Ketua KWT Ngudi Sari Gunung Kidul: Tekun Berjuang Mengolah Singkong Hingga Produksi Mocaf
Monday, 9th November, 2020 | 907 Views

 

Pengantar Redaksi:

 

KEULETAN DAN KETEKUNAN seseorang atau sekelompok orang yang sehati sepengharapan dan satu cita-cita umumnya mendatangkan hasil gemilang dan secara umum pula memberikan kemaslahatan bagi banyak orang. Itulah persisnya yang terjadi pada Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Sari di Desa Kemiri, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Itu juga persisnya dialami oleh Wartini (50), Ketua KWT Ngudi Sari beranggotakan 11 perempuan yang terpengaruh positif menjadi tekun dan bergiat melebihi ketekunan perempuan lain di sekitarnya untuk bertani budidaya ubikayu (Manihot utilissima), memanen, mengolah jadi bahan panganan moderen dan trending dengan puncak bahan olahan modified cassava flour atau mocaf, yaitu tepung ubikayu yang diubah (modifikasi) begitu rupa yang bisa mengganti terigu dari gandum. Di bawah ini tuturan perempuan ‘hebat’ Wartini yang ramah dan cerdas itu. Selamat mengikuti dan menyimak.

       Jauh hari kami tidak mengenal mocaf itu apa. Begitu mendengarnya saya dan teman-teman heran ditambah lagi keterangan bahwa mocaf terbuat dari telo atau ubikayu yang banyak tumbuh di Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan makanan khas masyarakat secara tradisional adalah thiwul, gaplek dan gatot. Ternyata ubikayu itu bisa dibuat menjadi makanan moderen sama dengan makanan para orang yang tinggal di rumah loji (rumah tembok batu). Itulah mocaf yang turunannya bisa untuk beragam kue, roti atau mi.

      Pada awalnya kegiatan ini kami diikutsertakan pada beberapa pelatihan pembuatan mokaf pada 2013. Dan hasil pelatihan itu kami praktikkan di rumah. Hingga tiga tahun atau sampai 2015 kami belum mendapatkan pasar mokaf yang kami buat dan memang untuk memahami pengolahan ubikayu atau singkong atau telo sampai pemasaran kami butuh waktu sekitar tiga tahun itu.

      Artinya, awal-awal selesai pelatihan itu kami hanya praktik dan praktik, namun belum bisa memasarkan mocaf. Selain itu kami juga belum bisa mengolah mokaf sendiri, walaupun pada tahun 2014 kami sudah mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian berupa alat pembuatan mocaf, tetapi kami belum memahami persis seperti apakah sebenarnya mocaf itu dan siapa konsumennya. Ketika itu kami hanya produksi mockaf saja, tapi belum mampu memasarkannya.

       Bahan baku mocaf adalah dari singkong atau ubikayu segar yang sudah dikupas kemudian dicuci dengan bersih. Tidak ada kotoran sama sekali.  Kemudian diserut atau dipotong tipis-tipis lalu direndam selama 72 jam  dengan proses fermentasi, yaitu air rendaman biasa yang sudah dicampur dengan serbuk enzim starmoc yang berfungsi mengubah bentuk, rasa dan kandungan ubikayu.

         Pencampuran perendaman itu antara lain sebanyak 250 gram enzim starmoc dengan untuk singkong sebanyak 500 kilogram (kg). Setelah perendaman sekitar 72 jam ubi kayu tersebut dicuci kembali lalu ditiriskan kemudian dijemur selama 3 hari. Atau tergantung pencahayaan matahari. Kalau mata hari memancarkan panas sepanjang hari tiga hari itu bisa kering, tetapi kalau kurang bisa sampai 5 hari baru kering.

      Dan harus kering betul agar mocaf yang dihasilkan tidak berubah warna dan tidak berbau apek. Penggilingan dilakukan sekali proses saja sudah bisa menjadi tepung mocaf. Kalau terlanjur tidak ada panas yang cukup, mutu mocaf sangat rendah dan masih bisa dipasarkan, tetapi harus cepat terjual dalam waktu yang cepat. Dan apabila lama belum terjual, kami tidak menjualnya lagi ke pasaran, tetapi kepada tengkulak untuk pembuatan gaplek. Tentu saja harganya rendah.

      Namun pada 2018 sampai sekarang 2020 ini kami belum pernah mempunyai tepung mocaf yang lama di gudang. Setelah produksi sudah cepat habis. Ada pesanan di sekitar Gunung Kidul. Ada juga ke provinsi lain. Bahkan peminat dari kawasan Jakarta-Bogor Bekasi-Depok dan Tangerang juga banyak. Masyarakat yang langsung datang ke Desa Kemiri ini juga banyak. Produk tepung mocaf itu ternyata sudah bisa menggantikan tepung terigu. Kami senang karena bisa membuat atau mengembangkannya.

     Hal itu memang tidak mudah. Selain kami semula tidak paham, masyarakat sekitar juga mencibir dengan mengatakan apa mocaf? Apa mocaf? Telo ya telo. Kalau perlu tepung ya terigu. Begitu banyak suara yang kami dengar. Pokoknya tidak mengenakkanlah cibiran orang. Namun, karena ada pendampingan ditambah lagi ada bantuan alat dari berbagai pihak kami bisa bertahan. Makin percaya diri pula setelah kami mendapatkan bantuan unit pengolah hasil atau UPH dari Kementerian Pertanian.

     Kapasitas mesin untuk menggiling sekarang ini sekitar 500 kg untuk satu kali proses. Perlu diketahu bahwa tepung mocaf itu tidak sama dengan tepung kanji. Sebab, kalau tepung kanji itu berasal dari endapan singkong yang diparut, sedangkan tepung mocaf bukan dari parutan melainkan dari irisan atau chip atau potongan-potongan kecil yang sudah difermentasi kemudian dijemur kering lalu digiling dan didapatlah tepung yang berwarna putih melebihi warna tepung terigu.

 UPH Hadir Ada Perubahan Pendapatan

      Setelah bertahun-tahun akhirnya saya dan beberapa teman mempunyai atau kepintaran mengolah tepung mocaf dan sekaligus semakin banyak peminat dari berbagai kalangan. Hal ini sangat menggmbirakan para perempuan di desa kami yang tergabung d KWT Ngudi Sari. Ternyata pasar untuk tepung mocaf terbuka lebar hingga ke kota-kota besar. Kami para perempuan ndeso sesungguhnya tidak habis pikir. Kok, nggaweane wong ndeso iso payu ning kuto? Lha piye to, saban minggu wonten mawon tiyang kalih poro pejabat mriki mirsani proses pengolahan tepung mocaf.  Ngandikane kok cantik tepunge luwih seko terigu. (Kerjaan orang desa bisa laku di kota? Bagaimana ya, setiap minggu ada saja orang dan juga para pejabat yang ingin melihat proses olah mocaf. Katanya tepung mocaf kok cantik melebihi tepung terigu).

      Pendapatan kami dan keluarga lainnya memang bertambah. Bahan baku mentah kami beli dari warga yang tanam ubikayu di desa ini atau di desa lainnya seharga 1.500 rupiah per kg. Kalau di pasar harganya hanya 700 rupiah per kg hingga 800 rupiah per kg. Jadi, petani juga senang dan mendapatkan keuntungan dibandingkan kalau mereka menjualnya ke pasar. Kami akhirnya menjalin kemitraan dengan para petani yang senang dengan kami.

     Kalau tidak cukup, kami mengambil dari kabupaten lain. Itupun kalau mutu ubikayu itu baik. Sebab, ada saja ubikayu yang tidak baik. Misalnya, dipanen terlalu muda atau terlalu tua. Jika ubi kayu itu dibuat tepung mocaf, setiap satu kilogram ubikayu segar akan didapat 3 ons irisan atau chip untuk mocaf maupun tepung mokaf. Dan untuk 3 ons itu kami jual ketika pas musim panen senilai 3.900 rupiah, tetapi untuk satu kilogram tepung mocah dijual seharga  13.000 rupiah.

      Dari 2,5 ton singkong basah itu kami mampu menghasilkan mocaf sekitar 7 kuintal  atau sekitar 700 kilo tepung  mokaf, tapi kami melakukan penyimpanan di dalam gudang berupa chip atau potongan. Bukan tepung mocaf, agar lebih tahan lama proses penyimpanannya. Sebab, kalau disimpan dalam bentuk tepung nantinya akan bau apek dan ada ulatnya.

      Setelah kami mendapat bantuan beberapa jenis UPH dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian kami bisa memproduksi tepung mocaf sekali proses 2,5 ton. Itu untuk waktu satu minggu yang berarti untuk satu bulan kami bisa memproduksi mocaf dan tepung mocaf sebanyak 10 ton. Memang dalam proses merajang kapasitas mesin kami hanya bisa  2.5 ton dalam satu jam.

      Namun, lama proses pembuatan mocaf di perendaman dan penjemuran  itu diperlukan waktu satu minggu. Hal itu terjadi karena tempat perendaman yang masih terbatas beserta lantai jemur yang masih terbatas pula. Jadi, kemampuan kami saat ini hanya sekitar 10 ton itu. Jika bak perendaman bisa bertambah dan lantai jemur diperluas mungkin kami bisa berproduksi lebih banyak lagi dari sekarang ini.

  Dari Keuntungan Bisa Tabung

      Modal awal ketika mengerjakan mocaf ini sebelum mendapatkan bantuan dari berbagai pihak adalah 100.000 rupiah. Dengan uang  segitu kami sudah mendapatkan ubikayu satu kuintal. Kami melakukan pengupasan dan pengirisan secara manual, pelatihan untuk pengolahan mocaf itu kami dapatkan dari Dinas Pertanian Malang yang diselenggarakan di Wonosari, Gunung Kidul kemudian kami mempraktikkan sendiri di rumah. Ilmu itu saya ajarkan juga kepada anggota kelompok KWT Ngusi Sari yang lain, namun semua kegiatan kami berpusat di sini. Anggota yang lain ikut membantu memproduksi mocaf dan turunannya di sini.

       Adapun kendala yang kami hadapi sekarang adalah lantai atau rumah penjemuran. Selain kekurangan tenaga kerja untuk menjemur lalu mengangkat dari jemuran, rumah jemur tidak cukup untuk menjemur bahan baku sesuai kebutuhan atau kapasitas mesin. Tenaga kerja yang ada di KWT Ngudi Sari hanya lima orang. Semuanya anggota KWT Ngudi Sari dan keuntungan yang didapat dibagi bersama.

      Setelah ada bantuan UPH ini keuntungan yang saya dapatkan setiap kali proses satu kali produksi  1.500.000 rupiah  selama satu minggu. Keuntungan yang didapat sebagian dimasukkan ke kas kelompok dan sebagiannya lagi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Harapan kami ke depan bisa berproduksi lebih banyak lagi agar mendapat keuntungan lebih besar lagi.

       Sebab, keuntungan yang ada sekarang ini belum besar, sehingga untuk menambah alat-alat lagi kami belum mampu dan harus menabung lebih dulu. Jika boleh berharap kami meminta bantuan berupa lantai atau rumah penjemuran sekaligus mengantisipasi musim hujan. Satu lagi yang kami perlukan adalah alat untuk pengemasan yang bisa tekan udara, sehingga hasilnya bisa bertahan lebih lama dan harga bisa stabil atau mantap. *sembada/rori/henry

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang