Air Kurang dan Burung Tiap Hari Bersantap Hasil Panen 25 Ha Desa Cimanggu, Cianjur Sedapatnya Saja
Monday, 20th March, 2023 | 661 Views

KENDATI MASA PANEN segera disudahi pada Maret 2023 ini dan sebagian dari luasan 25 hektare (ha) di Desa Cimanggu, Kecamatan Cibeber akan mulai diolah untuk tanam padi lagi. Desa Cimanggu berada di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat (Jabar) dengan jarak perjalanan sekitar 55 kilometer (km) dari Ibukota Cianjur atau 12 km dari UPTD Pelayanan Pertanian Cilaku—-membina Kecamatan Cianjur, Kecamatan Cilaku dan Kecamatan Cibeber di Ibukecamatan Cibeber.

    Tim penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Cibeber yang turun untuk ikut menuai padi di Desa Cimanggu bersama anggota Kelompok Tani Saluyu Desa Cimanggu. Tim itu adalah Asep Syarifudin,SP (Koordinator Penyuluh Kecamatan Cibeber), Rina Suartini,SP (Penyuluh Desa Cimanggu), Lia Masliawati,SP,MP (Penyuluh Desa Cisalak), Ai Rahmawati (Penyuluh Desa Salagedang) dan Irwan,SP (Penyuluh Desa Sukaraharja), Emay Haerudin, SP (Penyuluh Desa Karangnunggal). Selanjutnya Nina Sumartina,SP,MP (Penyuluh Desa Peuteuy Condong) dan Kusnadi,SP (Penyuluh Desa Salamnunggal). Mereka didampingi Naivah Nur Ramadhani,SP (Petugas Pengendali Organisme Penggunggu Tanaman/POPT) dan dimpimpin Kepala UPTD Pelayanan Pertanian Cilaku Wartini,SP,MP.

     Petani Anggota Kelompok Tani Saluyu, Omin (34), mengatakan persoalan kekeringan atau kekurangan air lebih baik musim kemarau sekaligus, sehingga para petani akan membendung Sungai Cikondang secara swadaya agar air mengalir normal ke sawah. Hal itu kalau misalnya tidak turun hujan selama enam bulan terus-menerus.

    “Kalau pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG memperkirakan musim kemarau panjang pada 2023 atau sedikit hujan, maka kini para petani sedang memikirkan mengadakan pertemuan untuk membentuk Sungai Cikondang yang ada di sekitar desa. Kendati demikian, kalau selama 2-3 bulan saja hujan tidak turun dipastikan petani akan kesulitan membendung Cikondang, lantaran aliran atau debit air sungai masih besar,” Omin menjelaskan.

    Di daerah kami, Omin selanjutnya menuturkan, musim hujan tidak menentu. Contoh, harusnya pada Januari dan Februari 2023 turun hujan yang cukup, tetapi ternyata selama dua bulan itu tidak ada hujan, sehingga sawah retak-retak setelah pertumbuhan hingga panen. Jadi, aneh juga pas masa panen yang lalu hujan itu turun lebat beberapa hari. Lahan di Desa Cimanggu luasnya adalah 25 hektare (ha).

   Omin sendiri menanam varietas Ciherang di lahan keluarga yang tidak sampai satu hectare luasnya. Karena kekurangan air, hasilnya tidak maksimal karena hanya dapat sekitar 6,2 ton per ha. Angka ini didapat dari perolehan ubinan 2,5 meter kali 2,5 meter sebanyak 3,9 kilogram (kg). Jadi, setiap panen yang dituai hasilnya sedapatnya saja.

    Menurut Omin, untuk mengatasi kekurangan air pada saat pertanaman hingga menjelang panen, para petani di wilayah itu belum pernah menghubungi pihak Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) atau pihak Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) untuk minta bantuan sumur bor atau sumur pantek. Alasannya, para petani lebih mementingkan menggarap sawah ladang mereka daripada minta bantuan kepada pihak lain yang belum tentu dikabulkan atau malah pengaduan permintaan ditampung. Namun, sampai musim tanam berganti musim tanam berikutnya belum tentu ada wujudnya karena permintaan hanya dicatat semata.

    Terkait hal ini Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Cimanggu Rina Suartini,SP dari UPTD Pelayanan Pertanian Cibeber mengungkapkan bahwa para penyuluh bukan tidak membantu petani, seperti penyediaan pupuk, alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk tanam dan pascapanen serta pompa air. Tetapi, kenyataannya banyak persyaratan yang ditetapkan pihak lain yang tidak bisa dipenuhi para petani. Pada gilirannya petani menjauhi semua persyaratan-persyaratan terutama dari pihak perbankan dengan berkata hoream atau malas berurusan yang justru menyulitkan.

   “Di pikiran para petani, kenapa justru dipersulit? Mengapa justru tidak dipermudah agar petani bisa bekerja dan meningkatkan pendapatan. Jadi, kami para penyuluh malahan berada pada posisi sulit sebagai perwakilan negara di desa terutama di sektor pertanian,” Suartini menegaskan.

    Terkait hasil yang tidak maksimal itu Omin mengungkapkan bahwa persoalan utama yang dihadapi para petani di Desa Cimanggu dengan garapan sekitar 25 ha setiap musim tanam adalah kekurangan air dan serbuan burung pipit yang jumlahnya banyak. Setiap hari ada ribuan burung yang datang dan makan padi sejak proses susu hingga menjadi bulir padi, sehingga hasil yang didapat berkurang.

    Kondisi yang sama dengan Omin disampaikan oleh petani Desa Cimanggu, Dadai (61) yang menanam varietas Gabrai yang berasal dari daerah itu. Petani Dadai memanen sendiri sawahnya yang hanya seluas setengah hektare bersama Risnis (54) dan Cacam (62) karena tidak perlu mengeluarkan upah kepada buruh panen. Petani Risris, Camcam dan Dadai adalah anggota Kelompok Tani Saluyu di Desa Cimanggu. *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang