Di Irigasi Primer Penuh Air, Tapi Puluhan Tahun Sawah Tidak Terairi Pada Musim Kemarau
Saturday, 27th July, 2019 | 860 Views

“BUKAN MIMPI BUKAN khayalanku kau telah datang di dalam hidupku….” Ini lirik dalam bait lagu Bukan Mimpi gubahan sekaligus dilantunkan seniman-biduan terkenal Edi Silitonga yang “seolah menggambarkan” kehadiran irigasi dari Kali (Sungai Serayu) di Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah yang akan membahagiakan. Lagu itu pun masih bisa “bersambut-gayung” dengan senandung lagu Bengawan Solo gubahan seniman masyihur Gesang: Bengawan Solo, riwayatmu dulu…mengalir sampai laut…!” Mengalir bukan ke sawah. Itulah ilustrasi Sungai (Bengawan) Serayu dari Daerah Irigasi (DI) Serayu. Tetapi, mengalir ke laut.

 

 

Ironis tentang irigasi yang penuh air itu? Boleh jadi. Memprihatinkan atas eksistensinya? Hampir pasti demikian tentu saja. Lalu apa yang terjadi atas irigasi yang telah dibangun hampir setengah abad itu? “Kenyataannya pak, bangunan irigasi ini salah. Salah rancang. Salah rencana,” cerita Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Dadi Makmur yang juga Ketua Kelompok Tani (Koptan) Lembu Sehat Barokah Salim Barkah (36) kepada Wartawan Media Pertanian online www.sembadapangan.com di Balai Desa Sarwadadi, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, baru-baru ini.

 

Melanjutkan bincang di Balai Desa Sarwadadi di sisi Irigasi Primer di Desa Sarwadadi yang membujur utara-selatan wilayah beberapa desa di Kecamatan Kawunganten, Salim Barkah bertutur bahwa selama beberapa dasawarsa para petani di hampir seantera Kecamatan Kawanganten tidak pernah mengikuti program Indeks Pertanaman (IP) II atau pertanaman Musim Tanam (MT) II walaupun air mengalir deras di saluran irigasi primer dan sekunder. Air yang melimpah di saluran irigasi tidak bisa masuk ke sawah petani lantaran irigasinya jauh lebih rendah dari lahan sawah.

 

“Di irigasi primer penuh air, tetapi puluhan tahun sawah tidak terairi pada musim kemarau. Air itu tidak bisa masuk. Bahkan air malah melimpah lagi ke saluran irigasi karena tanggul sangat rendah atau saluran sangat rendah. Jadi, agar irigasi ini bermanfaat atau membawa kemasalahatan bagi warga maupun para petani, Dinas Pekerjaan Umum harus meninggikan tanggul. Tidak ada cara lain,” ungkap Salim yang memiliki sawah hanya seluas 0,25 hektare (ha) atau seperempat hektare.

 

Dia menambahkan bahwa warga Desa Sarwadadi hanya mengandalkan penghidupan dari padi atau pertanian. Apabila tidak memungkinkan lagi tanam padi seperti saat ini dibiarkan saja kering kerontang, seperti saat ini. Juga tidak ditanami palawija. Tetapi, memang bisa saja bertanam lain bagi petani yang mampu menyewa pompa atau sudah memiliki pompa. Ongkos sewanya mahal, padahal warga petani di sini terbilang miskin.

 

Sewa Pompa Mahal

 

Disebutkan, memang perlu ada terobosan lain untuk mengatasi budidaya padi dengan beternak dan tanam palawija. Ongkos sewa pompa saat ini sebesar 25.000 rupiah hingga 30.000 rupiah per jam. Dengan demikian, untuk mengairi sawah seluas  sekitar 714 ubin atau 1 ha diperlukan waktu selama 48 jam dana sekitar satu juta rupiah. Tetapi, sangat jarang petani yang mampu menyediakan uang sebesar 1 juta rupiah hanya untuk pengairan sekali yang hanya bisa bertahan satu minggu hingga 10 hari sekali pengairan.

 

“Sulit bagi petani menyediakan uang sebanyak itu. Petani rata-rata miskin dan sudah berusia lanjut. Anak-anak remaja merantau ke kota metropolitan dan jadi pembantu rumah tangga di mancanegara. Hal yang memprihatinkan adalah tersedia banyak air, tetapi tidak bisa mengairi sawah. Ah, pilu merasakan fakta begini. Sulit memahami mengapa banyak pihak tidak melihat atau mengetahui keadaan ini dari dulu,” cerita Salim Barkah dengan mengernyitkan kening.

 

Membentuk Kebersamaan Petani

 

Ketua Kelompok Tani Lembu Makmur Barokah Desa Sarwadadi Salim Barkah mengungkapkan bahwa dalam waktu tidak lama ke depan ini. Kendati sulit mengubah kebiasaan petani desa yang masih tanam sendiri-sendiri dengan menghindari tanam serentak, saat ini sudah disosialisasikan kesadaran petani dalam kelompok. Beberapa petani anggota kelompok tani yang pemikirannya lebih terbuka akan diajak membentuk rasa kebersamaan agar muncul kesadaran untuk menanam serentak, sehingga pemanfaatan air dan sarana produksi lainnya bisa maksimal.

 

Dia menambahkan, pemahaman menanam serempak itu sangat penting untuk mencapai keadaan lebih baik. Kepentingan bersama akan didahulukan, di mana anggota kelompok tani menjadi disiplin berorganisasi. Dampak ikutannya adalah bahwa taraf hidup petani di wilayah ini  akan berubah atau terangkat.

 

Semangat anggota, katanya melanjutkan, kini sudah mulai tumbuh. Namun, hal itu menjadi melambat karena musim kemarau walaupun ada air di irigasi. Dan ke depan ini apabila pemerintah tidak mau meninggikan tanggul irigasi, cara lainnya adalah menyediakan pompa permanen dengan kapasitas besar berikut bak air penampungannya. Ini jalan tengah yang tidak membebani warga atau petani sekaligus mengurangi kriminalitas sebagai dampak buruk kemiskinan ekonomi maupun kemiskinan sosial.

 

“Apakah pemerintah mau? Dinas Pertanian dan Dinas Pekerjaan Umum mau? Entahlah, persoalan ini sudah puluhan tahun. Namun, kami berharap pemerintah mendengar kami. Suara rakyat. Menteri Pertanian mendengar jeritan petani. Janganlah membangun embung-embung di berbagai daerah atau membangun saluran irigasi di mana-mana, tetapi di Kecamatan Kawunganten ini lahan pertanian terlantar. Semestinya di sini lancar IP-II hingga IP-III,” desah Salim sembari menatap rekahan sawah persis di pinggir irigasi primer yang melimpah airnya.

 

Puluhan Tahun Memompa Air

 

Ikhwal kekeringan sawah petani setiap tahun di kawasan ini diceritakan oleh petani Sohidin (40) yang memiliki lahan 60 ubin. Beberapa tahun lalu dia membeli selang sepanjang 300 meter seharga 900 ribu rupiah. Pompa itu disewakannya seharga 30.000 rupiah per jam. Dalam Juli 2019 ini Sohidin telah memperoleh sebesar 1 juta rupiah dari menyewakan pompa.

 

“Walaupun dapat 1 juta rupiah, tetapi pada Agustus belum tentu dapat sebesar itu. Tidak banyak petani yang mampu menyewa pompa. Keuangan petani di sini sangat sulit,” katanya.

 

Ditemui saat mathun atau menyiangi sawahnya yang menurut dia masih bisa tertolong untuk panen, petani Pariyem (76) berseru tidak heran mengalami musim kemarau. Sama tidak herannya dengan kondisi sawah yang kering di sekitar saluran irigasi yang penuh air. Dua bulan ke depan padi itu akan berbuah dan siap dipanen.

 

            “Mboten. Kulo mboten gumun ana toya, namun sawah garingTIDAK. SAYA TIDAK HERAN ADA AIR, TETAPI SAWAH KEKERINGAN,” keluh Pariyem sembari menyebut dirinya sudah melahirkan tujuh anak dan memiliki sawah 60 saidhu atau ubin yang ia pertahankan untuk dapat beras sebagai bekal keluarga. Sawah sepetak itu masih tumbuh baik dan subur kendati sudah mulai retak, padahal tanggul irigasi hanya berjarak empat meter dari sawahnya. *sembada/henry

 

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang