Dinastan Gunung Kidul: Kelompok Tani Singkong Berpotensi Maju Dengan Pasar Jelas Diberi Peluang dan Dikawal Hingga Mandiri
Monday, 9th November, 2020 | 781 Views

TUGAS DAN FUNGSI atau tupoksi pemerintah kepada warganya sangat jelas, yaitu melayani kebutuhan masyarakat mulai dari kebutuhan informasi hingga kemandirian meningkatkan taraf hidupnya. Pemerintah mendukung anggota masyarakat membentuk kelompok, sehingga kebutuhan mereka bisa dibantu. Kelompok tani yang berpotensi maju dengan pasar jelas diberi peluang dan dikawal hingga mencapai kemandirian. Dan itulah yang diraih Kelompok Wanita Tani (KWT) Ngudi Sari, Desa Kemiri, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

       Terkabarlah ada kegiatan warga yang mengolah hasil bumi menjadi kerupuk di pelosok sebuah kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Panganan kerupuk itu merupakan bagian dari lauk masyarakat, sehingga ada saja warga masyarakat yang menekuninya.  Ditekuni bertahun-tahun tanpa malu, tanpa segan dan pendanaan dengan sekadarnya yang jauh bila disebut modal kerja. Warga yang tekun itu adalah seorang perempuan paruh baya bernama Wartini yang kini telah berusia seperempat abad atau 50 tahun.

       Produk kerupuk yang terbuat dari ubikayu atau singkong juga lazim disebut Manihot utilissima itu menjadi embrio dari usaha Wartini. Kerupuk yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat saat menyantap hidangan maupun ngemil itu persebarannya harus diperluas. Artinya, kerupuk adalah kebutuhan keseharian.

        “Jadi, pembuatannya harus didukung dan perlu dibina walaupun dengan kapasitas dan volume yang masih sedikit dan sederhana. Kami akan selalu pantau. Dan beberapa tahun lalu hal itulah yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul terhadap KWT Ngudi Sari yang dipimpin oleh Wartini. Hingga 2020 ini tetap dikawal,” demikian penjelasan Kepala Seksi Pengolahan Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul Soes Tiwiningsih,STP kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di Desa Kemiri, Kecamatan Tanjung Sari, Gunung Kidul, baru-baru ini. Ia didampingi oleh Kepala Seksi Pemasaran Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul Fardiana Ekasari,SP.

       Kenapa dikawal gerangan? Ya memang, demikian Tiwiningsih, pemerintah perlu mengetahui persis apakah KWT Ngudi Sari itu tetap bergiat dan pengolahannya jalan. Kenyataanya para perempuan di Desa Kemiri tidak surut oleh situasi dan kondisi pola makan moderen. Potensi mereka bagus, sehingga harus dibina dan diperkuat melalui pendampingan dan pengawalan.

      Contoh potensial kegiatan KWT Ngudi Sari, menurut Tiwiningsih, adalah  produksi krecek atau menggleng yang berbentuk makanan yang makin moderen. Kalau bentuk sederhananya hanya singkong rebus, namun masyarakat setempat memodifikasi dengan cara mengiris-iris tipis dibumbui ala kadarnya lalu dijemur kering kemudian digoreng.

      “Ini merupakan pangan favorit penduduk di wilayah kami. Biasanya makanan ini mempunyai berbagai nama seperti menggleng, balung ketek atau krecek itu sama saja. Hanya sebutannya yang banyak,” Tiwi bercerita seraya menambahkan bahwa di setiap desa di seluruh kabupaten ada kegiatan warga untuk mengolah makanan. Kecamatan Tanjung Sari berjarak sekitar 52 kilometer dari Yogyakarta.

Tuntutan Mutu Menuju Produk Mocaf

      Selain dari membuka peluang kepada para wanita, pihak Dinas Pertanian Gunung Kidul juga makin mengenali kelompok wanita yang sudah mempunyai kegiatan-kegiatan pengolahan sederhana di setiap desa. Arah dan persebaran produk olahan dipantau. Kelompok yang main maju dan pengurusnya makin berpikir untuk lebih maju dibina agar menerapkan pola mutu. Sebab, pada gilirannya masyarakat konsumen akan melihat seperti apa mutu kerupuk yang dihasilkan itu.

    Tiwiningsih mengungkapkan bahwa baru pada 2015 Dinas Pertanian Gunung Kidul mengunjungi kegiatan KWT Ngudi Sari, yaitu untuk pembuatan mocaf atau modified cassava flour atau modifikasi tepung singkong yang lazim dan populer dikenali masyarakat dengan sebutan mocaf saja.

     “Embrionya adalah pembuatan krecek atau menggleng lalu anggota KWT Ngudi Sari dilatih meningkatkan mutu olahan ubi kayu menjadi thiwul langsung konsumsi atau instan atau gatot instan agar lebih tahan lama. Juga gaplek. Bahkan agar bisa dibuat menjadi oleh-oleh. Buah tangan atau cinderamata. Perkembangan tidak terlalu lama kemudian memasuki produk macaf tersebut. Teknologi mocaf bisa diterima dan diterapkan para perempuan tanpa kesulitan,” kata Tiwiningsih.

      Ia menambahkan bahwa pelatihan para perempuan desa hampir di seluruh kabupaten. Hingga 2020 ini ada 13 kelompok tani yang diurus para perempuan. Namun, dari jumlah itu yang bergiat tanpa henti hanya lima kelompok wanita termasuk yang paling produktif KWT Ngudi Sari di Desa Kemiri. Di kawasan Desa Kemiri telah terbangun cluster pengolahan mocaf dengan pusat pemaran di KWT Ngudi Sari.

Inovasi Teknologi Dorong Pemasaran Bagus

     Menurut Kepala Seksi Pemasaran Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul Fardiana Ekasari, SP, kaum perempuan semakin menyadari ternyata ubi kayu tidak hanya bisa dijual berbentuk gaplek. Tidak hanya berupa singkong basah, tetapi bisa diolah menjadi krecek. Sebab,  kalau krecek sudah dikeringkan bisa dijual 20.000 rupiah per kilogram (kg). Lalu pangan gaplek bisa dijual 1.500 rupiah per kg.

    “Tetapi, kalau dirajang kemudian dikukus lalu dijemur lagi dan dikemas harganya akan meningkat menjadi 20.000 per kg. Jadi,  hanya perlakuannya yang perlu ditingkatkan. Kemudian olahan gatot yang bahan dasarnya gaplek itu diolah begitu rupa, maka harganya akan lebih tinggi lagi,” demikian Ekasari.

    Ia menambahkan pula bahwa setelah pengolahan ubi kayu atau singkong yang mulai mementingkan mutu tersebut para perempuan perlahan memasuki teknologi mokaf, yaitu ubi kayu yang sudah difermentasikan, dimana nilai jualnya akan meningkat tajam. Selain lebih gaya dan moderen. Itu dimulai pada 2014. Ada bantuan alat melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD, tetapi sifatnya bantuan hanya kecil. Para perempuan dilatih dari mulai budidaya, panen, pengolahan hingga pemasaran.

    Disebutkan, setelah ubi kayu menjadi tepung mokaf pelatihanya diarahkan ke pengolahan bentuk jadi, seperti tepung mokaf dijadikan cookis atau kue stik keju atau kue lidah kucing. Dengan demikian harganya akan meningkat dan akan dicari orang karena menarik perhatian bahwa ubi kayu atau singkong itu bisa dibuat menjadi beragam makanan moderen yang tidak kalah dengan di supermarket dan rumah bakery di metropolitan.

 UPH Bantu Olahan Rumah Tangga Raih Sertifikat

        Seiring dengan perkembangan pola makan dan tuntutan konsumen moderen, produk olahan pangan yang dibuat kaum perempuan yang terhimpun di KWT Ngudi Sari itu telah mengikuti zaman. Semua produk olahan telah dibuat dari bahan jadian mocaf itu. Contohnya, bolu atau bronis kukus, kue-kue, mi, pukis atau irisan kering (stik) keju dan lainnya.

       Menurut Ekasari, KWT Ngudi Sari itu telah lolos pelatihan pengolahan pangan berbasis mocaf itu. Setelah dinyatakan siap dan fasilitas pengolahan memadai, yaitu unit pengolahan hasil (UPH). Alat UPH itu adalah bantuan Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Petanian Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Pelatihan tersebut menyangkut keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul dengan pendampingan dan fasilitasi pihak Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul.

   Kesiapan yang ada bukan semata-mata menyangkut alat semata, tetapi juga kesiapan sumber daya manusia atau SDM, maka produk makanan yang dikerjakan para perempuan desa itu diajukan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul untuk mendapat sertifikat. Dengan demikian pihak KWT Ngudi Sari telah mendapatkan sertifikasi keamanan pangan,” Ekasari menambahkan sembari menyebut bahwa hal itu merupakan kebanggaan para petani dan perempuan desa di kancah kabupaten maupun nasional.

    Selanjutnya Ekasari mengungkapkan bahwa penilaian yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang mengajukan sertifikat itu tidak mulus saja. Karena biasanya beberapa kali perbaikan harus dilakukan termasuk menyangkut, higienitas atau kebersihan bahan, sanitasi peralatan dan kecakapan bekerja para perempuan. Dan semua itu telah dilalui oleh pihak KWT Ngudi Sari.

     Ia menambahkan sebelumnya petani ubikayu dan masyarakat setempat hanya mengkosumsi singkong rebus. Tetapi, sekarang mereka sudah bisa mengolahnya menjadi gaplek instan, tiwul instan kemudian membuat tepung mokaf. Turunannya kue lidah kucing, cookis dan stik keju termasuk bolu kukus. Dengan demikian pendapatan mereka bertambah dari sisi petani singkong sendiri karena kelompok semisal KWT Ngudi Sari membutuhkan bahan baku berupa ubikayu.

      Jadi, petani bisa menjual kepada kelompok dengan harga yang bagus, yaitu 1.500 rupiah per kg. Kalau mereka jual ke pasar atau kepada tengkulak harganya hanya 800 rupiah per kg atau paling tinggi 1.000 rupiah per kg. Tetapi, kalau dijual kepada pengelola KWT Ngudi Sari harganya bisa mencapai 1.500 rupiah per kg. Artinya, ada selisih 500 rupiah per kg yang bisa dikantungi oleh petani. Dan itu sangat berarti bagi mereka. Itu saja sudah membuat petani disekitar kawasan ini senang dan bahagia.

     Menambahkan hal itu Kepala Seksi Pengolahan Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul Soes Tiwiningsih,SP menyebutkan bahwa di Kabupaten Gunung Kidul ada pengolahan tepung mocaf sebanyak lima kelompok yang tersebar di beberapa kecamatan. Para perajin itu tinggal di Kecamatan Playen, Tanjung Sari,  Semanu, Tepus dan Ngawen. Kelima kelompok itu masih berproduksi hingga 2020 ini. Antarkelompok saling mengisi, misalnya satu kelompok mendapat pesanan yang lumayan besar biasanya mereka mengajak kelompok yang lainya untuk memenuhinya.

      Adakah dampak positif keberadaan KWT Ngudi Sari yang sudah maju dan berkembang di sektor pangan tradisional ke moderen itu? Bagaimana multiplier side effect atau pengaruh ganda dari kehadiran KWT Ngusi Sari di Gunung Kidul terutama di Kecamatan Tanjung Sari? Disebutkan bahwa hal tersebut belum pernah dikaji oleh Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan adakah peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD yang signifikan atas kemajuan itu juga belum dikaji.

      “Belum. Belum ke sana. Pendapatan kelompok ini masih kecil. Belum bisa dipajaki. Pungutan atau retribusi sekecil apapun tidak ada. Peningkatan taraf hidup mereka saja sudah syukur. Kami semua bersyukur. Ada sukacita di lingkungan para wanita itu. Kami turut merasakannya. Mereka happy setiap hari,” kata Tiwiningsih sembari menambahkan pihak Pemkab Gunung Kidul belum membuat peraturan daerah atau Perda untuk hal semacam itu.

Perlu Limitasi Kegiatan Usaha

      Menurut Soes Tiwiningsih, pemerintah perlu membuat limitasi atau batasan tentang kegiatan usaha kecil dan koperasi. Contohnya, pihak Dinas Pertanian membina budidaya ubikayu lalu ke pascapanen kemudian berlajut ke pengolahan melalui kelompok wanita tani. Di lain pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan punya program usaha kecil dan menengah (UKM) serta usaha mikro kecil dan menegah (UMKM) hingga koperasi.

   “Batasannya di mana? Kami dari Dinas Pertanian membina, membimbing, mendampingi kelompok-kelompok dari TITIK NOL termasuk bahan baku produksi. Di sisi lain pihak Perdagangan juga punya program pelatihan dan pengolahan yang masuk di UKM itu. Lalu Dinas Perindustrian dan Perdagangan itu serta merta mengakui binaan Dinas Pertanian milik mereka. Iki piye to? Contohe, iki KWT Ngudi Sari ujuk-ujuk diakui milik mereka. Setelah bagus-bagus langsung diakui begitu. Capeknya di kami, lha sing panen wong liyo, kepriye to? Tiwi gencar bertanya berapi-api karena semangat mereka membina pertani hingga mendapat nilai tambah.

     Ia menegaskan agar pemerintah bisa melihat ini clear tanpa pretensi apapun. Sebab, dana yang ada di Dinas Pertanian memang sangat kecil. Dana yang ada di pihak Dinas Koperasi atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan sangat besar. Jadi, janganlah ada pihak yang capek menumbuhkan embrio atau cikal bakal kelompok tani di lapangan hingga mumpuni dan mampu berdikari, ujung-ujungnya hanya kebagian capai. Setelah besar dan maju langsung diakui pihak lain dan diajak untuk bergabung di sektor mereka. Perlu unsur keadilan pembinaan dan pembiayaan. Ini terlihat tumpang tindih atau saling menindih. Sepatutnya yang seperti ini perlu dikaji dan diakhiri. *sembada/henry/rori

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang