Pabrik Susu Kedelai MDL 525 Ingin Bangkit Lagi, Tapi Mutu Kedelai Petani Buruk
Sunday, 26th November, 2017 | 2259 Views

“KALAU BERBICARA KEBUTUHAN kedelai untuk pabrik susu Mandala, kami jadi berbicara masalalu, pada tahun 2007 dan 2008 itu merupakan puncak kejayaan dari pabrik susu kedelai ini, di mana kami membutuhkan bahan dasar biji kedelai setiap bulannya 30 sampai 40 ton. Kami mamakai kedelai dari petani. Kini ilmu dan pengetahuan petani kita tidak berkembang. Bahkan merosot, semberono saat memanen dan gegabah saat penjemuran. Belum kering betul sudah dijual, padahal konsumen menuntut mutu serta keamanan produk pada kesehatan.”

Hal itu diungkapkan oleh Manajer Operasi CV Intan Alami Suryadi kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di kantornya di Garut, Jawa Barat. Kepada Suryadi—biasa dipanggil Yadi—ditanyakan dengan kondisi pabrik susu kedelai yang dikenal dengan merek MDL-525 atau Mandala 525 dan pasokan kedelainya didapat dari petani Kabupaten Garut dan sekitarnya. Dan ikhwal kedelai petani itu berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mendorong petani menanam kedelai di Indonesia yang dipastikan dari kedelai non GMO dibandingkan dengan kedelai impor yang genetical modified organism (GMO), yaitu hasil rekayasa genetika yang masih diperdebatkan tingkat keamanannya pada kesehatan manusia.

Menurut Yadi, pada 2009 permintaan pasar untuk susu kedelai ini menurun drastis ditambah promosi susu kedelai MDL-525 terhadap konsumen yang tidak ada. Akibatnya semakin sedikitlah permintaan terhadap susu kedelai produksi MDL. Selain itu juga karena faktor ketidaktahuan kenalan konsumen terhadap produk MDL 525 walaupun terbuat dari kedelai yang dipastikan non GMO karena dari petani Kabupaten Garut dan sekitarnya.

“Bayangkan pada 2007 itu kami memiliki karyawan 150 orang untuk melayani seluruh sistem yang ada di pabrik ini. Namun, dua tahun berselang karena tidak mampu bersaing dalam pemasaran, produksi pabrik susu ini menurun, sehingga kami hanya mempekerjakan karyawan 35 orang dan sisanya terpaksa dirumahkan,” Yadi bercerita.

Dia menambahkan pemasaran produk susu kedelai mandala itu hanya untuk pangsa pasar dalam negeri. Pada 2016 pihak CV Intan Alami yang mengelola pabrik itu berupaya merintis ulang agar pabrik susu kedelai ini berjalan lagi seperti masa lalu dan bahan bakunya tetap dari petani atau bukan impor yang jenis GMO itu.

“Setelah  satu tahun berjuang pabrik kami dihantam banjir bandang yang sangat besar, sehingga dua pertiga dari bangunan pabrik ini porak poranda termasuk mesin-mesih produksi tidak bisa direparasi. Kami sangat terpukul. Tetapi, kami berusaha bangkit. Walaupun pelan tapi pasti istilahnya dengan terseok-seok. Pada 2017 ini kami mulai memproduksi susu kedelai lagi dengan skala yang sangat kecil, yaitu  hanya mengolah bahan baku kedelai sebanyak 6 ton per bulan. Pasarnya dicoba lagi ke wilayah Sumatera, Bali dan Kota Jakarta serta Surabaya,” katanya.

Terakhir Mengolah Kedelai 20 Ton

Dengan mimik prihatin tetapi terbersit semangat, Yadi bertutur bahwa selama beberapa tahun pernah mengolah kedelai 40 ton per bulan, tetapi ketika terahkir beroperasi pada 2011 masih sanggup memproduksi sekitar 20 ton kedelai setiap bulannya. Namun, pada 2012  hampir tidak beroperasi lagi karena tidak mampu bersaing dengan produsen lain. Sejak 2016 pihak manajemen mengganti nama produksi susu kedelai menjadi dari MDL 525 menjadi MANDALA 525.

“Perubahan nama tersebut tidak secerah harapan pihak pengelola, sebab merek susu kedelai yang baru menjadi Mandala 525 negatif saja terhadap pemasaran. Artinya, pasar susu kami itu tidak berkembang. Nah, menyangkut nama baru merek itu saya tidak berwenang menjawab karena hal itu adalah otoritas pemilik perusahaan. Mungkin perlu kajian mendalam tentang itu,” kata Yadi sembari menambahkan bahwa secara pribadi dia berharap pabrik susu kedelai itu bisa bangkit dengan produksi lebih besar lagi dan dengan pola pemasaran yang mempu berkompetsi dengan produk lain sejenis. Dasi sisi produk, Mandala 525 itu jauh lebih unggul karena memakai bahan baku kedelai non GMO atau dari petani dalam negeri.

Namun, kata Yadi lebih sajuh bahwa untuk saat ini pihaknya sudah memakai kedelai impor yang GMO tersebut. Soalnya, mutu kedelai  lokal makin buruk, di mana tingkat kekeringannya kurang. Kalau mamakai kedelai petani ketika mulai digiling untuk menghasilkan pruduk susu akan menggulung dan menggumpal di dalam mesin. Hal seperti ini tidak bisa diproses dalam membuat susu kedelai. Berbeda dengan kedelai impor yang kekeringannya bagus, ketika diproses menjadi susu sangat bagus keluarnya dan langsung menghasilkan pati.

“Kami ingin memakai kedelai non GMO dari petani kita, tetapi petani kita ceroboh. Kedelai belum waktunya dipanen sudah ditabas atau dicabut. Kalaupun sudah masanya dipanen, pengeringan tidak sempurna sudah dijual, padahal mutunya masih bisa dipertahankan kalau dijemur sampai kering. Saya tidak tahu mengapa demikian, apakah tidak ada penyuluhan dari pemerintah kepada petani. Ilmu atau pengetahuan petani kita tidak bertambah, padahal zaman telah berubah jauh dan konsumen menuntut mutu serta aman untuk kesehatan,” kata Yadi.

Dia juga mengatakan bahwa kalau nanti kedelai impor ditutup oleh pemerintah, pihaknya bersedia menggambil produksi petani atau istilahnya kedelai lokal dengan catatan harus kering dan bersih serta besar dan kecilnya kedelai itu harus sama. Kalau kecil ya kecil semua dalam kemasan jumlah tertentu. Kalau besar besar semua, sehingga mudah diolah dan tidak terbuang. Kalau dicampur pasti banyak yang terbuang. Ini harus diketahui petani. Atau petani harus sadar hal ini. Tingkat kekeringan kedelai yang baik untuk diolah menjadi susu adalah 12 persen. Ini tidak bisa ditawar. *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang