Balitbangtan Dorong Program Hilirisasi Karya Ilmuwan Dengan Menggandeng Industri
Monday, 10th April, 2017 | 729 Views

Pengantar Redaksi:

PARA pemikir dari beragam disiplin lmu di seluruh dunia teramat sering berujar bahwa pangan adalah pertahanan suatu Negara berdaulat. Kedaulatan pangan adalah kedaulatan Negara atau ketahanan pangan adalah ketahanan Negara karena pangan hancur (langka) Negara hancur. Ikhwal hal itu gaung temuan para ilmuwan sektor pertanian Indonesia tidak terdengar membahana dari timur ke barat dari selatan ke utara bumi persada. Kendati demikian, ternyata—ya perlu diakui—temuan ilmuwan pangan kini sudah dekat dengan industri nasional. Lalu ada aspirasi untuk mengapresiasi para ilmuwan kita agar temuan itu dicantumkan dalam label atau kemasan pangan yang bersumber dari invensi para pemulia, perekayasan tanaman atau perangkat lain agar kelak di mudah dicaplok bangsa atau Negara lain. Belum lama berselang Wartawan Media Pertanian online www.sembadapangan.com Henry Supardi S. dan Fitria Rorita mewawancarai Kepala Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian (BPATP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian  Dr Ir Retno Sri Hartati Mulyandari, MSi di kantornya di Bogor, Jawa Barat. Soal apa dan bagaimana kiprah ilmuwan saat ini, berikut tuturannya. (Simak juga berita terkait di menu BERITA UTAMA Dr Ir Retno: “Dengan Menjaga Integritas Dan Bekerja Maksimal Target Kami Terwujud.”)

Selama ini secara umum bisa dikatakan bahwa para ilmuwan kita termasuk di sektor pertanian hanya menyimpan karyanya di lemari. Sejauh ini adakah temuan ilmuwan kita yang bermanfaat bagi masyarakat?

 Oh? Tidak benar karya imuwan kita hanya ditaruh di lemari.

Kalau begitu?

Banyak produk pengembangan yang telah dihasilkan oleh para peneliti dan perekayasa. Banyak juga yang sudah dipakai industri atau perusahaan. Artinya, pengakuan sudah ada. Sudah besar.

Bisa diberi bukti contoh?

Nanti lihat dan buktikan sendiri. Memang banyak yang belum dipatenkan dan didaftarkan ke Direktorat Jeneral Hak Kekayaan Intelektual di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Nah, itu tugas kami di sini sesai dengan  hierarki kelembagaan. Kami bertugas mendaftarkan hasil karya dari para peneliti dan perekayasa yang telah terdata untuk memperoleh hak.

Nah, itu. Masih terkait dengan pertanyaan di atas. Untuk apa hak itu? Atau apa setelah itu?

Untuk penghargaan. Untuk royalti apabila telah dipakai oleh pihak lain baik berupa lisensi maupun dipatenkan.

Kalau demikian, lembaga ini telah berbuat apa terhadap karya yang sesungguhnya bermafaat itu?

Ya, itu tadi. Selanjutnya kami menghubungkan dengan end-user, di mana pihak end-user atau pengguna—pemakai—berupa korporasi atau industri bisa menjadi mitra untuk membuat produk yang bisa dipakai masyarakat. Untuk dikomersilkan. Pihak swasta maupun badan usaha milik Negara berhak untuk itu. Namun, ada pula pola, di mana pihak mitra tidak perlu dikenakan biaya atau komersialisasi.

Apa pula itu?

Artinya, mereka membayar  fee nol persen. Royalti tidak perlu dibayar. Namun, harus melewati beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar mitra kita ini tidak dikenakan royalti itu. Contoh, lembaga milik pemerintah, seperti dinas pertanian karena tidak profit oriented. Kalau seandainya mitra kami itu berorientasi keuntungan atau komersil, maka akan berlaku fee untuk royalti walaupun kecil. Memang itu syaratnya. Kecil saja. Hanya 2,5 persen dari total keuntungan perusahaan pemakai setiap tahun. Contohnya dalam hal paten. Bisa juga terkait dengan merek dari karya peneliti kita. Jadi, pola pola pengenaa fee bisa melalui lisensi.

Bagian penemu, apa?

Ya, royalti sebesar 2,5 persen itu akan kembali kepada penemu atau ilmuwan kita yang memiliki hak paten tersebut. Misal, keuntuangan bersih setelah pajak  perusahaan X pemakai hak paten itu adalah 20 miliar rupiah, maka 2,5 persen dari itu adalah 500 juta rupiah. Sebanyak 40 persen dari 500 juta rupiah itu atau 200 juta rupiah adalah hak peneliti atau penemu yang memegang patennya. Kemudian 40 persen atau 200 juta rupiah hak dari lembaga atau instansi peneliti itu dan sisa 20 persen adalah untuk lembaga kami BPATP sebagai pengelola informasi alih tekologi dan hilirisasi temuan para ilmuwan tersebut.

Mengapa kecil untuk peneliti atau penemu?

Ya, itu peraturan yang ada. Dan karena menerapkan sistem non eksklusif, maka hanya 2,5 persen dari keuntungan bersih perusahaan yang memakai hak paten ilmuwan. Untuk lembaga BPATP memang untuk membiayai perawatan (maintenance) paten, pendaftaran paten termasuk menyebarkannya dan pemeliharaan paten setiap tahun. Artinya, kalau inventor (penemu, ilmuwan) yang akan mendaftarkan patennya harus menguasakan terlebih dahulu ke BPATP untuk mendaftarkan ke lembaga terkait. Paten sederhana berlaku 10 tahun dan paten biasa berlaku 20 tahun lalu diperpanjang. Kemudian biaya pemeliharaannya akan ditagih via invoice oleh pihak Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia sekali setahun.

Berapa paten yang sudah ada hingga kini?

Per Maret 2017  ini pendaftaranya untuk paten sudah 274.  Sertifikat paten yang sudah keluar 112. Lalu pendaftaran hak cipta 125 dan yang sudah keluar sertifikatnya 119.

Bukankah ngurus-ngurus itu sangat lama?

Ah, tidak. Tidak lagi. Memang kalau dulu untuk mengurus hak paten butuh waktu sekitar 5 tahun, tetapi sekarang sudah lebih cepat. Tentu kami very happy-lah. Kami sangat senang. Kalau inventor atau penemu aktif, waktunya sudah bisa lebih singkat mulai dari pengumpulan data, sinkronisasi hingga pendaftaran dan proses memperoleh sertifikat sudah lebih singkat. Ini satu terobosan yang dilakukan oleh lembaga BPATP ini. Kami memfasiltisi asisten ke Kementerian Hukum dan hak Azasi Manusia untuk proses percepatan sertifikasi.

Apa yang lain yang diperlukan untuk itu?

Kami melakukan pendekatan dan sosialisasi dengan semua pihak. Kami bergerak dinamis. Kami juga melakukan pendampingan kepada para ilmuwan untuk membuat draf paten. Kami telah plot hal itu tiga kali dalam setahun pada 2017 ini. Bahkan menerima pendampingan di lokasi di mana imuwan atau inventor berada. Misalnya, di lokasi balai penelitian mereka. Contoh di Balai Besar Penelitian Padi (BBPP) Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Atau di Balai Penelitian Aneka Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) di Malang, Jawa Timur.

Itu hal barukah?

Ya. Betul. Akhirnya kami memerlukan tim mediasi. Jadi, di BPATP sudah ada tim mediasi.

Biayanya pasti besar. Darimana uangnya?

Betul. Biaya besar. Tetapi, hal itu tidak masalah. Kami butuh penetrasi atau terobosan untuk percepatan semua hasil temuan peneliti agar mendapat paten dan juga perlindungan hak kekayaan intelektual dan hal lain yang terkait dengan itu.

Berarti sudah ada feed-back di kuartal pertama ini?

Ya. Dari yang diajukan hingga Maret 2017 ini sebanyak 22 hanya satu yang gagal. Itupun bisa segera diajukan dalam waktu dekat setelah datanya divalidasi. Sebanyak 98 persen gol. Ah, so surprise. So nice. Proses sertifikati patennya tidak lama lagi keluar. Saya puas. Dan semua pihak termasuk di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berkomitmen mendorong percepatan proses. Bahkan kini sudah bisa diurus secara elektronik atau on-line. Ini patut disyukuri.

Baiklah. Tetapi, bisa dielaborasi apa bedanya paten sederhana dan paten canggih atau tidak sederhana?

Untuk paten yang sederhana pengurusannya dalam satu tahun. Sertifikatnya bisa keluar dalam satu tahun. Temuan sederhana adalah tidak memerlukan waktu yang panjang. Dan teorinya tidak panjang dan tidak mendalam. Kalau temuan canggih atau tidak sederhana, memerlukan rumus dan teori yang lama. Misalnya, untuk varietas tanaman tertentu perlu teori dan paparan rumit. Untuk sertifikat semua itu dikenal paten, perlindungan varietas tanaman (PVT), merek dan hak cipta. Dari berbagai temuan itu ada yang bisa dilisensikan ada pula yang tidak bisa diberi lisensi. Ada yang dikerjasamakan melalui model royalti.

Secara nasional apa keuntungan kita?

Setelah kami dalami ternyata dari balai penelitian itu banyak pengembangan dan temuan yang bisa dipatenkan. Dan itu luar biasa. Dari industri di pertanian saja bisa menghasilkan sepuluh komponen teknologi yang di antaranya bisa kita didaftarkan untuk mendapat hak kekayaan intelektual. Kini seluruh kegiatan pertanian di industri yang merupakan bagian dari kegiatan in-house oleh Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP)  di 33 provinsi. Betapa besarnya potensi kekayaan intelektual yang dimiliki oleh Balitbang Pertanian. Itu keuntungan kita ke depan. Ini semua harus diorganisir untuk mendapatkan paten, hak kekayaan maupun lisensi.

Bagaimana soal varietas yang telah dipakai secara komersil oleh industri? Apa pendapatnya atas aspirasi agar di kemasan tercantum varietas unggul temuan Balitbang Pertanian agar tidak diakui oleh Negara lain?

Saya setuju itu. Pencantuman varietas di kemasan merek dagang perlu. Perlu juga dikaji itu. Kami berterima kasih atas ide ini. Kami appeal Komisi IV DPR yang membidangi pangan proaktif mengkaji pencantuman varietas di kemasan atau label, sehingga ke depan tidak ada lagi Negara lain mengakui varietas milik kita sebagai milik Negara mereka. Saya setuju. Ilmuwan setuju. Silakan digalang.

Terakhir, tolong beri satu di antara sekian temuan besar peneliti pertanian yang sudah dikomersilkan korporasi.

Aah. Kalau begitu jangan satu. Sepuluh atau seratus saja?

Satu saja cukup. Ya, satu sebagai contoh.

Ya. Manggis. Manggis gracia yang besar-besaran iklannya di radio, koran, majalah dan televisi adalah temuan ilmuwan di sektor pertanian kita. Itu sudah dipatenkan. Sebetulnya masih ada puluhan yang besar dan bermanfaat lain. Tetapi, karena minta hanya satu, ya satu itu dululah.   *sembada  

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang