Naker Tani Terabaikan: Alih Generasi Dari Generasi Lanjut Usia Ke Generasi Langgas
Thursday, 23rd January, 2020 | 1166 Views
|
Oleh Drh Chairul Arifin (Pemerhati Sektor Pertanian, tinggal di Jakarta)

Chairul Arifin (Foto:sembada/rori)

Chairul Arifin (Foto:sembada/rori)

BERSUMBER DARI HASIL laporan Badan Pusat Statistik atau BPS untuk Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan bahwa ketenagakerjaan di sektor pertanian ternyata lebih banyak didominasi oleh tenaga kerja lanjut usia dan berpendidikan tidak tamat sekolah dasar atau SD, tamat SD dan tidak sekolah.  Lebih dari 45 persen  tenaga kerja pertanian tersebut berusia rata-rata di atas 50 tahun.

       Terus akan timbul pertanyaan apa yang bisa diandalkan dari tenaga kerja ini ? Daya inovasinya sudah tidak ada lagi dan mereka sudah tidak lagi mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Generasi petani ini yang tergolong aging population atau dalam istilah demografinya generasi baby boomers sebagai dampak Perang Dunia II yang menurunkan jumlah penduduk akibat peperangan dulu.

Tenaga Kerja Pertanian Terabaikan

      Gen baby  boomers ini yg berjasa menimbulkan Revolusi Hijau, sehingga terjadi peningkatan produksi. Di Indonesia dikenal dengan penerapan teknologi gerakan Panca Usaha Tani melalui program Bimas atau bina masyarakat sebagai eksekutornya yang sukses memanggungkan swasembada beras di panggung dunia. Seiring dengan perkembangan zaman maka masa-masa keemasan tersebut tidak bertahan lama.

       Pertambahan penduduk yang cepat, adanya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, yaitu industri dan pemukiman disertai penggunaan sumberdaya air yang begitu masif telah mengubah arah pembagunan pertanian kita. Teknologi baru banyak dikembangkan secara mekanis yang meminggirkan penggunaan ternak di sawah. Ternakpun bergeser dari ternak kerja menjadi ternak penghasil pangan dan industri.

   Tetapi, ada hal yang tertinggal dalam perubahan ini, yaitu kita abai dengan aspek ketenagakerjaan. Arah pembangunan pertanian telah berubah, namun tenaga kerja pertanian terabaikan untuk ditransformasikan. Kita saksikan sendiri bagaimana tenaga-tenaga pertanian yang tak terdidik ini ramai-ramai melakukan urbanisasi untuk mengisi sektor² informal di perkotaan dan menciptakan kantung-kantung kemiskinan atau slum area. Jelas sektor perkotaan kurang ramah terhadap para urban ini.

Tenaga Kerja Pertanian Habis Sudah

      Kelengahan kita nampak bahwa Pertumbuhan PDB pertanian kita tidak secepat pertumbuhan dari penyerapan tenaga kerja pertanian, sehingga transformasi dari pertanian ke industri tidak terjadi, dalam arti kata penyerapan tenaga kerja di sektor industri yang menuntut tenaga skilled dan semi skilled tidak sejalan dengan pertanian. Hal ini diperparah lagi oleh para ekonom makro kita yang menjadikan pertanian sebagai tempat residual ketenagakerjaan. Semua tenaga kerja yang tak terdidik itu urusan pertanian.

      Menurut Sensus Pertanian dari waktu ke waktu makin bertambahlah petani yang gurem dan tak berlahan atau hanya jadi penggaduh. Kini kita semua mewarisi itu semua. Mau dijadikan apa tenaga kerja yang sebanyak itu. Dalam demografi kependudukan nantinya pada 2030 kita akan menikmati puncak demografi dan tenaga kerja pertanian akan habis dari generasi baby boomers. Tenaga kerja ini akan tergantikan oleh sebagian generasi X, yaitu mereka yg lahir di rentang 1960-an hingga awal 1980 dan generasi Y, yaitu mereka yang lahir antara awal 1980-an hingga awal 2000-an.

       Kepada mereka inilah pembangunan pertanian ini kita andalkan, karena ciri-ciri gen Y atau gen milenial atau generasi LANGGAS memiliki karakteristik sopan, ingin yang baru, terhubung dengan internet, pandai bersosialisasi dan kreatif mudah berselancar di media sosial serta sangat percaya diri dan mampu berdebat di public forum (Pew Research Centre).

     Mereka inilah yang membuat pertanian lebih efisien dan pintar membuat usaha pertanian terintegrasi dari hulu-onfarm dan pengolahan serta pemasaran ditangani sendiri oleh kelompoknya yang terhubung dalam jaringan dan komunitas-komunitas usaha sejenisJadi, kita abaikan saja pendekatan yang selama ini kita lakukan, yaitu pendekatan pembinaan kelompok pemula, madya dan lanjut. Bagi mereka intervensi pemerintah selama ini hanya membuat makin repot mereka.

     Dibutuhkan pendekatan baru kepada mereka agar usaha pertanian yang bersifat start-up menjadi lebih maju lagi dengan pemberian ekosistem baru yang memungkinkan berbagai aplikasi dan fintech atau financial technology berkembang. Hanya dengan cara ini masa depan pertanian kita akan tercapai pada era disrupsi seperti sekarang ini. Yakin kita sampai. *

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang