Tiap Hari Desa Suci Di Kab.Garut Butuh 2 Ton Kedelai
Wednesday, 22nd November, 2017 | 1294 Views

KENDATI DESA SUCI telah mengalami perubahan drastis dari daerah pertanian menjadi kawasan pabrik-pabrik untk industri dan perumahan baru, para perajin tahu dan perajin tempe serta perajin kembang tahu akan tetap menjalani usaha yang telah turun-temurun itu. Di Desa Suci, Kecamatan Karang Pawitan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat itu terdapat 50 perajin tahu dan tempe termasuk tahu kembang dan keripik tempe dengan kebutuhan kedelai (Glicyne max) sebanyak 2 ton setiap hari.

Dari Terminal Bis Garut desa itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 menit. Desa Suci sangat terkenal di seantero Kabupaten Garut sebagai wilayah perajin tahu dan tempe. Memang, di setiap gang di pinggar jalan raya terjadi hiruk-pikuk aktivitas mengolah kedelai menjadi tahu, temped an kembang tahu.

Adalah Popon Mulyani, perempuan perkasa yang telah memulai pabrik tahu pada 1970-an bersama keluarga. Saat itu kebutuhan bahan baku mencapai dua kuintal atau 200 kilogram (kg) per hari yang dijual langsung ke pasar Garut. Pelanggan tahu buatan Popon itu sudah tetap dan masih setia hingga sekarang.

“Kebutuhan kedelai di desa saya ini setiap harinya itu bisa mencapai 2 ton. Apabila ini dikali 30 hari, maka serapan kedelai akan mencapai 60 ton setiap bulan. Kalau di hari tertentu, seperti bulan puasa dan musim haji serta musim kawin, permintaan tahu meningkat tinggi. Kebutuhan biji kedelai juga akan naik. Di waktu tertentu, seperti di oktober hingga Desember nanti kebutuhan kedelai kami biasanya mencapai 70 ton setiap bulan,” ungkap Mulyani.

Popon Mulyani dengan dua putra yang telah dewasa itu bercerita bahwa seiring dengan kondisi sosial yang telah berubah, bahan baku kedelai hasil panenan petani setempat yang mudah didapat, kini tidak diketahui lagi di mana mencarinya. Sebab, pedagang yang menawarkan kedelai hanya menyebut bahwa kedelai yang ada saat ini adalah impor dari Amerika Serikat (AS) dengan harga mulai 6.800 rupiah per kg hingga 7.000 rupiah per kg. Saat ini ia hanya mengolah kedelai sebanyak satu kuintal. Terkadang lebih hingga 2 kuintal dan terkadang kurang hingga hanya 70 kg.

Hal yang sama juga dikatakan Kepala Desa Suci, Dedi Junaedi. Para perajin tahu di desa yang menjadi sentra perajin tahu dan tempe Kabupaten Garut itu masih mendambakan kedelai petani. Selain segar, pati yang dikeluarkan lebih banyak dari kedelai impor yang disebut sebagai kedelai rekayasa yang bisa mengancam kesehatan dalam jangka panjang tersebut.

Menurut Dedi, kini ketersediaan kedelai petani tidak ada atau tidak mencukupi untuk keperluan setiap hari di desa semtra tahu dan tempe itu. Kalau ada kedelai dari petani dan bisa didapat tanpa henti setiap hari atau setiap bulan, para perajin pasti pakai. Hal itu tidak bisa ditawar lagi. Dan apabila pemerintah membuat program swasembada kedelai, para perajin pasti menyambutnya dengan gembira, apalagi kalau harganya bisa menyaingi kedelai impor. Para perajin pasti akan menambah produksi tahu mereka apabila kedelai petani bisa memenuhinya.

“Kedelai lokal yang dihasilkan petani kita itu rasanya sangat enak untuk dijadikan tahu. Namun, kendala sekarang ini kedelai lokal itu sangat jarang atau hampir tidak ada di pasaran, sementara kebutuhan bahan dasar kedelai untuk pembuatan tahu ini kami perlukan setiap hari. Dan yang tersedia sekarang ini hanya kedelai impor, sehingga mau tidak mau kami pakai kedelai impor itu,” ungkap Dedi Junaedi.

Wilayah Khusus Kedelai

Menanggapi hal itu Popon Mulyani menambahkan bahwa pemerintah perlu memberdayakan petani dengan menetapkan wilayah khusus kedelai dengan lahan yang bukan untuk padi atau jagung, sehingga ada jaminan produksi. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, pastilah petani mengikuti kondisi yang berkembang di lingkungannya, yaitu lahan yang ada bergantian dengan padi, jagung dan kedelai.

Hal ini menurut saya salah. Sebab, petani akan menanami sawah atau ladangnya dengan tanaman yang segera menhasilkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jadi, lahan yang dimiliki petani harus khusus, seperti untuk padi ya padi saja. Begitu juga untuk jagung ya untuk jagung saja. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa lahan petani Indonesia memang sempit saja, sehingga sangat sulit untuk bertani dengan pola berkelanjutan.

Hal lain mengenai kedelai ini, demikian Mulyani menuturkan, para perajin tahu maupun tempe sangat berharap agar kedelai lokal itu berseih. Di dalam karung jangan ada lagi dedaunan atau bebatuan entah sengaja atau tidak sengaja. Selain itu kedelai yang dibawa ke perajin sudah harus kering, sehingga mutu patinya baik. *sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang