Ayah Saya Sudah Bilang Kepada Petani Kedelai Agar Panen Pas Waktu, Tapi …
Thursday, 23rd November, 2017 | 874 Views

ADALAH PERAJIN TAHU di Desa Kendalsari, Kelurahan Tulusrejo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa TimurSuryono namanya. Dia menekuni pekerajaan rumah peningalan ayah-ibunya yang telah turun-temurun ditekuni. Suryono (43) adalah anak ketiga dan hanya dia bersama istrinya yang menruskan usaha rumahan membuat tahu itu. Sesungguhnya dia lebih suka memakai kedelai petani, tetapi kini memakai kedelai impor.

Suryono yang punya dua anak—satu sudah jadi sarjana dan satu lagi tamat sekolah menengah atas—meneruskan usaha itu sejak 1983 dengan enam pekerja upahan, tetapi kini tinggal tiga orang sekarang.  Sejak beberapa tahun ini Suryono memakai kedelai impor dari aes atau Amerika Serikat karena kedelai petani tidak bermutu. Dia menghabiskan dua kuintal per hari.

Menurut Suryono, ayahnya sudah sering mengingatkan kepada petani agar memanen kedelai sesuai waktunya, yaitu harus sudah masak, sehingga lebih mudah dan cepat dikeringkan. Kalau sudah demikian, kedelai petani itu akan mudah diolah dan mutunya bagus. Hingga 1990 Suryono mengolah kedelai jadi tahu dari petani sebanyak 2 ton per hari.

“Namun, belakangan petani memanen kedelai mereka cepat-cepat, sehingga mutunya jelek atau rendah. Belum waktunya sudah dipanen. Belum kering sudah dijual. Siapa yang mau? Siapa yang mau rugi? Ayah saya dan saya bukan bangga memakai kedelai impor, tetapi petani Indonesia berpikiran asal-asalan dan ini dimanfaatkan pedagang. Petani kita tidak sadar dihancurkan sendiri oleh dirinya sendiri, padahal kalau ditunggu seminggu atau 10 harian mungkin kedelai itu sudah masak betul. Atau dijemur hingga kering betul,” kata Suryono kepada Media Pertanian online www.sembadapangan.com di rumah yang sekaligus tempat mengolah kedelai jadi tahu.

Menurut Suryono, dia pernah beberapa kali mencoba menerima beberapa kilogram kedelai petani. Itu disengaja untuk mengetahui persis kerugian yang dialami kalau menerima kedelai petani. Dia berprinsip agar jangan hanya kata orang rugi, tetapi tidak tahu ruginya dari segi apa. Kedelai petani ditimbang 8 kilogram (kg). Kemudian dijemur sendiri hingga kering. Hasilnya hanya dapat 5,5 kg atau susut 2,5 kg.

Kemudian Suryono tidak berhenti di situ. Kedelai petani yang belum masanya dipanen dia terima lalu diolah. Hasilnya? Kadar air kedelai yang tinggi, patinya pecah dan tidak bisa menjadi tahu sebagaimana tahu pada umumnya. Kalau kedelai aes itu hasilnya bagus, walaupun katanya berasal dari ‘rekayoso’ yang tidak dijamin unsure kesehatannya. Maksud Suryono adalah kedelai yang telah dimodifikasi (rekayasa), yaitu genetical modified organism atau GMO.

Kini sryono hanya mempekerjakan tiga orang dengan upah 60.000 rupiah per orang per hari. Dia membeli kedelai impor dari distributor seharga 6.600 rupiah per kg. Dia bercerita bahwa kalau ada dan mencukupi tiap hari akan memakai kedelai petani. Kalau pemerintah menghentikan impor kedelai itu Suryono sangat senang dan dia akan pakai. Penghentian impor itu juga akan berdampak posistif kepada petani, di mana petani Indonesia akan terpaksa belajar menunggu kedelai masak barus dipanen. Kemudian harus dijemur sampai kerig agar bisa mendapat untuk.

Suryono belum berancana menambah produksi tahunya. Sebab, pelanggan yan sudah ada masih bisa diandalkan dan keuntungan yang diperolah masih memadai, yaitu 400.000 rupiah per hari. Saat ini katanya, persaingan sangat hebat. Banyak pedagang tahu yang berkeliling menjajakan tahu hingga desanya. Tetapi, Suryono tidak akan melakukan hal semacam itu. Dia masih manjaga mutu dan hubungan dengan para pelanggannya. * sembada

komentar

You must be logged in to post a comment.

plaza kemitraan

  JUDUL TERSEBUT DI atas sangat menarik disimak. Bahwa para petani punya utang atau hutang sudah jamak diketahui. Tetapi, misalnya mengapa Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Pengantar Redaksi: KONON SAAT INI di Indonesia tidak ada daerah atau desa yang menerapkan pertanian hamparan luas dengan pola pengolahan tanah hingga pemasaran. Satu-satunya yang