Kepala Daerah Harus Dipidana, Undang-undang Lahan Pertanian Harus Diubah Agar Pro Petani
Monday, 6th November, 2017 | 674 Views

UNTUK MELINDUNGI PETANI Indonesia dan mempertahankan produksi pangan, pihak legislatif berupaya keras untuk merevisi Undang-undang (UU) No 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan. Tujuan utaanya adalah agar kepala daerah atau siapa saja yang mengubah lahan-lahan pertanian dipidana berat. Sebab, ketahanan pangan adalah ketahanan Negara, sehingga pengubahan lahan pertanian adalah ancaman pada Negara.

“UU tersebut di atas tidak ada sanksi berat yang membuat jera.  Tidak atau belum pro petani. Tidak ada ancaman yang berat. Kalau hanya menurunkan jabatan atau sanksi administratif tidak berguna untuk ketahanan Negara. Harus ada ancaman pidana yang berat, seperti kepada koruptor, teroris atau pelaku coup d e tat. Itu baru efektif. Itu baru pro petani. Jika berbicara tentang petani harus berbicara kebenaran dan keadilan,” kata kandidat doktor agribisnis pertanian Ichsan Firdaus, Anggota Komisi IV Bidang Pangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dia berbicara pada Kuliah Umum Peran Pembangunan Pertanian Dalam Menghasilkan Generasi Muda Mandiri Untuk Regenerasi Petani di Aula Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor, Jawa Barat, bau-baru ini. Hadir pada kuliah umum itu adalah para tenaga edukatif di STPP Bogor, para ketua jurusan dan sekitar 456 mahasiswa-mahasiswi di lingkungan STPP Bogor mulai semester I hingga semester VII. Mereka terdiri dari 186 mahasiswa-mahasiswi jurusan peternakan dan 270 orang jurusan pertanian, sementara mahasiswa-mahasiswi lain sedang melakukan pendampingan di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Lampung.

Dia menyebutkan bahwa para anggota DPR di Komisi IV sudah menyuarakan dan mendorong pembentuk UU agar diberlakukan sanksi berat yang tegas bagi siapapun yang melakukan konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang akan pengembangan dan pembangunan pertaniaan nasional. Sebab, bagaimanapun lahan itu adalah modal untuk memajukan bangsa sendiri.

Terkait dengan hal ini, kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com Ichsan Firdaus mengatakan bahwa dalam upaya revisi itu kini sudah sampai pada Prolegnas pada 2018 mendatang. Tetapi, untuk itu perlu persetujuan pemerintah karena UU itu adalah atas kesepakantan antara pemrintah dengan DPR. Kendati demikian, diharapkan bisa selesai sebelum pemerintahan saat ini berakhir pada Oktober 2019 nanti dan harus segera ada peraturan pemerintah (PP) terkait dengan hal tersebut, sehingga tidak gantung seperti sekarang.

Menurut Ichsan, selain revisi UU itu juga akan dilakukan koreksi atas lahan cetak sawah yang baru, di mana cetak sawah ini harus menghitung bagaimana aliran irigasinya. Sebab, kalau cetak sawah itu tidak dialiri irigasi dengan volume air tertentu untuk luasan hektare tertentu pasti akan bermasalah di kemudian hari. Jadi, harus dihindari pemborosan air karena hal itu juga akan memboroskan anggaran atau pemborosan uang rakyat.

Artinya apa? Ichsan Firdaus menjawab sendiri bahwa setiap ada pencetakan sawah baru leh pemerintah harus ada dipe rsiapkan saluran irigasi, sehingga ada kepastian untuk budidaya dan produksinya. Jadi, artinya produksi itu akan memastikan dorongan untuk ketahanan pangan secara nasional.

Ichsan Firdaus juga mengatakan bahwa jenis sawah sudah beragam, seperti sawah teknis irigasi, sawah tadah hujan, sawah rawa dan sawah pasang surut. Dalam kaitan lainnya, Komisi IV DPR mendapat laproan dari masyarakat bahwa lahan yang merupakan produk dari cetak sawah tidak mempunyai saluran irigasinya, seperti itu akan menjadi ancaman. Bahkan ada laporan bahwa pengembangan lahan yang menjadi program pemerintah yang budgetnya didukung DPR pada beberapa tahun lalu juga bermasalah. Hal itu jangan terulang lagi di tahun mendatang.

“Pemerintah harus berhati-hati. Kami di Komisi IV DPR khawatir hal seperti yang lalu itu terulang. Uang rakyat jangan dihamburkan tanpa ada faedahnya,” katanya seraya menambahkan bahwa untuk 2018 mendatang, Komisi IV DPR telah meminta Kementerian Pertanian mengevaluasi pencetakan sawah baru termasuk memangkas usulan pemerintah mencetak seluas 35.000 hektare (ha) sawah baru menjadi 18.000 ha saja. Pernyataan ini dsambut tepuk tangan meriah membahana dari para mahasiswa-mahasiswi.

 

Intensifikasi Pertanian

Dalam kuliah umum yang dilakukan secara interaktif tersebut Ichsan Firdaus mengatakan bahwa pembangunan cetak sawah tersebut kalau untuk dimaksudkan untuk menggenjot produksi, pihak DPR sebagai mitra pemerintah dalam pengawasan lebih cenderung intensifikasi pertanian. Bukan ekstensifikasi karena diperlukan pendekatan khusus, seperti pengaturan ketersediaan pupuk, benih varietas unggul, teknologi serta penghitungan yang cermat tentang kebutuhan yang diperlukan untuk mendukung ekstensifikasi.

“Kami meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi ini. Misalnya, selama bertahun-tahun persoalan pupuk pada setiap masa tanam selalu bermasalah. Ini harus diperbaiki dan tidak boleh lagi terjadi ke depan ini,” kata Ichsan dan disambut tepuk tangan.

Data Pertanian

Dalam kesempatan tanya jawab yang dipandu dengan mahasiswa-mahasiswi terjadi dialog yang hangat. Pada kesempatan yang dipandu oleh Ketua STPP Bogor Ir Nazaruddin, MM mucul pertanyaan, seperti apakah peani yang salah kalau harga anjlok saat panen atau pemerintah yang tidak peduli atau tidak mampu mengantisipasi? Apakah pemerintah Indonesia tidak bisa meniru jepang yang “rela” membiayai petaninya mengolah lahan yang luas? Mengapa pemerintah hanya memperhatikan kestabilan harga untuk orang-orang kota?

Siapa yang bertanggungjawab atas penyediaan lahan pangan, petani atau pemerintah dan mengapa pemerintah para pakar dan DPR hanya menggembor-gemborkan bahwa lahan petani Indonesia sangat sempit kurang dari sepermpat hektare? Kalau sudah tahu lahan petani sempit sejak puluhan tahun lalu, mengapa pemerintah tidak berbuat?

Mengapa pemerintah termasuk saat ini hanya mengandalkan petani dengan notabene member bantuan ini itu? Bukankah itu justru merendahkan dan menyepelekan petani itu sendiri? Mengapa pedagang yang tidak punya lahan justru sangat kaya dan kaya mendadak dari petani yang berkeringat, tetapi tetap miskin, di mana DPR berpihak? Mengapa pemerintah tidak memerintahkan saja pedagang atau pengusaha yang membuka lahan baru itu, jangan dibebankan kepada petani yang lahannya sempit? Apa ini namanya?

Ichsan Firdaus, Anggota Komis IV DPR RI yang membidangi pangan dan sumber pangan, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutan, Kementerian Pertanian dan Badan Urusan Logistik (Bulog)  itu terkagum-kagum.

“Saya respek. Saya salut kepada adik-adik. Kalian calon petani masa depan. Dukunglah kami di DPR untuk terus mengawasi pemerintah. Untuk terus menggalang kekuatan mendorong pemerintah serius mengurus sektor pertanian dan petani. Agar pemerintah serius mengurus pangan termasuk garam yang kini masih impor justru dari Negara dingin Australia. Mahsiswa-mahasiswi STPP Bogor bersuaralah terus termasuk dalam hal revisi UU No 41/2009 itu. Siap?” teriak Ichsan.

Selanjutnya dia mengatakan bahwa mimpi kita bersama Indonesia harus jadi LUMBUNG PANGAN dunia pada 2045 saat Indonesia merayakan KEMERDEKAAN KE-100. Dan itu harus diwujudkan. Generasi mudalah yang memikul tanggungjawab itu.

“Adik-adiklah yang menjadi petani sebagai regenerasi atau penganti atau penerus petani saat ini dalam milenium ini,” kata Ichsan sembari menambahkan agar data petani, luas areal pertanian untuk tanaman pangan, padi, jagung, ubi dan sayur jelas serta berapa produksi supaya valid. Data itu menjadi jaminan kepastian dan para mahasiswa-mahasiswi STPP Bogor ada di posisi itu. Bagaimana? Bagaimana?

“Kami siaaaaap,” jawab peserta kuliah umum itu dengan sorakan tegas. *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang