Koordinasi Satu Kunci Untuk Pangan Indonesia, Suatu Appeal Kepada Menteri Pertanian (Baru)
Tuesday, 22nd October, 2019 | 2909 Views
|
Oleh Henry Supardi Simaremare,BSc,SH

883e4-080415-artikel.foto-henry-supardi

 

HEMAT KAMI KINI condong untuk mengatakan bahwa frase mimpi  tidak lagi saat tidur. Bisa saja saat kerja atau saat minum kopi. Atau saat bergurau tertawa terbahak. Mimpi atau impian tidak harus di malam dan subuh hari.

 

       Bisa saja pada pagi. Pada siang dan sore. Bahkan sepanjang waktu. Mimpi yang ketika terhenyak bangun dari tidur sirna dalam sekejap itu bolehlah jadi impian yang diharap bisa jadi kenyataan. Wujud nyata yang bisa dikecap. Dirasa dan dialami secara kasat mata. Ya, itulah impian. Presiden Joko Widodo bermimpi macam-macam dan merangkum mimpi itu dengan hasrat besar agar menjadi impian yang berwujud. Pangan tersedia. Penganan terjamin ada. Makanan cukup untuk rakyat Indonesia.

           Pada editorial itu kami berseru tentang impian kemandirian pangan, ketahanan pangan atau pun kedaulatan pangan nasional bisa menjadi kenyataan. Menjadi kenyataan. Satu kunci membuka pintu kenyataan itu adalah KOORDINASI. Ya, satu kata kunci yang bernama koordinasi. Puluhan tahun kata koordinasi itu melekat di kertas. Di agenda program. Di benak para menteri pertanian dan eselon satu hingga eselon duanya. Namun, kenyataannya kunci bernama koordinasi itu hanya sebatas urutan huruf K-O-O-R-D-I-N-A-S-I alias Koor Di Nasi. Kor untuk nasi. Gaungnya ada, tetapi kenyataannya tidak ada. Itu mbelgedes kata rakyat yang sulit makan. Noncens kata kaum sosialis.

    Kembali ke KOORDINASI tentang nasi. Hemat kami menteri pertanian yang baru menyingsingkan lengan baju menderapkan langkah bertemu dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar lahan PT Inhutani, lahan PT Perhutani dan lahan PT Perkebunan Nusantara bisa dipakai untuk tanam jagung dan tanam kedelai. Tujuan pertemuan atau bahasa “hotel” tujuan lobby itu adalah agar direktur perusahaan yang menjadi binaan Kementerian BUMN itu tidak “congkak” tidak “sombong” dengan mempersulit permintaan bahkan “permohonan” dinas pertanian provinsi dan kabupaten untuk ditanami jagung atau kedelai.

          Hemat kami tentulah tidak cukup bertemu pada rapat kabinet dengan presiden. Tidak cukup. Melapor kondisi di lapangan kepada presiden tidak cukup. Tidaaak. Menteri pertanian harus melobi Menteri BUMN berkali-kali. Ya, berkali-kali. Kami appeal kepada menteri hal ini terjadi. Terwujud nyata. Itu kalau bicara ketersediaan pangan alias produktivitas. Di belahan dunia lain bahkan di tangan para doktor di International Rice Research Institute (IRRI)-lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Laguna, Filipina tidak bisa menjawab tentang ketersediaan pangan (beras/padi) akan diperoleh dari varietas unggul semata.

        Indonesia beberapa dekade terakhir menurut hemat kami “ mbelgedes” atau bahasa remaja kini “ah, tau ah guelaaap” itu mengejar produktivitas dengan varietas unggul padi. Pun jagung. Dan juga kedelai yang dibarengi dengan upaya khusus luas tambah tanam atau LTT. Upaya mendapat LTT sudah dicurigai beberapa pihak sebagai langkah gelap atau langkah kelabu. Menggelapkankah? Mengelabuikah? Para aparat terkait di daerah menyiasati LTT itu dengan meng-over lahan padi ke jagung atau sebaliknya, sehingga satu waktu musim tanam komoditas tertentu tidak tertanami lagi karena lahan telah diisi “makhluk” lain.

       Petani pun jengkel menerima “nasib” karena sawah di Indonesia disebut-sebut tidak sampai setengah hektare per kapita atau juga per keluarga.  Hemat hami lahan milik BUMN yang maha luas (dan bisa ditanami komoditas pangan) boleh dipakai oleh petani atau Kementerian Pertanian. Catatan untuk ini adalah bahwa urusan petaninya bisa dibicarakan. Gaji atau upah bisa dibicarakan. Itu pastilah bisa.

        Hemat kami menteri pertanian mampu membuat KOORDINASI dengan Menteri Perdagangan (Menteri Luar Negeri dan Perdagangan?) agar produksi pertanian dibeli (diperjual-belikan) dengan prinsip food for hunger, sehingga para petani yang selalu menuding Kementerian Pertanian “biang kerok” harga jatuh atau pangan langka di pasar tidak muncul lagi atau berangsur bisa dipahami para konsumen. Betul, harga bukan di Kementerian Pertanian, tetapi pada mekanisme pasar alias perdagangan.

          Dan tentu tidak terjadi lagi bahwa Kementerian Pertanian diam-diam dan sedikit terbuka berkata bahwa “kami hanya memproduksi” pangan, urusan pasar di tangan pihak lain. Penjualan dan perdagangan urusan kementerian lain. Tidak begitu lagi. Hemat kami Kementerian Pertagangan (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri) harus punya kas untuk membeli pangan pada level di atas analisa hasil usaha tani. Artinya, harus ada margin untuk petani, seperti apapun analisanya. Mau ada bantuan benih, bagaimana? Mau ada bantuan pupuk, bagaimana? Itu urusan lain.

          Hemat kami Menteri Pertanian mampu melakukan KOORDINASI dengan Kementerian Desa (Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) untuk membentuk lumbung pangan sekaligus (bersamaan-simultan) mewujudkan satu desa satu produk pangan atau dua produk pangan, tetapi disesuaikan dengan topografi daeah setempat serta komoditas yang bersesuaian. Misalnya, komoditas apa yang bisa tumbuh (sesuai) di daerah tertentu pada periode tertentu. Tanam padi? Jagung? Kedelai? Cabai? Atau tanam bawang merah?

         Dengan demikian ketersediaan pangan….sekali lagi keTERSEDIAan pangan bisa terjamin ada. Atau kata sifatnya TERSEDIA di tengah masyarakat petani. Konsumen tinggal ambil atau beli dengan jarak sangat dekat. Bukan di tangan pedagang. Apalagi di tangan spekulan yang sering tertawa bersama dengan para pejabat negara.

       Hemat kami hari ini menteri pertanian mampu melakukan KOORDINASI dengan Kementerian Kehutanan (dan Lingkungan Hidup) agar bisa mengurusi hamparan sagu di berbagai kabupaten atau provinsi. Kami berseru agar diversifikasi pangan atau meminjam ungkapan yang sering dipakai oleh pihak Lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa Urusan Pangan Food and Agriculture Organization atau FAO sebagai food diversification itu (agar keren??) tidak hanya di atas kertas PBB atau di kertas Departemen Pertanian hingga Kementerian Pertanian sejak lebih dari dua dasawarsa silam. Kiranya janganlah dicibir oleh para petani tua (gaek?, bau tanah?) dengan mengatakan “mbelgedes” atas semua kondisi pangan dan hiruk-pikuk suara pejabat yang datang ke sawah-ladang petani dengan petantang-petenteng, tetapi semuanya hanya “mbelgedes” belaka.

       Hemat kami—mengutip pakar yang tidak diperhitungkan oleh anak negeri karena kepentingan bisnis alias komisi penambah pundi-pundi bahwa dengan “merawat” (memanen??)  tanaman sagu persoalan pangan seantero negeri bernama Indonesia selesai sudah. Dan kalau bisa selesai sudah itu tentulah para pejabat negeri mementingkan sagu untuk pangan nasional. Bukan memaksakan beras/padi seperti sekarang. Kata para bijak (yang tulus) hanya dengan sagu persoalan pangan negeri itu berakhir. Beras atau padi yang ada sebagian bisa diekspor dan sebagian lagi dikonsumsi oleh pemakan beras/nasi. Kami berseru atau appeal kami kepada menteri pertanian yang baru agar mampu dan mau melakukan KOORDINASI dengan pihak Kementerian Kehutanan.

         Lalu bagaimana dengan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog atau Bulog? Hemat kami bukan di sini sekarang tempat menggunjingkannya. Mungkin kali lain. Atau mungkin tidak “dipercakapkan” sama sekali di fora editorial ini.  Hemat kami lebih pada pangan yang tersedia. Tersedia sepanjang tahun. Murah. Mudah didapat. Hemat kami hal itu bisa dicapai. Bisa direncanakan. Hemat kami hal itu bisa dieksekusi saat ini. Tentulah. Ya, tentu saja. Untuk itu SELAMAT DATANG MENTERI PERTANIAN BARU DENGAN VISI BARU untuk sektor pertanian dan para petani. Berkoordinasilah. Bersinergilah. Selamat Bekerja. *

               * Henry Supardi Simaremare adalah Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang