Petani Kec.Rejoso Nganjuk: Puluhan Tahun Berprofesi Selektor Kedelai Untuk Sekolahkan Anak
Wednesday, 19th June, 2019 | 1001 Views

TANGAN PARA PEREMPUAN itu masih kokoh kuat. Tubuh mereka segar berseri. Masih berseri ceria. Kaki mereka berotot ala perempuan desa. Bersemangat. Sepanjang hidupnya tidak bersekolah, tetapi bertani—bercocok tani dan berladang. Itulah petani bernama Fadirah (75), Suparmi (60) dan Parmi 40 tahun.

        Boleh jadi mereka bukan semata bekerja untuk memenuhi hajat kenyang dari lapar atau minum dari haus. Boleh jadi bukan begitu. Kenapa gerangan? Nenek Fadirah sudah bertani sejak remaja belia. Begitu pula nenek Suparmi. Bahkan ibu Parmi tentu saja. Mereka adalah pejuang-pejuang anak bangsa dengan memperbaiki posisi keturunan dari bersekolah menjadi bersekolah. Anak mereka harus bersekolah. Itu inti perjuangan mereka. Upah mereka bertiga sama tanpa diukur dari usia atau masa kerja, yaitu 40.000 rupiah per kuintal atau 100 kilogram (kg) dari pukul 08.00 hingga 16.00. Tidak selalu dapat satu kuintal, tetapi terkadang dapat juga lebih dari satu kuintal.

           Nenek Fadirah melahirkan anak lima orang dan kini cucunya sembilan. Kelima anaknya itu disekolahkan hingga sekolah dasar (SD). Namun, ada juga yang mengecap pendidikan hingga sekolah menengah pertama atau SMP dan ada yang menuntut ilmu di sekolah teknik atau ST pada masa itu. Kalau nenek Suparmi? Ya, anaknya empat orang semua dituntun masuk sekolah menengah kejuruan atau SMK kini—sekolah menegah ekonomi atas (SMEA) dan sekolah teknik menengah atau STM era orde baru. Selanjutnya anak ibu Parmi itu sudah menekuni ilmu selama dua tahun ini di SMK. Anak-anak yang mereka sekolahkan itu tentu dibiayai dari PROFESI BURUH TANI di Desa Talang Rejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur.

        Seiring waktu dan perubahan zaman karena dinamika kependudukan—sudah pasti perubahan iklim pun cuaca—ketiga perempuan itu mengubah haluan dengan menerima ‘lowongan kerja’ sebagai tenaga ‘profesional’ memilah-milah biji kedelai yang bernas. Biji yang cerah, kuat, halus bersih serta sama besar seragam. Mereka adalah petani yang telah secara khusus menekuni budidaya kedelai selama lebih 20 tahun atau dua dasa warsa. Dan kini menjadi ahli sortir dengan instink atau naluri yang sangat mumpuni.

            Sebagai tenaga profesional handal, biji-biji kedelai yang disebut para orang pintar atau ilmuwan dengan sebutan Glycine max itu sudah mereka tahu persis mana yang langsung dijumut dan mana yang disisihkan. Tetapi, karena diciduk dari goni dengan volume yang sangat banyak, tentu jemari mereka yang jauh dari lentik ala wong kuto tidak serta-merta bisa ‘menerkamnya’ melainkan harus ditaruh di anduri atau tampah untuk menyeleksi sekaligus menyortirnya. Kotoran batu dari lapangan jemur dan biji loyo disisihkan. Disingkirkan Tetapi, tentu tidak dibuang karena bisa dijadikan pupuk tanaman pekarangan. Semua bisa dimanfaatkan secara seimbang.

        Tetapi, telapak tangan mereka tidak kasar sebagaimana di benak makhluk lain yang suka bergunjing. Tidak begitu. Telapak tangan mereka biasa saja. Persis sama rupa dan halus dengan telapak wartawan Media Pertanian online www.sembadapangan.com yang menyalami mereka berulang kali. Masih hangat lembut. Memang…tentu saja kondisinya sedikit berbeda. Lengan, jemari dan telapak tangan nenek Fadirah dan nenek Suparmi sudah agak keriput karena usia.

       Kalau Parmi? Perempuan yang usianya baru 40 tahun kendati telah memilah-milah biji selama 20 tahun masih beda. Ya, memang beda. Masih lebih kencang berpori tertutup. Namun, nenek Fadirah pernah mendengar cucunya bertutur tentang sanjak Willy Surendra Rendra alias WS Rendra “aku ingin hidup 1.000 tahun lagi” yang boleh jadi bagi nenek Fadirah berhasrat hidup 25 tahun lagi untuk menggenapi kauripan ning donyo (kehidupan di dunia) hingga 100 tahun. Waduuuh….alangkah indah dan sentosanya.

       Dirgahayu jubeleum 75 tahun nenek Fadirah yang sehat kuat segar tandas dan bekerja profesional sebagai BURUH TANI—profesional datang tepat waktu karena bangun tepat waktu oleh kokok ayam kicau kutilang kurkukkuk burung derkuku, pulang tepat waktu tidak pernah mengeluh demonstrasi di pematang sawah tentang salary yang harus standar upah minimum regional (UMR) ala Desa Talang Rejo. Tidak pernah menggugat siapapun tentang kecurangan ‘manajemen’ yang sistematis, terstruktur dan masif. Namun, inilah pokok hidupnya bahwa ia senantiasa merasa bahagia. Bersyukur atas kehadiran mentari menyingsing pagi dan kalaning senja di ufuk barat.  *sembada/henry supardi

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang