penting untuk penetapan kebijakan. Pembentukan Komando Srategis Teknis Pertanianpo (Konstra Tani) di setiap kecamatan itu merupakan langkah strategis untuk menyatukan gerak langkah, tetapi mengabaikan masalah makro pertanian itu juga akan menyebabkan pertanian tetap terbelit masalah klasiknya. Sesuatu yang tidak kita harapkan. Selamat bekerja dan siapkan diri Komandan !!  *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang