Daging Kerbau di Toko Tani Indonesia Diurus Mafia?
Monday, 5th June, 2017 | 738 Views

SELAMA BEBERAPA hari—jelang dan setelah puasa—harga daging kerbau di Toko Tani Indonesia (TTI) yang dikelola oleh Kementerian Pertanian tidak sesuai dengan pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yaitu 60.000 rupiah per kilogram (kg). Dengan alasan menjaga persediaan, pihak TTI “terpaksa” menjual daging kerbau seharga 70.000 rupiah per kg karena dapat “tekanan” dari pihak Badan Urusan Logistik (Bulog).

Hal tersebut dikemukakan oleh Manajer TTI Ir Inti P. Nashwari kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com yang memantau harga dan animo masyarakat mengunjungi TTI di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu belum lama berselang. Hadir pada saat itu Staf Khusus Menteri Pertanian Ir Amir yang bertugas sebagai pengawas TTI.

Menurut Inti, beberapa hari sebelum puasa, memang terjadi kenaikan harga daging kerbau. Kenaikan itu merupakan arahan dan permintaan dari  Bulog sendiri tanpa kesepakatan dari pihak TTI, padahal semestinya segala kenaikan yang ada pada TTI haruslah atas keputusan Kementerian Pertanian.

“Namun,  pihak Bulog bertindak sepihak dengan alasan beberapa hari belakangan ini terjadi kenaikan harga daging kerbau di tingkat importir. Saya sudah tanyakan langsung hal itu kepada pihak Bulog dan jawabannya karena harga impor daging kerbau dari India sudah naik, sehingga perusahaan yang memasok memasok danging ini tidak bisa lagi menjual dengan harga 60.000 rupiah pe kg di tingkat konsumen,” kata Inti Nashwari.

Belum Lapor Kepada Menteri

Ia menambahkan, sebagai kepala atau Manajer TTI, pihaknya telah protes kepada pihak Bulog karena kenaikan itu tidak benar, di mana kenaikan itu belum diketahui oleh Menteri Pertanian Andi Amran sebagai penentu kebijakan.

“Saya memang belum melapor kepada menteri. Saya baru memberitahukan kepada Pelaksana Tugas Badan Ketahanan Pangan yang juga Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura, Kementerian Pertanian Ir Spudnik sebagai penanggungjawab bahwa ada kenaikan sepihak dari pihak Bulog. Dengan alasan tidak bisa menurunkan harga ke tinggal kesepakatan pemerintah di 60.000 rupiah per kg, terpaksa saya menjualnya seperti diinginkan oleh pihak Bulog,” kata Inti Nashwari sembari menoleh kepada Amir, Staf Khusus Menteri seluruh aktivitas di TTI itu. Kemudian di depan Amir, Nashwari menelepon langsung kepada Dimas, Manajer PT Indoguna, importir daging kerbau yang memasoknya ke TTI, dan Dimas hanya menerangkan harga daging yang diimpor perusahaannya sudah naik dan meminta Bulog menaikkannya lalu Bulog menaikkan secara sepihak tanpa konsultasi kepada menteri.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Amir yang sudah berkeliling melihat-lihat penjualan dengan mengatakan bahwa dia belum memberi laporan kepada Menteri Pertanian mengenai kenaikan harga daging kerbau itu. Adapun alasan Amir adalah bahwa dia tidak tahu persis harga daging kerbau sudah naik sebesar 10.000 per kg, padahal sangat jelas terpampang tulisan bahwa harga daging kerbau 70.000 rupiah per kg.

Mafia Daging Masuk

Apa gerangan komentar konsumen? Seorang perempuan mengaku bersama suami mengatakan bahwa “mumpung diserbu pembeli” dan mumpung ada kesempatan telah dimanfaatkan oleh mafia daging yang sudah lama bercokol di Kementerian Pertanian dan juga Bulog.

“Buktinya, kalau bukan mafia daging mengapa berani melawan Menteri Pertanian dan Presiden Joko Widodo yang telah menetapkan harga sebsar 60.000 rupiah pe kg untuk daging kerbau bisa melambung menjadi 70.000 rupiah per kg? Apa namanya kalau bukan mafia di lingkungan sendiri? Bukankah ini kesengajaan permainan Bulog, importir dan Kementerian Pertanian sendiri?” ungkap ibu yang tidak mau disebut namanya karena percuma mengeluh tentang pangan.

“Tetapi dik,” kata suami perempuan itu. “soal harga daging itu memang tak akan pernah selsai kalau banyak pihak mengurusnya. Kalau tokh sudah berstatus toko, mengapa TTI tidak langsung ke importir? Kenapa pakai jalur Bulog lagi yang telah lama jadi sarang mafia. Lihat itu serapan gabah. Mana pernah selesai walau Menteri Pertanian dan Dirut Bulog berdiri sama-sama mengatakan akan diserap? Ah, nonsense. Itu lip service Bulog dan Kementerian-kementerian,” katanya berlalu.

Seorang lelaki mengaku namanya Rahman yang mengantri daging yang bergantian dengan istrinya yang hamil yang sengaja ditunggu sampai selesai antri mengatakan “saya terpaksa beli kaena sudah telanjur antri dan istri saya mengatakan tetap beli karena butuh. Mungkin ini permainan TTI untuk mendapat untung besar dengan menggelapkan harga.”

Boleh Beli Partai Besar

Hal yang aneh ditemui di TTI, di mana konsumen bisa membeli bawang putih, cabai dan bawang merah bahkan beras dalam jumlah atau volume besar. Modusnya,  konsumen lapor ke pengelola di kantor belakang lalu disetujui. Kemudian diberi “faktur” atau semacam nota untuk ditukarkan ke bagian gudang yang berada di tengah bagian belakang TTI dan seterusnya barang bisa dibawa keluar.

“Ya boleh pak beli banyak, tetapi bapak ke kantor belakang dulu minta persetujuan dan “oret-oret” untuk ditukarkan di sini. Nanti, kami keluarkan barangnya sesuai pembelian bapak,” kata lelaki gemuk berseragam cokelat kepada wartawan online www.sembadapangan.com.

Ikhwal kejadian di depan mata petugas, Amir yang menjadi Staf Khusus Menteri dan Inti Pertiwi Nashwari mengatakan tidak ada dan tidak lihat sendiri. Bahkan Nashwari berujar “Permintaan konsumen tidak boleh mengganggu alokasi sembako dan daging di TTI di luar kuota yang ada. Jadi, tidak terjadi salah sasaran seperti dipertanyakan wartawan. Sebab, pihak yang beli banyak itu bisa saja pengelola TTI di tempat lain dan diambil di sini.”

Ia melanjutkan, “Apabila ada pembeli dalam jumlah besar harus ada KTP dan berita acaranya. Pokoknya kalau beli 50 kg tidak boleh, namun untuk sosial boleh,” kilah Inti Pertiwi Nashwari sembari menambahkan dengan suara bergetar bahwa walaupun banyak komoditi di TTI, tetapi tidak boleh ada komoditi yang keluar tanpa prove atau paraf dari Nashwari. Kalau tidak ada paraf tidak bisa keluar.”

Manajer TTI Inti Pertwi Nashwari tidak bisa menjelaskan mengapa TTI masih terlibat Corporate Social Responsibility (CSR) dengan pembelian banyak. Sebab, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa TTI ada hanya untuk menyetabilkan harga kebutuhan pokok yang sering berguncang (fluktuatively) di pasaran. Artinya, misi TTI hanya untuk stabilitas harga bukan untuk membantu fakir miskin atau lembaga lain dengan modus CSR.

Untuk sekadar mengkonfirmasi atas persoalan ini, wartawan Media Pertanian online www.semadapangan.com mencoba mengontak Dr Ir Riwantoro, Kepala Pusat Distribusi dan Candangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, tetapi telepon genggamnya (handphone) tidak aktif. Ketidakaktifan telepon genggam juga terjadi pada milik Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian Justan Siahaan. *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang