Seusai Terima UPH, Tak Terduga Kecap Olahan KWT Sri Wilujeng-4 Desa Kemantren Sempurna Masuk Pasar Nasional Plus
Tuesday, 17th November, 2020 | 861 Views

Pengantar:

KEMENTERIAN PERTANIAN MELALUI Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Tanaman Pangan memberi bantuan alat dan mesin unit pengolahan hasil (UPH)  kepada pengelola Kelompok Wanita Tani (KWT) Sri Wilujeng-4 senilai 100 juta rupiah. Harapannya, melalui pemanfaatan UPH itu para petani bisa mendapatkan nilai tukar hasil pertanian yang lebih baik dan bisa mengubah taraf hidup lebih berarti dari sebelumnya. Berikut ini bincang Media Pertanian online www.sembadapangan.com dengan Ketua KWT Sri Wilujeng-4 Ainul Adawiyah (43) di Desa Kemantren, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Jatim), belum lama berselang. Ia didampingi oleh Dwi Prihartono (48), suami Ainul yang terlibat di kelompok wanita itu sebagai tenaga marketing saja.

Nama Sri Wilujeng untuk Kelompok Wanita Tani (KWT) sungguh menarik didengar dan diucapkan, bagaimana ceritanya?

Ya memang demikian. Itu atas saran dari kepala Desa Kemantren. Kami para pengurus dan anggota ndherek mawon (mengikuti saja) karena kami juga senang mendengarnya. Dan untuk para perempuan dinamai KWT Sri Wilujeng-4. Ada kelompok lain yang hampir serupa, yaitu Sri Wilujeng-1, Sri Wilujeng-2 dan Sri Wilujeng-3 yang semuanya untuk  para lelaki. Para perempuan yang berniat masuk kelompok harus masuk ke Sri Wilujeng-4.

Untuk kecap itu hanya KWT Sri Wilujeng-4 yang memproduksinya atau juga diproduksi kelompok yang lain?

Kelompok lain tidak ikut-ikutan. Hanya KWT Sri Wilujeng-4. Walau demikian, banyak juga anggota masyarakat yang melakukan kegiatan pengolahan kripik yang terbuat dari ubikayu, kentang dan nangka. Tetapi, sangat disayangkan setelah virus korona merebak, para perajin menutup usaha mereka. Mungkin kurang laku karena pergerakan manusia sangat sedikit.

Kalau kecap? Sejak kapan memproduksinya?

Walaupun sama-sama bahan makanan, kecap berbeda dengan keripik atau kerupuk. Kecap sudah termasuk bagian bahan makanan pokok. Bagian dari lauk-pauk bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kami belum pernah berhenti mengolah kecap walau pada masa korona seperti saat ini. Kami sudah mengolah kedelai untuk kecap sejak 2016. Waktu rintisan pada masa itu memang baru sedikit. Dan itupun lebih pada percobaan demi percobaan. Memang ada perubahan dari percobaan tersebut.

Perubahan tersebut seperti apa? Bisa dijelaskan?

Kami yang mempunyai produk olahan kecap mengalami peningkatan permintaan. Permintaan yang meningkat ini tidak dibarengi dengan kapasitas yang besar. Kita masih kecil belum bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi kecap.

Kan sudah ada bantuan UPH dari Kementerian Pertanian? Bagaimana dampaknya terhadap kegiatan KWT Sri Wilujeng-4 ini?

Nah, memang pada Desember 2019 Kementerian Pertanian memberi bantuan UPH senilai 100 juta rupiah. Dampaknya sangat besar bagi kami di KWT Sri Wilujeng-4. Memang. Kami sangat senang. Malahan kami kewalahan menerima pesanan. Contohnya, beberapa bulan lalu banyak permintaan kecap untuk bantuan sosial (Bansos). Kami menghadapi kendala memenuhinya. Pertama, kami terbentur dengan harga  yang tidak sesuai dengan biaya produksi. Terlalu murah. Kalau kami dianggap harus berdarma bakti atau terlibat kegiatan sosial pastilah belum sanggup. Kami baru berubah. Baru melangkah. Kendala kedua, kapasitas produksi di sini tidak sesuai dengan yang diinginkan pemesan.

Volume pesanan berapa ton atau liter?

Bukan dalam ukuran ton atau liter. Pihak pemerintah yang datang ke sini meminta kecap untuk Bansos sebanyak 1.000.000 atau satu juta botol kecil berisi 135 mililiter (ml). Terus terang kami tidak sanggup. Akhirnya perusahaan-perusahaan besar yang sanggup dengan volume yang banyak dan harga yang murah. Kami tidak jadi dapat.

Tidak adakah jalan keluar waktu itu, misalnya dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jatim atau Kabupaten Malang?

Tidak ada. Bahkan kami meminta keringanan untuk memenuhi kebutuhan Bansos itu sebanyak 100.000 botol per bulan. Itu pun tidak dipenuhi. Ya, sedih juga. Tetapi, itu jadi cambuk bagi kami. Itu tantangan.

Sekali lagi, bukankah sudah ada unit pengolah hasil atau UPH di sini? Apakah produksinya tidak meningkat dibanding sebelum UPH ini ada?

Kemampuan kami setelah bantuan alat pengolahan kecap dari Kementerian Pertanian ini bisa hingga 1.000 sampai 2.000 liter untuk satu bulan. Atau sekitar 100 liter setiap hari. Itu kalau rutin berproduksi. Betul sekali setelah bantuan alat olahan dari Kementerian Pertanian produksi kami meningkat. Otomatis produksi kami meningkat. Sebelumnya cuma 500 liter tiap bulan. Atau terkadang tidak sampai. Kalau sekarang bisa 1.000 liter bahkan 2.000 liter per bulan.

Jadi, meningkat ya produksinya?

Ya, meningkat. Selain produksi juga pendapatan kami. Pasar yang kami masuki makin luas. Minat konsumen juga makin meningkat bukan saja di Kecamatan Jabung ini atau di Kabupaten Malang, juga ke kabupaten lain.

Seperti itu gambaran peningkatan pendapatan itu? Coba dibuka dengan jelas.

Jauh sebelumnya atau dulu omset kami sebelum mendapatkan UPH dari pemerintah kalau dirata-rata adalah antara 10 juta rupiah sampai 12 juta rupiah untuk setiap bulannya. Itupun bruto saja. Kalau bersihnya berkisar antara 4 juta rupiah sampai 5 juta rupiah setiap bulan. Nah, setelah bantuan UPH ini  tiba dengan kapasitas hasil olahan yang semakin besar  dengan permintaan yang juga semakin besar omset kami sudah mencapai dua kali lebih besar dari sebelumnya. Atau hingga lebih 100 persen. Saat ini omset kami bisa mencapai 25 juta  rupiah sebulan. Keuntungan bersih untuk setiap bulannya bisa mencapai 8 jutaan rupiah hingga 12 juta rupiah.

Setelah ada keuntungan, rencana selanjutnya?

Dengan keuntungan sekitar 8 juta rupiah per bulan dari olahan kecap ini kami berkeinginan untuk menambah aset atau peralatan. Kami juga berkeinginan mempunyai mesin pengemas dan mesin penyaring. Sebab, peralatan saringan yang ada sekarang ini masih melalui tangan manusia. Masih manual.

Ada karyawan atau pekerja di sini?

Ada. Untuk pengemasan kami mempunyai pekerja dua orang. Mereka mengisi botol-botol sesuai ukuran yang ada. Botolnya sudah tersedia di Kota Malang. Tinggal dipesan sesuai kebutuhan. Kertas label juga dipesan di Kota Malang.

Tadi disebut bahwa kecap olahan KWT Sri Wilujeng-4 sudah diterima banyak kalangan dan konsumen yang makin luas. Semudah itukah diterima? Segampang itukah meluas ke daerah lain?

Memang seperti itu. Fakta nutrisi yang tertulis pada label kecap olahan kami didapat dari Sucopindo. Keamanan kecap olahan tapi telah diakui oleh pihak yang berkompeten. Itu tidak mudah. Izin telah dimiliki. Sertifikat yang dikeluarkan pemerintah pun sudah ada berupa PIRT atau sertifikat PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA. Jadi, kami memproduksi kecap pada kemasan 135 ml, 275 ml dan 500 ml. Namun, juga menerima pesanan sesuai keinginan pemesan berupa curah atau drum.

Memang sebegitu ‘deras’ permintaan ke KWT Sri Wilujeng-4?

Oh ya. Itu kenyataan. Bahkan bisa lebih banyak lagi, tetapi kami terbatas produksi karena kapasitas yang masih kecil. Namun, untuk ukran KWT hal itu sudah cukup saat ini sambil seiring waktu bisa dikembangkan kapasitasnya lebih besar.

Kendati olahan rumah tangga, bagaimana tentang persaingan produk di pasar?

Oh, kami tak terlalu gentar. Kami sudah bersertifikat dan teruji secara laboratorium terpercaya. Mutu kami tidak berbeda dengan produk perusahaan raksasa nasional. Kami sudah bersaing. Tetapi, karena kami sedang memperluas pasar, beberapa ratus rupiah kami sengaja harganya di bawah kecap produk nasional.

Ada informasi bahwa kecap olahan KWT Sri Wilujeng-4 diminta masuk pasar internasional. Siapa yang meminta?

Ya, memang begitu. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang dan Provinsi Jatim memintanya. Potensinya besar ke Timur Tengah.

Jadi, disanggupi?

Ya, secara prinsip disanggupi. Waktunya akan menyesuaikan.

Kapan?

Belum diinformasikan.

Merek kecap ini apa?

Tugu Jawa. Kecap Tugu Jawa. Ini mejadi acuan kami, yaitu Jawa karena kecap ini dibuat secara tradisionil. Rasa dan aromanya tradisionil. Sangat beda dengan produk kecap lainnya.

Berbeda?

Ya, berbeda. Kedelai yang kami pakai adalah hasil budidaya petani. Jadi, bukan kedelai impor yang kata orang-orang sifatnya GMO atau genetically modified organism atau pengubahan sifat kedelai dengan memasukkan organisme lain ke dalam benihnya. Saya ikuti itu berbahaya karena sejatinya kedelai yang itu adalah untuk ternak di mancanegara.

Selain bersifat GMO kedelai impor sudah lama di gudang negara sebelum dikirim ke Indonesia dan di kapal karena berlayar. Kami memaki kedelai petani Indonesia dari Kabupaten Malang atau sekitarnya dan kami beli dari persediaan di Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Kementerian Pertanian di Kabupaten Malang. Kedelai petani, segar, gurih serta lezat dan proteinnya jauh lebih bagus dan tinggi. Ada rasa pedas dan ada rasa manis. Begitulah.

Menyinggung pemasaran kecap tradisional olahan modern itu Dwi Prihartono berucap bahwa dia telah melakukan korespondensi dengan beberapa pihak terutama di pemerintahan. Selain itu juga membina hubungan dengan pengusaha kecil menengah di beberapa daerah. Dia merasa beruntung setelah bisa terlibat di lingkungan kaum perempuan yang ada di KWT Sri Wilujeng-4 yang mendapat bantuan UPH dari Kementerian Pertanian karena segera setelah itu dia dapat melebarkan sayap di tengah penyebaran (pandemi) virus korona di seantero negeri. Dia berujar bahwa tanpa pemberian bantuan UPH itu niscaya kecap produksi KWT Sri Wilujeng bisa seperti sekarang ini. *sembada/rori/henry

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang