Karena Gagal Panen Beras Harus Impor Rice Estate Jawaban Swasembada Padi
Friday, 30th August, 2019 | 1403 Views
|
Oleh Henry Supardi Simaremare,BSc,SH
Henry Utk Editorial

Henry Supardi Simaremare,BSc,SH (Foto:sembada/rori)

TERNYATA Indonesia harus mengimpor beras pada Januari 2018 ini. Faktanya, beras atau produksi padi (gabah) tidak mencukupi untuk supply (pasokan) atas demand (permintaan), sehingga dengan “terpaksa” Indonesia harus impor beras dari Thailand dan Viet Nam sebanyak 500.000 ton. Artinya harga beras yang melambung disebabkan tidak ada pasokan. Ini luar biasa di tengah ambisi Kementerian Pertanian mengejar swasembada pangan dan kenyataannya telah “diumbar” atau dideklarasikan bahwa swasembada pangan beras (padi) pada 2017 telah diraih? Seolah memutar balik putaran jam, predikat swasembada beras itu adalah nonsense, jadi semua Eselon I Kementerian Pertanian harus reshuffle alias diganti.

Kenapa? Kami harus katakan dan kami harus tegas mengatakan bahwa memang pada 2017 yang lalu itu Indonesia melalui Kementerian Pertanian belum meraih swasembada beras itu. Dan swasembada beras tidak akan tercapai kalau hanya mengandalkan perluasan areal tanam (PAT) dan varietas unggul padi untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi hingga 8 ton per hektare (ha) atau hingga 10 ton per ha. Subsidi alat dan mesin pertanian (alsintan) banyak tidak terpakai karena tidak bisa mengoperasikan. Tidak disiapkan sumber manusia (SDM) untuk menghelanya.

Editorial ini sengaja panjang-lebar tanpa bermaksud menggurui siapapun. Tidak. Hemat kami adalah bahwa kami berbagai untuk petani dan sektor pertanian agar Indonesia mampu menuju kedaulatan. Agar petani Indonesia berdaulat ekonomi dan taraf hidup. Kami sudah sering mengatakan—dan kini kami ulangi lagi—pertambahan penduduk yang sangat tinggi hingga 1,6 persen per tahun atau sekitar 4 juta jiwa per tahun SELALU DIABAIKAN Kementerian Pertanian, sehingga tenang-tenang saja hanya mengandalkan varietas unggul dan PAT. Pertambahan populasi yang paralel dengan pertambahan pangan sesuai dengan teori abadi Malthus tidak menjadi referensi untuk membuat perencanaan akurat.

Kami, kepada beberapa menteri sebelum Menteri Andi Amran Sulaiman sudah sering melontarkan tentang rice (paddy) estate kalau ingin dan proudly dengan program swasembada pangan padi-beras. Pernyataan tentang rice estate itu juga beberapa kali disampaikan kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman termasuk vegetables estate dan cane (sugars) estate atau perkebunan tebu. Indonesia sudah dipastikan sulit mencapai swasembada padi-beras kalau hanya mengandalkan petani. Pada 2004 atau 13 tahun lalu Departemen Pertanian mencatat jumlah petani Indonesia 22 juta kepala keluarga (KK) yang setara dengan sekitar 84 juta jiwa dengan empat jiwa untuk satu KK. Dan pada 2017 atau 2018 ini jumlah itu makin merosot karena sudah berusia lanjut dan anggota keluarga yang lebih muda lebih memilih hijrah ke kota daripada bertani. Ada anggapan bahwa bertani adalah mencangkul dan bercocok-tanam. Begitu juga petani sayur-mayur dan petani tebu. Petani untuk padi-jagung-ubi dan hortikultura serta tebu adalah orang yang sama termasuk peternak. Jadi, apa yang akan diharapkan untuk swasembada dari petani “gado-gado” atau petani “lodeh’ dengan produktivitas man hour yang tinggi? Tidak…tidak ada!!

 

Penyelundupan Tak Terlacak Bea Cukai

Negara Viet Nam belajar bertani ke Indonesia. Juga Thailand. Begitu gemilang “mencuri” ilmu Indonesia dan membuai menina-bobokkan Indonesia sebagai Negara besar dan “hebat”, Vietnam membangun pertaniannya dengan rice estate yang sangat signifikannya untuk swasembada beras seantero negeri mereka sekaligus untuk ekspor beras ke Indonesia, seperti puluhan tahun lalu hingga 2018 ini. Kami pernah menyebut—sekadar histori satiris—persoalan beras Indonesia bisa diselesaikan ibarat membalik-balik telapak tangan, yaitu buka lahan satu hamparan seluas 100.000 ha di Provinsi Jambi dan 100.000 ha di Provinsi Sumatera Utara bagian timur (kini Kabupaten Batubara) atau di Provinsi Sumatera Selatan.

Lalu buka lahan seluas 250.000 ha di Sulawesi Selatan (perluasan lahan yang ada Kabupaten Maros dan Pinrang) dan 250.000 ha lagi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kemudian di Provinsi Irian Barat (kini Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat)  seluas-luasnya. Berapa? Minimal 300.000 ha hingga 5.000.000 (lima juta) ha. Itu diserahkan (=dipaksa) kepada pengusaha. Namun, juga bisa kepada pemerintah daerah. Tameng undang-undang (UU) khusus, tamen UU Otonomi bisa dikesampingkan dengan menghadirkan UUD 1945 itu.

Bisa? Pada waktu itu bisa? Jawabannya bisa. Tetapi,  political will pemerintah tidak ada. Dan selanjutnya juga political will pemerintah tidak ada, kecuali untuk berdagang, seperti saat ini di 2018 dengan mengimpor beras. Kelangkaan dan harga beras yang tinggi saat ini—apapun istilah pemerintah, apakah beras keluarga miskin atau keluarga melarat atau beras kelas medium, apalagi kelas premium—adalah bagian tak terpisahkan dari warisan “berdagang” tadi. Termasuk berdagang ala penyelundupan di Provinsi Riau yang terus marak dan tidak bisa diawasi dan ditindak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui Direktorat Penindakan dan Penyidikan.

Pada waktu sekarang bisa? Jawabannya bisa. Tetapi, Menteri Andi Amran mengabaikan itu. Atau melupakan itu. Hemat kami perluasan areal tanam atau PAT itu tidak bisa diandalkan dan diserahkan kepada petani walaupun didampingi penyuluh. Penyuluh? Konon di berbagai kabupaten, penyuluh lebih banyak jadi “penonton” dan berdagang benih, pupuk dan racun tanaman daripada melakukan pendampingan tentang pertanian moderen yang mandiri. PAT itu harus dengan pengusaha dengan memberi fasilitas atau berbagai kemudahan termasuk pajak. Bahkan fiskal lainnya. Dan di pihak lain, dipastikan Direktorat Penindakan dan Penyidikan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pasti bisa. Itu kalau mau. Itu kalau ada political will pro petani atau pro rakyat.

Rice Estate, Hortikulutra Estate dan Cane Estate

Untuk itu—hemat kami pula—pemerintah bisa membuat regulasi atau apapun namanya daripada pemerintah (Kementerian Pertanian) sendiri hanya berkelit keterbatasan lahan yang dimiliki petani hanya sekitar 0,3 ha atau kurang dari setengah hektare membuat sulit meraih ketersediaan pangan untuk kedaulatan pangan nasional. Sekali lagi perlu regulasi atau apapun namanya. Ya, apapun namanya. Atau bisakah pemerintah menjawab pertanyaan: mengapa setiap sekitar 3.000 ha hingga 5.000 ha kebun sawit harus ada (punya) satu pabrik kelapa sawit atau PKS). Atau setiap 10.000 ha harus ada PKS? Kenapa tidak dianalogikan regulasi bahwa bagi pengusaha (konglomerat) yang punya rice machine unit (RMU) harus punya lahan minimal 3.000 ha atau 10.000 ha?

Artinya apa? Syarat kepemilikan atau pendirian RMU harus punya lahan paling sedikit 10.000 ha. Bahkan minimal 100.000 ha, sehingga para konglomerat Indonesia itu tidak mengandalkan gabah petani yang hanya memiliki kurang dari setengah hektare itu. Jadi, apa jawaban pemerintah kalau begini? Apa jawaban Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas? Dalam satu hal terkait political will di tahun politik ini, kami masih mendukung program Menteri Pertanian Andi Amran. Namun, ada syarat dukungan kami.

Pertama, evaluasi atau pelibatan (participated) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam budidaya dan pacapanen serta audit dana dari Anggaran dan Pendapatan Negara (APBN) untuk TNI yang sangat besar. Dua hal itu—evaluasi dan audit itu sangat berkaitan dengan resistensi kepala dinas pertanian dan lainnya di daerah. Kedua, pejabat tinggi di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan haruslah figur the man for the right order atau the right person for the programme of rice astate. Bukan the right man to be proudly for command dengan feed-back yes sir atau ya tuan yang mulia, padahal seusai yes itu muncullah ungkapan peduli amat. Bukan itu. Bukan tipe pemimpin semacam itu. Mengapa? Akibat dari “yes sir” itu di daerah-daerah terjadi resistensi yang luar biasa tentang PAT, tentang upaya khusus (Upsus) padi, jagung dan kedelai dari kepala dinas pertanian atau dinas tanaman pangan. Bukan kemitraan antara pusat dan daerah.

Ketiga, pejabat di Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian juga haruslah orang yang mengikuti perkembangan budidaya inovatif internasional. Bukan pejabat yang bermuasal dari like and dislike oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian alias konco-berkonco alias karena klik kepentingan golongan semusim. Virus-virus tanaman hingga kini tidak bisa diselesaikan, padahal sangat merugikan petani hortikultur di hampir seluruh Indonesia. Begitu luas lahan untuk budidaya hortikultura dan pada pasca panen bisa disimpan di silo berkapasitas besar untuk kebutuhan sepanjang tahun.

Berpihak Kepada Pedagangkah?

Di Direktorat Jenderal Hortikultura haruslah pejabat dengan kapasitas bukan jago habiskan anggaran dengan muhibah on the spot ke daerah lalu buat laporan beres dan beres. Laporan ada sentra, padahal lahannya adalah untuk padi. Atau untuk jagung. Atau untuk dedelai. Bahkan untuk ubi kayu. Karena hal ini tentulah akan mengandalkan impor dan itu akan dimanfaatkan para saudagar atau pedagang. Orang atau leader yang dijabatkan di Ditjen Hortikultura itu harus sama dengan yang di Ditjen Tanaman Pangan, yaitu punya visi dan wawasan mendunia yang mampu menuntun petani move-on mulai dari hulu ke hilir termasuk penyediaan lahan yang pas, cukup dan berkesinambungan untuk sayur mayor dan buat. Artinya, harus bisa membawa petani Indonesia berkompetisi dengan sayur-mayur dan buah internasional termasuk tegak-tegar-kukuh di World Trade Organization (WTO) untuk urusan petani Indonesia.

Karena yes sir di daerah itu, maka data yang muncul jadi sumir alias palsu sebagaimana dipersoalan oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi atau PATAKA bahwa Mudah Memainkan Data Pangan. Pembohongan Publik? Tetapi, kenapa Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Kontak Tani Andalan Indonesia  (KTNA) serta Masyarakat Agribisnis-Agrobisnis Indonesia (MAI) mendiamkan statement data yang mudah dimainkan itu? Kenapa organisasi petani dan pertanian itu bisu sepuluh kata? HKTI, KTNA dan MAI mengapa tidak menggubris pernyataan itu. Ada apa?

Dan ada apa dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi pangan itu? Saat reses, kalau berkunjung ke daerah lalu memandangi dedauanan padi menguning dan dedauanan sayur-mayur yang menghijau sudah happy sepanjang tahun? Begitu pejabat HKTI, KTNA dan MAI? Kalau ke daerah apakah hanya untuk piknik dan foto-foto? Lalu berpihak kepada siapa organisasi ini. Berdagang? Pedagang? Allahualam bisawab.

* Henry Supardi Simaremare-Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang