Ketika Menteri Desa Jumpa Pemuda Kota di Suatu Desa
Monday, 26th September, 2016 | 686 Views

LELAKI tegap dan riang itu meminta polisi dan pengemudi mobilnya tiba-tiba berhenti sehabis menikung di jalan berkelok-kelok dan menanjak ketika hujan deras nan lebat. Ada apa gerangan? Rombongan yang menyertai lelaki tersebut bertanya sejenak. Rasa ingin tahu dalam tanya belum terjawab, sekelebat lelaki itu setengah berlari menuju satu warung di samping masjid. Dia menghampiri seorang perempuan baya. Ternyata…..!! Ternyata, ia bukan sanak sedhulur lelaki berkacamata itu.

Dan kenyataannya perempuan dan lelaki itu baru berkenalan detik itu di kala hujan masih ruah dari langit. Desa itu keseharian sudah dingin kendati bukan karena hujan. Itulah Desa Beran, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Siapa lelaki itu? Namanya Eko Putro Sanjoyo. Kini dia menjadi menteri. Nah, tentu bukan karena dia kini menjadi Menteri Desa atau tepatnya Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ikhlas mampir situ.

Eko Putro Sanjoyo memang peduli—lantaran tugasnya—pada badan usaha milik desa (BUMDes) yang sekelebat ditatapnya hanya dari jarak 30 meter dengan kaca mobil yang suram diterpa hujan deras dan bayu yang bertiup kencang. Dia harus membangun dan mengembangkan badan usaha milik desa yang bernapaskan nawa cita Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Delapan menit menteri di warung yang berstatus BUM Desa itu. Dia menyimak isi warung tersebut dan tatapannya “menyapu” seluruh isinya penasaran ingin tahu kenapa dipilih sebagai BUM Desa. Menteri Eko Putro terlihat kurang puas walau senang berkesempatan masuk di warung yang menyediakan makan olahan pabrik raksasa itu. Bukan olahan tangan orang desa atau alat mesin sederhana tepat guna.

Eko Putro beranjak dengan langkah ringan—namun agak cepat menghindari kuyup hujan—mengarah ke warung panganan. Beragam makanan ala “ndeso” tersedia di situ. Sekadar menyebut, seperti bakwan, gorengan telo (ubi kayu=Manihot utilissima), ada mbakso dan dawet. Banyak yang lain. Bahkan…, ini dia, ada soto daging yang lezat beraroma mencuri selera.

Eko Putro Sanjoyo memilih mencicipi, ah bukan…, menteri justru menyantap mbakwan. Enaaak, katanya setelah melahapnya. Menteri itu berucap tidak basa-basi ala orang munafik. Dia juga meminum kopi yang berasal dari kawasan itu. Tak lama kemudian dia memesan karedok “berlaukkan” kerupuk, olahan rakyat desa yang sesungguhnya telah masuk kota. Bahkan sampai ke kota metropolitan.

Tak Tahu Kalau Menteri

Hitungan kurang semenit Adi Putro Sanjoya bergegas meninggalkan stafnya seolah menuju mobil untuk pergi. Wooou tidak. Dia mengampiri dua pemuda—satu gemuk satu kurus—yang sedang berteduh sembari minum teh di warung itu. Memang ada enam warung di sana karena tempat itu ternyata dikenal dengan sebutan ala kota Rest Area Sinendo yang konon masakannya enak. Ada beberapa petani yang sedang makan soto, tetapi menteri memilih duduk bersebelahan dan berhadapan dengan kedua pemuda yang bajunya agak basah.

“Apa komoditas di desa ini?” tanya menteri dan dilanjutkan lagi “adakah pasar desa di sini?”

Sembari menunggu jawaban yang membuat pemuda itu agak “bingung” lantaran tiba-tiba ada lelaki ganteng dan ramah menyalami mereka, pesanan seporsi karedok muncul terhidang di hadapannya. Dan, kedua pemuda itu memberi jawab yang tak memuaskan lantaran mereka memang bukan dari desa itu. Mereka “perantau” yang sama dengan menteri dan rombongannya.

Satu porsi penuh karedok dilahap. Masih ada dialog menteri dengan kedua pemuda tersebut. Berasal dari mana. Sudah kerja atau masih kuliah atau wiraswasta? Ternyata satu pemuda itu lulusan S-1 jurusan bahasa Inggris yang belum bisa bahasa Inggris dan satu lagi lulusan D-1 administrasi Negara yang akan mencari kerja ke Batam, Provinsi Riau Kepulauan.

“Kenapa tidak membangun desa? Kan saat ini desa sudah dibiayai Pemerintahan Presiden Joko Widodo? Pernah dengar dana desa?”

“Tidak di desa, pak. Di desa hidup susah, sayang ilmunya nanti. Kalau tentang dana desa sering dengar di media elektronik dan baca di koran, tetapi ingin kerja di perusahaan atau di pemerintahan,” jawab mereka hampir senada. Pemuda kurus itu bernama Aziz lulusan D-1 dari Tangerang, Provinsi Banten dan yang gemuk Irvan lulusan perguruan tinggi di Semarang, Jawa Tengah.

“Bisa bahasa Inggris?” tanya menteri kepada pemuda gemuk.

“Wah…, gimana ya? Sedikit-sedikit, pak!” ujarnya.

“Lha, kamu lulusan bahasa Inggris tidak bisa bahasa Inggris, bagaimana?” kejar menteri sembari mengeluh “masa pemuda zaman sekarang tidak bisa bahasa internasional. Akan jadi apa di tengah kometisi antarbangsa saat ini? Belum lagi persaingan sumber daya manusia atau SDM di regional ASEAN atau Association of South Asia Nations, bagaimana kamu?”

“Iya, ya gimana ya, pak?” ujar Irvan

“Malah tanya saya..?” teringai menteri sembari meminta “coba tanya saya dalam bahasa Inggris, mengapa makan karedok. Apakah saya suka karedok ini?”

“Ehmm, hmmm, gimana. E….ee…! Jadi, grogi saya,” ungkap Irvan

“Bagaimana? Saya ketika remaja saja sudah mampu berbahasa Inggris dan studi saya maju.

“Kamu? Lulusan bahasa Inggris? Pemuda era sekarang? Akan jadi apa? Coba yang tadi?” kejar menteri.

Why do eat karedok, sir? Do you like it?” kata Irvan.

Oh, yes. I want it. And I like this karedok very much, and you..? kata menteri.

“Ah hahaha hhaa,” tanpa malu dan segan Irvan menyeringai. Bahkan dia tidak menjawab.

“Ah, saya harus berangkat, acara saya sudah akan berlangsung. Saya harus pergi” seru Eko Putro Sanjoyo sembari berdiri dan membayar makanannya dan minuman kedua pemuda itu.

“Sini, ayo foto dulu,” minta menteri kepada Azis dan Irvan yang sangat senang berkenalan dan bertemu dengan menteri.

“Kalian berdua foto selfy juga bisa agar ada memorial kalian. Buka handphone-mu,” ujar menteri kepada Aziz dan dituruti sambil berpesan: “Kalian yang maju ya, jangan malas. Asah dirimu agar bisa bersaing dengan bangsa lain.”

Seusai berfoto menteri berjalan cepat ke mobil karena hujan masih bertaburan. Jarak yang akan ditempuh dari Desa Beran ke acara di Desa Perbowo, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo masih sekitar 20 kilometer. Butuh waktu 10 menitan. Di sana sudah sabar menanti Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Agung Ngurah Puspayoga, Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sujatmiko dan Bupati Wonosobo Eko Purnomo serta pejabat Bank Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) dan Bank Bank Negara Indonesia (Bank BNI) 1946. Jua sedang menanti anak sekolah serta ratusan petani di kawasan itu yang siap mengelu-elukan dua menteri di desa mereka.

Sebelumnya Azis dan Irvan tidak tahu dan tidak mengenal bahwa lelaki yang mendekat itu adalah menteri. Menteri Desa lagi. Mereka berdua hanya spontan menyambut ala kadarnya sebagaimana orang di kawasan pedesaan yang bersilaturahmi dengan cara orang desa. Dari dialog itu menteri semakin “tahu” kualitas SDM pemuda yang berselera kota. Menteri kecewa, tetapi berbesar jiwa dan berpikir keras memajukan pemuda-pemudi di pedesaan terutama yang tertinggal, terpencil dan terluar-terjauh yang lama “tak tergapai” pembangunan. Prihatin memang.

Sedikit beda dengan para pemuda-pemudi yang menyambut Menteri Desa Eko Putro Sanjoyo di perbatasan Negara Timor Leste dengan Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat itu menteri melakukan kunjungan kerja di sana. Di sanalah pertama setelah menjadi menteri, Eko Putro Sanjoyo memperingati Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2016 yang lalu sekaligus pertama menjadi inspektur upacara dan pertama sekali wilayah perbatasan berjarak dua kilometer itu dikunjungi oleh seorang menteri sejak Indonesia merdeka 71 tahun silam. Pemuda-pemudi di Kabupaten Belu sigap walau sederhana dan mampu berinteraksi dengan bahasa mancanegara. Desa? Memang kenapa? *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang