Heran Kenapa Lolos Deteksi Karantina Serangan Ulat Grayak “Spodoptera Frugiperda” Sangat Dahsyat
Wednesday, 8th January, 2020 | 1210 Views

SELURUH petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) sungguh heran melihat kenyataan ada ulat baru yang “aneh” dengan gejala pemusnahan tanaman jagung (Zea mays) yang sangat masih. Keheranan kami tidak terhenti bertanya mengapa ulat gayak yang belakangan diinformasikan dari Amerika dengan nama Spodoptera frugiperda bisa lolos deteksi kekarantinaan. Soal itu Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Banten Luki Saptaji,SP,MSi bicara kedahsyatan serangan ulat itu. Juga berbicara Kepala Brigade POPT-BPTPH Muh.Gunawan,SP yang didampingi Koordinator POPT-BPTPH Umar Said,SP serta Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Pengendalian OPT, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Gandi Purnama, SP,MP. Responsi mereka seperti berikut ini.

     Luki cerita, wajar saja kami bertanya dan heran karena ulat itu pertama masuk di Provinsi Banten, yaitu di wilayah pantai Anyer yang banyak perusahaan pengolah pakan tenak dengan bahan baku jagung impor. Ini bersamaan dengan penghentian impor jagung dari Amerika Serikat (AS) karena Indonesia sudah bisa memproduksi jagung. Semua petugas POPT telah bergelut siang malam menghadapi ulat grayak Amerika itu. Sangat ganas. Sangat banyak.

  Kalau terkait serangan ulat Amerika sekarang ini perhatian kami fokus terhadap pengendaliannya. Ulat itu diketahui merajalela di Provinsi Banten sekitar Mei 2019, tetapi  serangan awal sudah terdeteksi pada Maret di wilayah Anyer. Kami melaporkan kepada pengambil keputusan. Lalu kami bekerjasama dengan pihak Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menugaskan tim pengamatan hama ke lapangan. Kamudian dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian dan juga Badan Karantina, Kementerian Pertanian. Kenyataannya diketahui bahwa serangan ulat grayak Amerika Spodoptera frugiperda sudah ada di beberapa kabupaten di Provinsi Banten, seperti Kabupaten Banten, Lebak dan Kabupaten Serang.

Organisme Pengganggu Tanaman Karantina

    Di rentang waktu hingga Mei 2019 kami terus memantau serangan yang sudah mulai mencemaskan petani di wilayah-wilayah lain yang ada pertanaman jagungnya. Kami laporkan kepada pihak Dinas Pertanian Provinsi dan Direktorat Perlindungan kemudian ke Badan Karantina, Kementerian Pertanian. Sebab, serangan ini semacam organisme penganggu tanaman karantina (OPTK) termasuk OPTK baru.

       Seharusnya deteksi awal sudah ada. Semestinya hal itu ada di tangan para detektor atau kawan-kawan karantina. Namun, justru yang menemukan ulat grayak itu adalah kawan-kawan yang di bagian OPT. Setelah itu baru sibuk pejabat karantina, seperti dari Balai Besar Karantina Soekarno-Hatta dan Balai Karantina Cilegon, Banten.

      Semua pihak yang terkait dengan tanaman pangan melakukan monitoring tentang pemunculan ulat grayak Amerika itu kemudian diumumkan positif serangan ulat grayak Spodoptera frugiperda di Indonesia. Lalu kami bersama-sama dengan para peneliti senior dari IPB Bogor ke lapangan bersama-sama.

    Dipastikan serangan ulat grayak itu sangat ganas. Kemudian kami mengirim nota dinas ke Dinas  Pertanian Provinsi Banten dan selanjutnya nota kewaspadaan juga dikirim pihak Dinas Pertanian Provinsi ke kabupaten-kabupaten. Satu di antara isinya adalah menunda dulu pertanaman jagung. Tanaman yang sudah ada akan dicoba dikendalikan semaksimal mungkin dengan pestisida yang menurut kami efektif. Tetapi, kenyataannya tidak bisa. Ulat itu sangat kuat.

     Kami telah coba semprot dengan peptisida yang ada dan yang menurut literatur itu memang untuk ulat gerayak. Ternyata di lapangan tidak efektif dan mujarab membasmi ulat gerayak yang satu itu. Contohnya, untuk instar atau siklus 4 ke atas, pestisida yang ada di gudang kami tidak mampu lagi. Ulat itu tidak mati. Memang pada instar 1 hingga instar 3 masih bisa mati. Namun, memasuki instar 4 tidak bisa. Tidak mempan. Hal itu disebabkan karena ulat telah melindungi dirinya dengan lapisan zat lilin, sehingga pestisida tidak mampu membunuhnya.

      Tahapan ulat grayak itu ada 8, yaitu instar 1 sampai 6 kemudian jadi pupa terus imago. Ukuran 4 sampai 6 sudah susah untuk dikendalikan karena lapisan lilin di tubuhnya. Bahkan untuk menguji kekuatannya ulat itu direndam pada larutan pestisida, tetapi tidak mati juga. Ulat ini mampu bertahan. Hal yang sangat mengherankan adalah bahwa pola makannya yang luar biasa ‘rakus’ merusak calon daun atau titik tumbuh jagung. Bahkan ulat grayak aneh itu mempunyai sifat kanibal atau memakan sesamanya. Dalam satu titik tumbuh tanaman  ulat hanya satu ekor walau sebelumnya ada beberapa ekor.

     Kami buktikan itu. Kami memasukkan beberapa ekor ulat grayak ke dalam stoples berisi beberapa lembar daun jagung muda. Kenyataannya ulat ini tidak memakan daun jagung yang menjadi makanannya, tetapi memakan instar atau ulat grayak yang lebih kecil. Dalam hal ini kami ingin katakan bahwa tindakan pengendalian telah dilakukan maksimal, namun tidak bisa membasmi ulat itu.

       Intinya pemerintah hadir di saat ada serangan dan di saat petani menghadapi kesulitan petugas ada bersama petani. Walaupun kami belum menemukan formula yang pas untuk membasminya, tetepi pemerintah telah hadir. Kalau instar yang masih muda antara 1 sampai 3 bisa mati jika kita lakukan pengendalian, namun harus dilakukan dengan ketelitian yang tinggi tidak asal semprot saja. Harus betul-betul mengenai  si ulat gerayak tersebut.

     Memang kami mendapat bantuan racun dari pihak Dewan Jagung Indonesia, tetapi sifatnya masih uji coba karena ada penundaan pertanaman sampai September ini. Kita bayangkan selama empat bulan tidak ada pertanaman jagung sejak Juni. Tetapi, pada September diperkirakan tidak ada lagi dan sudah tenang, kenyataannya musim tanam serangan ulat itu ada lagi. Apalagi sekarang sudah memasuki musim penghujan petani sudah bersemangat lagi untuk tanam, ternyata  pada usia muda sudah diserang.

Racun Generik Tidak Mempan

     Di BBHTP Provinsi Banten  sudah ada racun atau pestisida generik, ternyata juga tidak mempan untuk membasmi ulat gerayak stadia 5 dan 6. Memang tipe ulat grayak baru itu berbeda dari ulat gerayak yang sudah ada di Indonesia. Jadi, belum ada pestisida khusus untuk ulat baru yang masuk ke Indonesia ini. Racun yang ada hanya mempan untuk ulat fase muda atau pada penanganan awal. Itupun tidak bisa mencakup tanaman yang begitu luas.

    Nah, ada informasi pada Oktober 2019 ada racun baru yang terdaftar di Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian. Ijin dan syarat lainnya sudah ada, tetapi disebut-sebut harganya mencapai 3,5 juta rupiah per kilogram (kg). Itu sangat mahal. Tidak sesuai lagi dengan biaya produksi bagi petani. Kalau menurut saya kalau situasi seperti ini lebih baik dieradikasi saja atau dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditebas. Tidak ada cara lain untuk memutus serangan ulat yang sangat ganas itu.

Kembali Ke Budidaya Tanaman Sehat

     Saya sangat setuju dengan teknologi budidaya tanaman sehat yang pernah membuat Indonesia berjaya di era 80-an hingga 90-an. Tentu tidak ada salahnya kalau diterapkan pada tanaman jagung dengan mengembalikan fungsinya ke alam. Kita tidak usah malu. Tetapi, kini karena banya kepentingan termasuk juga bagaimana izin menjual pestisida, ya seperti inilah jadinya. Saya sendiri sudah konsekuen dengan para staf di teman BPTPH  akan mengajukan moratorium produksi peptisida agar tidak perlu ada lagi izin kecuali untuk hayati. Sebab, ALAM KITA SUDAH LAMA SAKIT yang tidak bisa lagi menghasilkan seperti rencana atau harapan.

     Lihat saja pada tanaman padi konvensional. Dengan berbagai macam alat dan upaya, profitas hanya 5,7 ton per hektare (ha) atau paling tinggi 6 ton per ha. Tetapi, ketika kita mencoba dengan budidaya tanaman sehat dengan mengembalikan ekosistem yang diperbaiki kemudian tesktur tanah juga diperbaiki, hasil atau produksi jadi tinggi. Ada yang mencapai 11 ton per ha. Nah, jagung mestinya juga bisa seperti ini. Namun, memang harus ada semacam starter karena jagung itu banyak di lahan kering dan pupuk anorganiknya. Jadi, kalau itu dilaksanakan pasti akan baik kemudian ekosistem juga pasti akan baik.

Jika Dimusnahkan Dana Ganti Rugi Tidak Ada

     Menurut Gunawan, Kepala Brigade POPT, sesungguhnya pengendalian organisme pengganggu tanaman karantiana atau OPTK Spodoptera frugiperda atau ulat gerayak model baru secara spesifik belum ada. Pestisida yang kami pakai untuk Spodopter litura hanya bisa mempan untuk instar 1 dan 2. Tetapi, mulai dari instar atau fase perkembangan 3 sampai 6 tidak bisa lagi, padahal ulat gerayak fase 1 dan 2 ulat ini menyerang titik tumbuh tanaman jagung, sehingga terjadilah puso atau tanaman mati.

     Kalau ulat gerayak litura hanya memakan bagian luar, yaitu daun saja. Dan ulat gerayak baru atau OPTK itu memakan titik tumbuh tanaman jagung, sehingga mengganggu pertumbuhan dan masa produksi. Hingga kini populasi OPTK  atau ulat baru itu baru bisa diturunkan, intensitas serangan berkurang walau tidak sesuai harapan. Pada panen yang lalu produksi jagung merosot hingga 20 persen.

   Tambahan pengendalian ulat grayak OPTK ini disampaikan oleh Umar Said, Koordinator Petugas POPT dengan mengatakan bahwa ulat grayak apapun tergolong hewan naturna atau hewan yang aktif pada malam hari. Kalau populasinya rendah binatang itu masuk ke tanah pada siang hari. Tetapi, jika populasinya tinggi pada siang hari pun tetap makan apalagi malam hari, sehingga pengendalian itu efektifnya pada sore hari sampai malam hari. Ulat frugiperda maupun litura keduanya sama. Pengendaliannya efektif dilakukan pada sore sampai malam hari. Semestinya petani rela menumpas ulat baru itu pada malam hari. Kenyataannya tidak mau. Itu juga menjadi permasalahan dalam rangka melawan ulat yang sangat ganas itu.

     Cuma permasalahannya di lapangan, petani kalau disuruh kerja pengendalian di sore sampai malam hari susah. Untuk menyiasatinya kami melakukan gerakan pengendalian pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Nah, waktu segitu petani mau melakukan pengendalian dengan harapan jagungnya tidak puso. Kalau kita tegas untuk memusnahkan tanaman jagung petani yang telah terserang ulat gerayak, permasalahannya petani tidak mau karena di dalam satu hamparan misalnya 1 ha tanaman jagung petani  yang puso atau terserang ulat hanya sekitar 100 meter persegi.

      Memang kami telah sarankan kepada petani untuk memusnahkan semua tanaman jagung agar tidak menyebar ketanaman lain, tetapi para petani meminta kompensasi kepada kami, semacam ganti rugi. Ya, serba susah memang. Kalau dimusnahkan, para petani minta ganti rugi, padahal pemerintah tidak menyediakan dana untuk semaam itu. Dan kalau dibiarkan serangan hama baru itu akan menyebar ke berbagai wilayah dan daerah. Hal semacam ini memang malah sangat berbahaya bagi petani lain karena tanamannya terancam musnah.* sembada/rori/henry

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang