Petani Sragen: Langkah Maju Bersaing Syukur Ada Vertical Dryer, Tapi Mesin Poles Belum Ada Belum Afdol
Friday, 16th August, 2019 | 936 Views

PERSOALAN KLASIK PARA petani di Indonesia adalah finansial atau pembiayaan. Dampak negatif ikutannya adalah tak kalah klasik, yaitu penjemuran atau pengeringan seusai panen, penggilingan sesuai “selera” atau nafsu konsumen dan harga. Sekali lagi itulah dampak negatif ikutan dari “ketiadaan” keuangan atau finansil petani nusantara. Kendati demikian, pemerintah sudah melihat dan menyadari bahwa “power” atau kekuatan petani adalah kekuatan kesatuan dan persatuan. Hanya petani yang mampu bertahan dari hantaman dan terpaan krisis moneter. Lain tidak. Berangkat dari situ pemerintah telah memberi bantuan vertical dryer kepada para petani, seperti di Kabupaten Sragen.

         “Ah, kurang paripurna subsidi itu. Kurang sempurna bantuan itu. Kurang lengkap pemberian itu. Dan kurang utuh peralatan itu. Bahkan kurang handal permesinan itu. Kami ingin berkompetisi di tingkat nasional dan ASEAN agar suatu hari beras tidak diimpor, namun dipenuhi dari negeri ini,” ungkap para petani yang tergabung dalam kelompok tani sekaligus pengurus kelompok tani di lima kecamatan di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di Sragen, belum lama ini.

          Adapun pertemuan dengan para petani tersebut adalah di Kecamatan Karang Malang, Kecamatan Gemolong, Kecamatan Ngrampal, Kecamatan Sumber Lawang serta Kecamatan Sambung Macan. Para petani di sini adalah penerima alat dan mesin pertanian (alsintan) dari pemerintah terutama alsintan vertical dryer pada 2018 yang beroperasi sejak awal 2019 yang lalu.

          Menurut Ketua Kelompok Tani (Koptan) Sri Makmur Edi Narwanto, bantuan vertical dryer dari pemerintah sangat membantu para petani di Desa Ploso Kerep, Kecamatan Karang Malang. Alsintan itu masuk akhir 2018 dengan kapasitas pengeringan 10 ton untuk setiap proses pengeringan selama 16 jam hingga 20 jam dengan kondisi panen sangat basah atau rendemen sangat tinggi.

          Dia menyebutkan alsintan pengering atau vertical dryer itu dikombinasikan dengan unit penggilingan padi milik sendiri yang sudah ada sebelumnya. Sebelum ada bantuan dari pemerintah wadah pengeringan yang sudah tersedia adalah lantai beton jemur. Namun, hal itu sangat bermasalah kalau panen pada musim hujan terutama pada musim tanam-musim panen ketiga (MT/MP-3).

          “Terkadang pada masa panen atau MP-2 hujan masih ada, sehingga bermasalah dalam proses pengeringan di lantai jemur itu. Petani pasti rugi karena padi bisa rusak akibat jamur atau membusuk. Bahkan mutu beras yang diolah karena dipaksakan sangat jelek. Jadi, bantuan alsintan vertical dryer atau pengering tegak menjulang dari pemerintah sangat bermanfaat apabila kondisi alam atua cuaca mendung,” ungkap Edi (40) yang mengupah petani pekerja 10 orang untuk mesin penggilingan, pengeringan dan lantai jemur yang masing-masing menerima upah rata-rata sebesar 80.000 rupiah per hari.

Cinta Tanah Air Via Sergap

          Setiap hari atau selama 12 jam Edi Narwanto mampu mengeringkan pada sebanyak 10 ton dengan kadar air 35 persen. Kemudian digiling sendiri menjadi beras tahap pertama atau kondisi 25 persen. Untuk layak konsumsi kondisi beras itu harus minimal 65 persen. Contohnya, Edi menyebutkan, untuk 100 kg dapat 75 kg pecah kulit atau gabah kering giling (GKG).

          Harga gabah kering panen atau GKP adalah 5.200 rupiah per kilogram (kg), sementara harga pembelian Perum Bulog untuk GKP hanya 4.070 rupiah per kg. Ada selisih harga sebesar 1.200 rupiah per kg. Untuk GKG, pihak Perum Bulog menghargai hanya 5.110 rupiah per kg, padahal di pasar sudah mencapai 8.050 rupiah per kg.

            Disebutkan pula bahwa pihak Koptan Sri Makmur sudah ada prinsip cinta tanah air dengan menyerahkan atau menjual beras kepada pihak Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum Bulog) dengan volume 10 ton setiap bulan. Hal itu dilakukan untuk memenuhi ketahanan pangan nasional dalam program swasembada pangan.

           “Melalui koordinasi pihak Sergap, kami menjual beras kepada pihak Perum Bulog sebanyak 10 ton setiap bulan. Harganya adalah sesuai patokan Perum Bulog. Memang pembelian Perum Bulog jauh lebih murah dibandingkan dengan pembelian pedagang, tetapi karena kami cinta tanah air, hal itu tidak menjadi beban. Para petani rela saja. Dan langkah maju bersaing, syukur sudah ada vertical dryer, tetapi mesin sosoh belum ada belum afdol,” kata Edi yang mengganti mesin diesel miliknya dengan motor penggerak baru dengan kekuatan 8 paardekracht (PK-daya kuda) hingga 10 PK.

           Alasan penggantian diesel dengan motor penggerak  itu adalah untuk meningkatkan kapasitas giling dan pengeringan. Sebab, instalasi pengeringan dan penggilingan yang dikelola Edi Narwanto itu sudah terhubung dengan listrik dari pasokan PLN.

        Penambahan jaringan transmisi PLN dan pembelian motor penggerak yang mencapai ratusan juta itu ditanggung Edi Narwanto sendiri. Dari kondisi itu Koptan Sri Makmur sangat membutuhkan bantuan mesin sosoh agar beras layak konsumi dan petani bisa bersaing demi meningkatkan perekonomian petani.

 

Sangat Butuh Mesin Pengolah (Sosoh) Beras

       Petani di Dukuh Jatsano, Desa Sambung Macan, Kecamatan Sambung Macan Joko Warlanto (40), menerima vertical dryer dari pemerintah pada 2018. Bantuan itu diberikan kepada kelompok tani yang di wilayahnya sudah ada penggilingan milik petani perseorangan atau petani anggota kelompok. Warlanto mengelola penggilingan keluarga yang dinamai Usaha Dagang (UD) Sumber Makmur sejak 2012 yang lalu dan memiliki pertanaman padi seluas 6 hektare (ha).

        “Penggilingan saya ini baru mampu menghasilkan beras bahan, yaitu pecah sekali. Beras macam ini belum bisa dikonsumsi atau tidak akan dibeli konsumen karena belum layak dimakan. Untuk itulah kami para petani tidak hanya ingin menggiling padi, tetapi kami terpacu untuk bersaing dengan pengusaha besar yang selama puluhan tahun menguasai perberasan di Indonesia. Setelah dapat bantuan vertical dryer itu mata kami terbuka untuk masuk ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. Sudah waktunya petani maju dan bersaing. Jadi, petani butuh bantuan lengkap,” ungkap Warlanto sangat serius dan berapi-api.

        Dia juga mengatakan bahwa di penggilingan yang diusahainy ditambah alsintan pengering dari pemerintah, belum ada tambahan alsintan lain, seperti mesin sosoh (poles) yang harganya sangat mahal mencapai 800 juta per unit. Harga itu belum termasuk alat pemisah atau colour sorter untuk kering dan biji mati atau lainnya.

           Apabila ditotal, kata Warlanto, untuk mengolah padi atau gabah sampai menjadi beras layak konsumsi adalah sebesar 1,5 miliar rupiah yang mencakup mesin poles dan pemisah gabah berkualitas dengan gabah kopong, sekam dan kulit. Saat ini alsintan bantuan pemerintah yang diterima Warlanto adalah vertical dryer berkapasitas 6 ton sekali proses atau 12 jam.

           “Saya berharap bisa memiliki mesin pengepakan dan mesin penggerak yang tenaganya tersambung dengan arus listrik PLN menggantikan mesin diesel yang saat ini beroperasi. Mungkin saja ada kredit, walau mahal, tetapi saya belum mencoba,” katanya sembari menambahkan bahwa setelah padi dikeringkan masih harus diangkut pekerja ke penggilingan karena belum terintegrasi.

        Mengungkapkan harapannya, Joko Warlanto mengemukakan bahwa ke depan nanti bisa bersaing dengan pedagang besar terutama kalau peralatan sudah lengkap. Para petani yang tergabung di kelompok tani sangat berharap bisa masuk ke pasar induk beras dengan menjual beras premium. Apaabila hal itu bisa terjadi, pastilah petani akan makin senang dan bersemangat tanam padi.

Butuh Mesin Pemanen Kombinasi

        Petani pemilik atau pengelola lahan pertanaman padi seluas 2 ha di Desa Ngarum, Kecamatan Ngrampal, Hartono (38), mengatakan para petani yang tergabung di Koptan Maju pada setiap panen masih mengandalkan tenaga manusia. Selain kesulitan memanen jaga menhadapi persoalan saat pengeringan terutama jika cuaca tidak panas.

        “Kami sangat membutuhkan bantuan pemerintah untuk mendapatkan combine harvester atau mesin pemanen kombinasi yang bisa untuk padi, jagung hingga kedelai. Kami akan menata pola pikir petani untuk memotong sendiri dan membawa ke penggilingan. Bukan ditebas para tengkulak. Para petani menyadari selama bertahun-tahun selalu rugi pada setiap panen dan di mata petani sendiri para tengkulak mendapat untung banyak atau besar,” kata Hartono, Ketua Koptan Maju bersemangat.

        Dia menambahkan juga bahwa di desa tetangga ada alsintan besar berupa combine harvester entah dari mana. Memang, sejak 2018 Koptan Maju dipinjami pihak Brigade combine harvester, kemudian dikembalikan. Cara tebas panen oleh tengkulak sangat menyakitkan petani.

         Disebutkan, sebagai contoh untuk tebas satu patok dihargai 10 rupiah per kg atau seluas 3 patok untuk ukuran 1 ha, tetapi kalau harga di pasaran sedang jatuh, tengkulak minta uang dikembalikan sebesar 500.000 rupiah hingga 1 juta rupiah dan para petani harus mengembalikannya.

        Ini fakta di lapangan, kata Hartono,  petani selama ini diperlakukan tengkulak sesuaka hati tanpa belas kasihan. Para petani sejak mengolah lahan pertanaman, menanam dan memupuki padi hingga panen sudah susah, tinggal memotong padi saat panen masakan dipersulit. Para petani ingin keluar dari belitan permasalahan yang sudah terjadi puluhan tahun. “Merdekaaaa….17 Agustus 2019. Merdeka…!” ujar Hartono, boleh jadi maksudnya merdeka dari “penjajahan” para tengkulak itu. (Berita terkait di menu BERITA UTAMA berjudul “Direktur PPHP: Di Sawah Alsintan Pengering Hadir, Keuntungan Kini Sudah Berpihak Kepada Petani”    dan di menu BERITA KINI berjudul “Kadistan Kab.Sragen: Alsintan Pengering……”).  *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang