Satu Jam Bersama Kepala Bappeda Kabupaten Sambas “Penyuluh Kurang, Tetapi Kami Mampu”
Saturday, 11th June, 2016 | 770 Views

DI tengah kekurangan atau pergumulan hidup senantiasa ada hikmah. Selalu ada jalan keluar mengatasi rintangan dan tentu membawa hasil yang nyata. Itulah pegangan masyarakat dan aparatur pemerintahan di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).

Dalam satu dasawarsa terakhir ini Kabupaten Sambas yang berpenduduk 600.000 jiwa merupakan pemasok padi sekaligus sentra pangan di Kalimantan Barat. Luas panen di daerah ini mencapai 100.000 hektare (ha) atau luas tanam sekitar 95.000 ha. Dari angka tersebut terlihat bahwa, kontribusi produksi padi Kabupaten Sambas untuk pangan di Kalimantan Barat mencapai sekitar 25 persen. Produksi panen padi di daerah ini rata-rata mencapai 3,2 ton per ha.

Selain hasil padi yang tinggi, Kabupaten Sambas juga merupakan sentra kedelai. Luas tanam existing (yang ada) saat ini mencapai sekitar 5.000 ha dengan produktivitas 1,8 ton per ha. Peluang itu dicapai dengan kerja keras dan mengadakan penangkaran benih kedelai sendiri, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan setempat.

Demikian keterangan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sambas Ir Daryanto,MT kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di Pontianak, Kalbar, belum lama berselang.

Menurut Daryanto, hasil panen yang mencapai 3.2 ton per ha itu didapat dari hasil kerja keras semua pihak yang saling melengkapi dan mendukung. Kalau melihat kondisi tanah yang rata-rata rawa, maka dengan keadaan tanah yang seperti ini kami sangat memerlukan perlakuan khusus untuk menanam padi ini. Sebab, produktivitas dari panen yang dihasilkan pasti akan rendah karena ph tanah rendah sementara tingkat keasamannya sangat tinggi.

Walaupun demikian, Daryanto menambahkan, di daerah itu ada juga yang bisa memanen padi mereka sampai 9 ton per ha. Bahkan ada pula yang mendapat 6 ton per ha. Jadi, walaupun alam itu bisa dikelola dengan baik  harus dilengkapi semua kebutuhan agar bisa mendatangkan keuntungan. Misalnya, kesiapan sumber daya manusia, alat mesin pertanian yang sesuai, pemupukan tepat waktu dan ketersediaan benih serta teknologi yang mengiringinya. Hal yang juga penting adalah penyuluh yang akan mengajarkan kepada semua petani cara bertani yang baik dan benar.

“Tetapi, kendala yang kami hadapi saat ini adalah ketersediaan tenaga penyuluh di setiap desa. Idealnya setiap desa ada satu penyuluh, namun kenyataannya tidak seperti itu karena  kadangkala untuk tiga desa dipegang seorang penyuluh. Kami mengatasinya dengan mengambil Tenaga harian lepas (THL) dan kami mampu,” ungkap Daryanto yang juga mantan Kepala Dinas Pertanian Sambas.

Terminologi Rawan Pangan

Kepala Bappeda Kabupaten Samabas mengungkapkan bahwa Indek Pembangunan Desa (IPD) merupakan ukuran keberhasilan di desa yang dirumuskan direncanakan oleh pihak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Untuk suatu desa istilahnya desa mandiri atau desa berkembang, desa tertinggal dan termasuk juga  perencanaan itu dengan desa yang rawan pangan.

Penilaian terhadap satu wilayah disebut rawan pangan  bukan hanya produksi beras dengan perbandingan konsumsi berasnya. Ada 9 kategori atau indicator yang terkait dengan itu, seperti akses untuk puskesmas, akses untuk menerima air bersih, akses untuk menerima listrik atau penerangan, akses jalan atau transportasi dan ketersediaan pangan.

Lebih jauh Daryanto mengatakan bahwa penilaian bahwa sebuah wilayah itu disebut daerah rawan pangan bukan hanya karena produksi tidak mencukupi konsumsi namun mencakup sembilan kategori di atas tadi.  Untuk Kabupaten Sambas yang meliputi 19 kecamatan hanya dua kecamatan yang minus karena produksinya tidak mencukupi jumlah konsumsi. Itu pun  merupakan wilayah di dalam kota karena area atau lahan  pertanian mereka sangat sempit, sehingga tidak mencukupi jumlah kunsumsi mereka. Satu di antaranya adalah Kecamamtan Sajingan.

Keterbatasan Anggaran

Dalam menghadapi kerawanan pangan pihak Kabupaten Sambas terkendala dengan keterbatasan dana. Untuk 2016 ini Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kabupaten Sambas hanya sebesar 1,6 triliun rupiah, di mana sebelumnya (2015) baru 1.3 triliun rupiah. Dari APBD 2016 itu sekitar 57 persen dipakai untuk belanja tidak langsung dan sisanya untuk belanja langsung.

“Ini berarti belanja bagi pegawai negerinya lebih banyak terpakai dari pada belanja untuk kepentingan pablik, seperti belanja proyek, pembiayaan infrastruktur serta pembelanjaan program dan lain-lainnya,” demikian Daryanto.

Menjawab pertanyaan sejauh mana masyarakat terpencil di perbatasan kehadiran pemerintah, dikatakan bahwa masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Sambas merasa senang atas perhatian Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) untuk mendorong pemerataan pembangunan.

Memang sasarannya lebih untuk daerah tertinggal dan daerah perbatasan. Ini tentu sangat baik agar dalam membangun kawasan semua sektor bisa masuk, pengelolaan kawasan tertinggal yang masuk ke daerah Sambas berangsur bisa diselesaikan. Misalnya, perbaikan jalan desa, bantun kepada kelompok tani berupa ternak dan alat mesin pertanian berupa traktor tangan serta mesin gilingan padi. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang