Masalah Perunggasan: Soal Pembagian Ayam Gratis dan Ayam Murah
Monday, 9th September, 2019 | 847 Views
|
Oleh Chairul Arifin

 

Chairul Arifin (Foto:sembad/rori)

Chairul Arifin (Foto:sembad/rori)

BARU DUA KALI ini terjadi dalam industri perunggasan Indonesia (ayam ras) terjadi pembagian ayam gratis yg masif oleh sebagian peternak. Ini sebagai bentuk kejengkelan mereka karena harga ayam hidup (live bird) jatuh sampai jauh di bawah harga pokok pembelian (HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah,  yaitu 7.000 rupiah per kilogram (kg) hingga  8.000 rupiah per kg, padahal biaya produksinya seharusnya  18.000 rupiah per kg.

         Akibat semua itu para peternak jengkel dengan membagi-bagikan ayamnya kepada masyarakat yang memang membutuhkannya. Aksi ini ternyata berhasil menyita perhatian publik khususnya para penentu kebijakan yang terkait dengan perunggasan. Bahkan para peternak baru-baru ini demonstrasi di depan Istana Negara dengan membawa ayam.

            Sebenarnya kasus yang sama terjadi juga di komoditas pertanian lainnya. Pernah diberitakan bahwa para petani membiarkan cabenya membusuk di jalan raya atau komoditas bawang merah yang hasil panennya dibiarkan terus membusuk. Ini sebenarnya bentuk kejengkelan petani terhadap hasil panen dan kerja kerasnya yang tidak memperoleh penghargaan dari mayarakat khususnya pemerintah. Di luar negeri pun hal ini juga terjadi yang kita saksikan bagaimana mereka menggiring biri-biri atau sapi perahnya masuk ke perkotaan di sekitar Menara Eiffel Perancis yang terkenal itu.

Masih Bersifat Foot Loose

            Ayam ras di tanah air sebenarnya telah me-revolusi pola diet sehari-hari hari bangsa ini. Di awal 1960-an di meja makan yang tersedia, konsumsi daging masih didominasi oleh daging merah, yaitu daging sapi  55 persen dan daging unggas 15 persen. Itupun oleh unggas lokal atau yang kita kenal sebagai ayam kampung dan belum dikenal ayam ras.

          Pelan-pelan tetapi pasti, dimotori oleh peternak rakyat yang maju termasuk oleh Bob Sadino, maka berkembanglah industri agribisnis ayam ras. Kini, hampir 50 tahun berlalu ayam ras sudah menjadi industri ditopang oleh industri pendukungnya yang kuat dari upper stream, onfarm dan down stream menjadi industri agribisnis yang mengglobal. Pola diet berubah terbalik, yaitu kini didominasi daging ayam ras sebanyak 66 persen serta hanya 15 persen daging sapi. Artinya, terjadi revolusi dari daging merah jadi daging putih.

            Di sisi lainnya peternak-peternak ayam rakyat yang tadinya menjadi motor dan perintis industri ini terpaksa gigit jari menyaksikan perkembangan industri ini tanpa bisa berbuat banyak lagi. Hanya yang efisien saja yang bisa bertahan dalam industri yang tumbuh pesat. Tumbuh pabrik pakan,  vaksin dan obat breeding farm dan peternakan komersial besar-besaran, ditopang oleh industri pengolahan dan disribusi sampai ke industri pemasarannya.

             Industri perunggasan ditambah air, dapat menjadi model industri yang terpadu, terintegrasi, masif dan bersinergi satu sama lain bagi industri pangan lainnya di tanah air. Industri telah sukses mendapatkan industri yang efisien dan paling bisa mengikuti perkembangan teknologi mutakhir dari semua segmen agribisnis dan menjadi bagian dari industri pangan global yang tak mudah lekang oleh panas dan hujan.

            Tetapi, walaupun industri ini kuat di tanah air dan mampu menyediakan daging dan telur ayam (malahan surplus dan melakukan sebagian kecil ekspor), hal itu ternyata adalah  industri yang masih bersifat foot loose belum mengakar pada sumber daya lokal. Ini terbukti untuk proses produksinya yang mengandalkan impor, yaitu bibit, pakan, obat dan vaksin, berbagai teknologi dan sarana prasarana pendukung lainnya.

            Di setiap pameran Peternakan dan Kesehatan Hewan, misalnya kita seolah berada di dunia asing karena hampir semua proses produksi ayam ras ini berbasiskan impor semata. Bagaimana para peternak rakyat yang telah berjasa ikut membangun industri ini sekarang? Jadilah dia peternak plasma dan peternak mandiri yang sangat tergantung dari pasokan input produksi dan penyaluran hasil luarannya dari industri yang besar ini.

           Dan hal yang memprihatinkan adalah bahwa para peternak ini hanya bersifat partial bersama industri ini dalam artian dia membutuhkan hanya bibit dan pakan saja karena tidak mampu berintegrasi secara total kedalam mata rantai agribisnis secara utuh dari hulu sampai ke hilir. Industri ini merasa telah “membantu” para peternak ini, tetapi justru bantuan baik di hulu maupun digilir tak pernah diperoleh peternak ini.

           Mengapa ini terjadi? Karena peternak selama ini menguasai pasar yang kemudian di intervensi oleh industri ini karena sama-sama memiliki on farm yang tidak terelakkan. Akhirnya terjadilah banting harga peternak dan peternak lebih baik membagikan gratis ayam hidup mereka ketimbang rugi terus menerus. Pembagian ayam hidup ini menunjukkan betapa peternak tidak mampu berintegrasi dengan industri pemotongan dan pengolahan serta pemasarannya, sehingga dia hanya memegang modal ayam hidup ansich atau apa adanya, padahal yang dijual dalam bentuk karkas atau bahan olahan lainnya.

Jalan Keluar Dari Kemelut

         Kemelut ini memerlukan lima alternatif solusi, yaitu kesatu melakukan restrukturisasi perunggasan dalam artian pemerintah mengharuskan perusahaan integrator tersebut untuk melakukan kemitraan utuh dengan para peternak dari aspek hulu sampai hilir. Tidak ada lagi kemitraan yang parsial. Dengan demikian peternak diminta untuk ikut sebagai bagian dari sistem mereka. Sebab, disadari atau tidak mereka telah menguasai industri ini sampai kepada konsumen. Memang aturan ini perlu dikaji apa sesuai dan diperbolehkan oleh pihak World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia. Dan hanya sejauh kemitraan saja mungkin masih diperbolehkan.

        Kedua, mengembangkan  para peternak ini menjadi peternak yang punya industri hulu dan hilir sendiri. Jadi, dia kembangkan industri bibit, pakan dan obat-obat dan vaksi sendiri beserta industri pengolahan dan pemasarannya. Tentu ini perlu waktu, namun pemerintah dapat memilih opsi-opsi tersebut.

          Ketiga, gabungan keduanya, dimana pemerintah dapat menunjuk kepada siapa kemitraan itu terjadi sejauh mau menjamin harga di pasaran agar tetap “menguntungkan” kedua pihak ternak dan perusahaan. Biasanya perusahaan tidak mau dibebani kemitraan ini, namun dengan berbagai dalih pemerintah dapat menggambarkan social cost dari kemitraan ini.

           Keempat, pemerintah dapat mengembangkan manajemen stok, yaitu berapa sebenarnya tingkat persediaan dan berapa tingkat kebutuhannya daging unggas tersebut. Sebetulnya hal ini sangat mudah dilakukan dengan pengendalian impor bibit ayam baik grand parent stock atau GPS dan parent stock atau PS. Antisipasi sejak dini harus diperhitungkan karena GPS jadi PS dan FS itu perlu waktu, sehingga kapan pemerintah dapat menyetop impor GPS maupun PS dapat dilakukan. Ini perlu management stock yang cermat dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dg jujur dan transparan.

           Kelima, ini usulan bersifat jangka panjang, yaitu menjadikan industri perunggasan ini dari yangg bersifat foot loose menjadi industri yang grass root. Dari industri yg belum mengakar jadi mengakar ke basis sumber daya lokal. Tentu ini pasti tugas akademisi dan peneliti peternakan dan kedokteran hewan. Kapan lagi? *

*Penulis adalah seorang sarjana Kedokteran hewan dan telah pensiun dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian (kini Kementerian Pertanian)

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang